Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan

Antara Kopi, Jazz dan Dirimu

*Bacalah sambil mendengarkan The Fragrance of Dark Coffee


Kekasih,
Telah kukirimkan selembar kartu pos bergambar saxophone untukmu. Kutulis kemarin sore ketika semburat jingga menjelaga di barat sana; saat semilir angin menggugurkan dedaun cemara di sudut taman kota; ketika warna pucat merayap di lekuk bangunan-bangunan tua yang sekarat. Dan baru dini hari tadi kertas warna senja itu kumasukkan ke dalam kotak pos di sudut alun-alun; tepat di seberang kafe di mana sebelumnya kunikmati sisa malam yang hambar; jazz yang menguar; dan secangkir kopi yang membuat jantungku tak henti berdenyar.

Kekasih,
Kau tahu kenapa aku memilih membeli kartu pos bergambar saxophone itu ketika kemarin lusa aku berjalan-jalan di sebuah toko buku renta? Bukan masalah harga tentu saja, tapi karena mimpiku malam sebelumnya. Dalam mimpiku itu, aku adalah musisi sementara dirimu adalah saxophone yang menggelayut di leherku. Jangan tanya kenapa saxophone dan bukan biola, karena aku cuma manusia biasa yang tak cukup punya hak untuk mendikte apa yang bisa dan tidak bisa kuimpikan. Di dalam tidurku itu, berdua kita berkeliling di senyap kafe-kafe gelap, dan ketika pekat mulai merayap, bibir kita tak henti menyatu untuk saling mencumbu; mengalunkan harmoni yang menyayat bagai sembilu; menemani manusia-manusia yang selalu datang dan pergi; pasangan-pasangan bahagia penuh cinta; pun juga seseorang yang ingin menghabiskan malam terakhir sebelum dia memutuskan untuk bunuh diri di jembatan yang membelah kota menjadi dua; setelah sebelumnya gagal mengiris nadi dengan pisau berkarat di kamar hotel murahan yang ranjang kayunya dilumat rayap.

Kekasih,
Kita hidup di jaman yang salah. Sebuah titik waktu di mana cinta adalah semacam tai kuda yang keras kepala; iman adalah selalu berarti legalnya pembunuhan; darah dan amarah adalah amanah. Entahlah. Kita berdua memang makhluk-makhluk peragu yang sangat jarang benar-benar meyakini sebuah kebenaran. Termasuk Tuhan.
‘Benarkah Tuhan itu ada?’, pertanyaan yang selalu terucap dari bibirmu. Dulu. Tapi bukankah kini kita berdua sudah sama-sama lelah? Jawaban atas pertanyaan itu sudah menjadi semacam nasi basi; berkeringat dan mengeluarkan aroma yang melekat.
‘Hidup adalah jazz. Improvisasi tak berhenti’, kau menulis di surat terakhirmu kemarin lalu. Dan ya, mungkin memang benar begitu. Tak ada yang baku di dunia yang semakin asu.

Kekasih,
Berapa cangkir kopi yang sudah kau sesap hari ini? Tiga, lima, atau tidak sama sekali? Ah… Tak mungkin sepertinya, bukankah kau tidak seperti diriku yang tak bakat menjadi pecandu?
‘Kopi itu seperti hidup’, begitu falsafahmu, ‘Di mana manis dan pahit saling berbelit. Melilit rumit. Senang dan sakit’
Ya begitulah. Dan mungkin memang aku yang tak berbakat untuk kehidupan ini. Karena ternyata secangkir kopi saja sudah cukup membuat jantungku tak henti bergeletar. Berdebar-debar. Tak bubar-bubar.

Kekasih,
Kita sudah sepakat bukan, bahwa hidup tak sesederhana opera sabun yang biasa ditayangkan di kotak busuk penebar mimpi bernama televisi. Di mana hampir semua ceritanya berakhir bahagia. A dan B membentuk sebuah keluarga, beranak pinak, dan lalu ditutup dengan musik ceria yang membahana. Hidup yang sebenarnya tak seperti itu. Tak semerdeka itu. Ada politik di muka bumi ini. Di mana pihak satu dan pihak lain saling berebut kursi untuk saling menguasai. Keadilan menjadi sesuatu yang abstrak. Bahkan kebaikan-pun menjadi sesuatu yang sulit untuk dideskripsikan. Bagaimana tidak, bahkan seseorang yang membunuh ratusan orang dengan satu ledakan pun sekarang bisa disebut pahlawan. Dunia macam apa yang kita tinggali ini?

Kekasih,
Dini hari tadi kukirim selembar kartu pos bergambar saxophone untukmu, dan kuharap benda itu benar-benar bisa sampai di tanganmu. Meski sepertinya aku harus berdoa keras untuk hal itu. Bukan apa-apa sebenarnya, hanya saja baru saja kudengar dari kabar yang beredar, pihak oposisi akan mulai bergerak sore nanti. Gerakan bawah tanah akan keluar menantang matahari. Menjadikan alun-alun kota sebagai basis perjuangan mereka. Dan aku sendiri tak cukup yakin apa yang akan terjadi nanti, apakah tukang pos tua berjanggut kelabu yang sering kutemui di kedai kopi itu cukup punya keberanian untuk tetap bekerja, ketika ratusan ribu massa mulai bergerak untuk mencoba merebut negara.

Kekasih,
Jagalah dirimu baik-baik. Berhentilah bertanya, ‘Apakah Tuhan itu ada?’. Anggap saja Dia memang benar-benar ada. Karena hanya dengan begitu kita akan punya cukup kekuatan untuk bertahan hidup di dunia yang semakin hari semakin gila. Hanya dengan begitu kita memiliki harapan.

Kekasih,
Saat ini tak ada sesuatupun yang kuinginkan dari dirimu. Kecuali satu. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa satu-satunya kebenaran yang kuimani tak pernah berubah dari dulu. Adalah mencintaimu.


***


Sersan Ali berhenti membaca. Teringat salah satu mayat lelaki muda yang pagi tadi dia lempar ke dalam truk tentara.
‘Dia bukan pemberontak’, Sersan Ali bicara pada diri sendiri. Teringat gelegar suara Jenderal, ‘Tembak semua pengacau!!’.
Tiba-tiba bibir prajurit itu tergetar, membayangkan andaikan peluru yang bersarang di tubuh lelaki itu berasal dari AK 47 yang kini dipanggulnya, ‘Lalu bagaimana dengan sang kekasih itu? Siapa dia?’.
Sersan Ali menatap ke seberang, sisa-sisa kotak pos yang terbakar. Dia yakin, kartu pos bergambar saxophone itu tak mungkin lagi ditemukan. Tak akan ada alamat yang bisa dia dapat. Kini kertas di tangannya adalah bukan apa-apa dan bukan milik sebuah nama. Dengan tatapan tajam Sersan Ali meremas kertas, lalu membuangnya, 'Tak ada jerit bagi prajurit!'. Angin musim gugur membawa kabur. Sepatu lars berderap tegap. Panser melintas. Aspal mengeras. Sersan Ali sebenarnya ingin berdoa, tapi tak tahu kepada siapa.



***


Casablanca, 22 Februari 2011
01.06

Kisah Tak Penting atau Semacamnya


Senja padam. Lalu kelam.
‘Kenapa malam selalu hitam’, kau membuka percakapan. Dan aku memilih diam. Bukan apa-apa sebenarnya. Tapi tahukah kau bagaimana rasanya ketika seribu kupu-kupu beterbangan di dalam perutmu? Kau akan sangat malas mengobral bahasa dan kata-kata. Denyar bergeletar seperti ketika bulu kudukmu meremang saat seseorang meniup pelan lubang kupingmu. Seperti itu. Ah, tapi adakah yang pernah sekurang ajar itu padamu? Menyebul sebul untuk kemudian mungkin membisikkan sesuatu? Kalau boleh tahu, kalimat apakah itu?
‘Kenapa?’, kau kembali bertanya.
‘Hmm.. Entahlah. Mungkin jawaban yang sama untuk pertanyaan Kenapa senja seringkali berwarna jingga. Begitu’

Lalu malam kembali seragam. Ada bintang terbang. Juga bulan sabit sipit. Seperti matamu. Mata yang berkantung. He he he.. Kau mencubitku kemarin lalu ketika kukatakan itu. Tapi bagaimana tidak, kebiasaan begadangmu itu benar-benar tak sehat.
‘Bukankah kau juga begitu?’
Iya. Tapi insomniaku bukanlah sesuatu yang disengaja. Aku bukan tipe orang yang percaya kalau kopi mampu membuatku tidur cepat-cepat. Tak seperti dirimu. Bergelas kopi tiap malam hari. Aku lebih suka memilih anggur sebelum tidur.

‘Lalu kenapa senja seringkali berwarna jingga?’
Ah, andaikan kau tahu. Pertanyaan-pertanyaanmu itu sebenarnya kadang tak bermutu. Tapi point-nya bukan itu. Entah kenapa aku selalu suka caramu bertanya. Ah, tapi tidak juga. Aku selalu suka saat kau bicara. Hmmm, tapi bukan juga sebenarnya. Aku hanya suka tiap dirimu ada. Meski kau tak bicara, tak bertanya bahkan tak melakukan apa-apa.

‘Kenapa?’
‘Hmmm… Mungkin takdir kali ya?’, aku benar-benar tak tahu jawabnya.
Tai ah.. Jawabanmu ga mutu’
Lho? Mana ada pertanyaan ga mutu punya jawaban yang mutu, batinku begitu.
‘Kau punya mimpi?’
Walah, bicara soal mimpi. Hari Minggu lalu aku mimpi siang-siang. Menemukan sebuah rumah kos di tengah kota yang busuk ini. Anehnya, jalan menuju kesana harus melewati petak-petak sawah yang menghijau (Ini benar-benar hijau. Kali ini aku bisa benar-benar tahu kalau mimpiku berwarna. Tak seperti yang sebelum-sebelumnya). Sementara di samping kanan rumah itu ada dipan tempat di mana aku bisa leluasa memandang. Barat, aku benar-benar ingat. Karena di kejauhan ada jingga yang semburat. Ya, memang ketika itu settingnya senja (Kenapa sih selalu senja, keponakanku pernah bertanya. Dan aku cuma tertawa-tawa. Kenapa ya? Mungkin karena aku tak pernah jatuh cinta dengan pagi ataupun siang. Sementara malam bagiku terlalu menakutkan)

‘Semua yang ada ini hanyalah dunia di mimpi saya. Percayalah. Saat ini saya sedang tidur di kamar saya. Sekarang hari Minggu siang. Tanggal 3 Februari’, kataku pada beberapa orang dalam mimpiku itu. Dan mereka semua diam. Mungkin aku dianggap gila. Tapi memang begitu adanya. Aku sadar jika aku sedang bermimpi. Meski tanggal yang kusebutkan ternyata tidak tepat (Mungkin karena di situ tak kulihat kalender. Dan aku juga tak membawa hape. Jadi wajar jika konsep waktuku agak keliru).

‘Kau punya?’
‘Hmmmmmm… Apa ya? Aku tidak tahu’
‘Lho?’
‘Aku sudah lupa cara bermimpi’
Lalu kau tertawa. Seperti tokoh-tokoh dalam mimpiku, pasti kau anggap diriku gila. Tak apa. Aku sendiri juga kadang berpikiran begitu.
‘Katanya kau ingin ke Kathmandu?’
‘Ya’
‘Berarti itu mimpimu?’
‘Hmmmm… Mungkin’, ada sekelebat angin.
‘Ahhh.. Berbincang denganmu sama sekali tak menarik. Mendingan dengerin jengkerik’
He he he.. Asal kau tahu. Kau orang kesekian ribu yang mengatakan itu. Tak pernah ada sesuatu yang menarik dari diriku. Tidak seperti dirimu. Hingga melihat sekumpulan babi terbang di awang-awang jauh lebih memungkinkan dibanding menemukan alasan kenapa aku harus tidak meminatimu. Sungguh asu.


***


Casablanca, 9 Februari 2011
03.46

Semacam Dialog dalam Sebuah Pertemuan (3)

* Kisah sebelumnya ada di sini dan di sini



Tok tok tok.
Lalu langkah kaki. Dan pintu terbuka.
Mata-mata bersitatap. Jantung-jantung berderap.
‘Kamu?’
‘Aku’, bibir bergetar. Rambut mawut. Janggut runggut.
Lalu diam yang jancuk. Sunyi yang layak dikutuk.
‘Masuk’, keduanya duduk.
‘Duapuluh tahun?’
‘Lebih satu bulan’
‘Kemana saja?’
‘Sembunyi’
‘Dari?'
‘Polisi. FBI. Negara. Dunia. Semua’
‘Kenapa tak menyerah saja?’
‘Tidak. Aku tak mau ini disita’, lelaki keluarkan amplop. Cahaya jingga memancar dari celahnya.
‘Kupotong sendiri. Dengan tanganku’
Perempuan menerima. Lalu air mata.
Ah, pipi itu masih sama, Sepasang cekung di tengahnya. Meski sedikit keriput kini menghiasinya.
Sinar berdenyar ketika lembar itu sepenuhnya keluar. Debur ombak menyeruak. Ceracau burung-burung laut mengacau.
‘Pasanglah di kamarmu. Seperti yang kau inginkan dulu’
Tangis pecah, ‘Kenapa kau sebodoh itu?’, gerimis menjelma hujan, ‘Tak seharusnya kau penuhi permintaan tololku’
‘Aku bahagia’
‘Gara-gara permintaanku kini manusia di dunia tak bisa lagi menikmati senja yang seharusnya‘
Perempuan menatap jendela. Barat yang terluka. Persegi warna hitam menjadi noda.
‘Lihat. Anak-anak kita kini tak lagi mungkin menikmati langit yang seutuhnya’, perempuan menatap lembaran di tangan, ‘Karena sebagian sudutnya ada di sini’.
‘Keindahan ini cuma layak untukmu’
Mata menyipit, ‘Asu. Kau asu’.
‘Berapa kini anakmu?’
‘Tiga. Satu lelaki. Dua wanita’
‘Yang bernama Senja?’
‘Yang kedua’
Jarum jam menajam. Seperti hukuman rajam.
‘Baiklah. Aku kesini cuma mau memberi ini. Sekarang aku pergi’
‘Kemana?’
‘Entah. Mungkin menyerah. Lari itu bikin lelah’
‘Jangan! Kau pasti dihukum mati!’
Lelaki hanya tersenyum.
Itu tak penting lagi. Tugasku sudah selesai kini.
Lelaki berdiri, ‘Satu hal lagi’
‘Apa?’
‘Aku minta maaf’
‘Untuk?’
‘Menginginkanmu’
Hening sesaat.
‘Asal kau tahu. Menginginkanmu adalah di luar rencana. Semua terjadi begitu saja. Tiba-tiba’
Butir-butir kembali bergulir, ‘Mengakulah salah. Mungkin hukumanmu akan dikurangi’
Lelaki tersenyum lagi, ’Kau tak berubah. Tak henti mengajariku bagaimana bermimpi. Meski tak sekalipun tentang mewujudkannya’
Drdrdrdrdrdr.. Hape bergetar. Cahaya berdenyar.
…Just in time you've found me just in time… Before you came my time was running low… I was lost the losing dice were tossed… My bridges all were crossed nowhere to go…
Nina Simone terdengar. Ingin kirim kabar.
‘Aku pergi’
Lelaki keluar. Melangkah menuju barat.
Tiada lagi beban berat.
‘Halo’, memendam isak.
‘Ma, Papa dah sampai hotel ni.. Ga begitu jauh dari Seine.. Tar malem mungkin nyempetin jalan-jalan kesana.. Perjalanan dari Roissy lancar.. Kamu mo dibawain oleh-oleh apa? Oh iya, bilang sama Dewa, kalo memang mo ambil jurusan grafis mending di Belanda aja.. Bla bla bla..
Tiada lagi yang singgah di telinga. Cuma air mata dan sepotong senja. Selebihnya gulita.



***


Casablanca, 23 Januari 2011
* Foto dicuri dari sini

Semacam Dialog dalam Sebuah Pertemuan (2)


‘Apa ini?’, kafe sedikit senyap. Di luar riuh mendekap.
‘Bukalah’
Amplop dibuka. Sepotong senja dikeluarkannya.
‘Dari mana?’
‘Tak penting’, gelas-gelas berdenting. Whisky-cola bikin pening.
‘Aku harus tahu’
‘Untuk apa. Sekarang kau bisa memasangnya di sebelah jendela’
Mata perempuan curiga.
Lelaki menghela nafas, ‘Aku membelinya’
‘Beli? Di mana?’
‘Kota Tua’
‘Memang ada yang jual?’
Lelaki mengangkat bahu.
‘Kamu bohong’
‘Kenapa?’
‘Mana ada yang menjual senja?’
‘Buktinya? Kata penjualnya itu dulu milik Alina’
‘Alina? Siapa?’
‘Alina-nya Sukab’
‘Sukab?’
‘Seno Gumira’, lelaki menyulut rokoknya.
‘Kok bisa dijual di Kota Tua?’
‘Mana aku tahu?’
‘Kamu bohong ya?’
‘Lho?’
‘Coba pikir, mana mungkin sepotong senja yang begitu berharga bisa beredar di pasar? Apalagi pemberian orang yang istimewa’
Lelaki itu memesan bir dingin lagi.
‘Alina memang tak menginginkannya dari dulu’
‘Siapa bilang?’
‘Kamu ga baca cerpennya ya?’
‘Cerpen yang mana?’
Ahhh.. Kenapa perempuan ini tak juga mulai mencoba menyukai fiksi dan imajinasi?
Bacalah. Alina sudah dari dulu mengaku. Dia tak menginginkan senja itu. Dia juga tidak mencintai Sukab. Menurut Alina, tindakan Sukab itu tolol dan kekanak-kanakan’
Perempuan menyulut rokok.
‘Sejak kapan kamu merokok?’
‘Sejak kamu mulai berbohong’
Gila! Perempuan ini memang selalu tak sama dengan lainnya!
‘Siapa tadi namanya?’
‘Yang mana?
‘Perempuan tadi?’
‘Perempuan?’
‘Ceweknya Sukab’
‘Mereka belum pernah jadian’
‘Iya. Siapa?’
‘Alina’
‘Oh ya. Semisal memang benar ini senja milik Alina, dan kau membelinya di Kota Tua, aku tetap tak mau menerimanya’
‘Lho?’
‘Lha lho lha lho!’
‘Katanya aku boleh melakukan apa saja untuk mendapatkannya?’
‘Siapa bilang?’
‘Kamu. Kalau perlu curi, begitu katamu’
‘Mencuri itu tak sama dengan membeli’
‘Iya. Itu lebih baik’
‘Kata siapa? Kadang mencuri justru jauh lebih lelaki’
Dueng!!! Menghadapi perempuan ini memang selalu butuh kamus lengkap yang memuat tigaribujutamilyar kata. Selalu saja ada yang tak sanggup diterjemahkannya.
‘Untuk mendapatkan sesuatu itu tak selalu harus dengan cara membeli. Apalagi meminta’
Trus gimana dengan doa?’
‘Doa yang meminta itu bodoh. Doa itu seharusnya memberi’
Beruntung tak ada pisau di sekitar sini. Lelaki itu benar-benar ingin mengiris nadi. Untuk kemudian mati.
‘Aku ingin sepotong senja yang benar-benar kau potong sendiri’
‘Lho?’
‘Lho lagi!’
‘Kemarin mintanya ga gitu?’
‘Oh ya?’
‘Iya’
‘Ok. Sekarang aku mintanya gitu’, asap pekat menggeliat.
Lampu jalanan mulai dinyalakan. Mobil-mobil merayap pelan. Macet yang jahanam.
‘Tapi aku benar-benar bukan penyair’
‘Lalu?’
‘Kan yang bisa memotong senja cuma penyair? Gimana sih?’
‘Tapi kamu kan juga sering menulis puisi”
‘Memang’
‘Terus?’
‘Tapi itu di belakangmu’
‘Apa bedanya?’
‘Dengar’, lelaki mulai frustrasi, ‘Selama ini aku selalu kehilangan kata-kata jika di depanmu. Jangankan menjadi penyair. Bahkan untuk sekadar menjadi manusia-pun aku tak pernah benar-benar bisa’
Di barat senja melenyap. Jazz tua mendayu sekarat.

...Come to me, my melancholy baby... Cuddle up and don't be blue... All your fears are foolish fancies, maybe... You know, honey, I'm in love with you... *




Casablanca, 17 januari 2011
* My Melancholy Baby - Frank Sinatra
** Baca kisah sebelumnya di sini

Yang Tersisa dari Keping-Keping Ingatan


Alarm ber-tulalit. Bergetar-getar. Biru pucat berdenyar. Saatnya kerja. Cari uang katanya.
(Dia sedang apa ya? Sholat subuh? Ah, betapa tololnya aku. Sekarang tujuh tigapuluh. Dan dia tak se-kafir aku)

***

Indomie dan pagi. Adakah yang lebih sempurna dibanding dua hal ini? Kawan-kawan seperjuangan. Pembicaraan tentang pekerjaan. Omong kosong tak berkesudahan.
‘Kau benar-benar tak merokok sekarang?’
Kugelengkan kepala.
‘Kenapa?’
‘Calon mertuaku tak tega anaknya jadi janda muda’
Lalu meledak tawa. Inilah kota gila. Asap bajaj dan teh botol. Pagi indah yang selalu tolol.
(Apakah dia sedang sarapan juga? Indomie jugakah? Tak mungkin. Dia selalu bilang, ini tak sehat. Dia lebih suka makanan barat. Semacam spaghetti atau pizza hut)

***

‘Ini milikmu?’, satu pertanyaan. Lantai empat kantorku.
‘Iya’
Buku tebal kado kawan-kawanku di kantor terdahulu.
‘Kathmandu? Ini mimpimu?’
‘Selalu. Cuma itu’
Seorang kawan masuk, ‘Mahalkah kesana?’
‘Entahlah. Tapi aku yakin aku bisa’
(...jika dengannya. Dan lagi, masih adakah keindahan yang bisa dinikmati tanpa dirinya?)

***

‘Ini mas pesanannya’
Sepasang cincin di atas kaca. Dua ukuran berbeda. Ada namaku di salah satunya.
‘Nanti kalo ga pas gimana ya, mbak?’
‘Kenapa ga diajak aja, mas?’
‘Hmmm.. Saya pengen ngasih dia kejutan. Tepat di ulang tahunnya minggu depan’
‘Mas-nya ini gondrong tapi romantis ya?’
Tak berlama-lama kubayar harganya. Sebelum perempuan itu lebih jauh menggoda.
(Tinggal seminggu lagi. Tiket kereta sudah kubeli kemarin pagi. Ah, kenapa aku jadi deg-degan?)

***

‘Halo’
Ah, akhirnya diangkat juga.
‘Lagi di mana?’, pertanyaan wajib pertama.
‘Di kos aja’
‘Ohhh… Kok SMS ga dibales?’
‘Lagi ga ada pulsa’
‘Lha… Gajimu yang besar itu buat apa coba?’, mencoba bercanda.
Tapi hening. Ada sesuatu yang asing.
‘Kok lama ga telepon?’, pertanyaan.
‘Hmmm… Aku pengen ngomong sesuatu?’
Ada yang tak biasa.
‘Apa?’
Tepat setelah itu, sebilah pisau tajam tiba-tiba merajam. Menusuk tepat di dada kiri. Sebelum sempat berteriak, pisau itu sudah ditarik lagi untuk bersarang di ulu hati. Terakhir kali, logam berkilat itu berakhir di pangkal tenggorokan. Memutus pangkal lidah yang terkulai lemah. Entahlah. Aku tak ingat apakah ketika itu ada darah. Tak sempat aku tanya, ‘Kenapa?’, dunia gelap seketika.



***


Casablanca, 9 Januari 2011
* Foto karya Navid Baraty (dicuri dari sini)

Muhammad – muhammad


Asu!!!’, Muhammad membanting kartu. Wangi ciu memburu. Sementara yang lain terbahak. Gelak menggelegak.
‘Mungkin memang belum rejekimu, Mad..’, lalu seteguk. Malam yang mabuk.
‘Iya, Mad.. Namanya saja hidup.. Ada yang menang pasti ada yang kalah..’, seorang kawan sok bijak. Sepasang cicak berdecak.
Cangkemmu! Ini duit istriku! Besok makan apa coba?’, Muhammad setengah gila. Cleguk.. otak beranak pinak. Alkohol bau menthol.
‘Lha tadi siapa yang ngajak maen kartu? Giliran kalah kok mecucu..’, tawa-tawa meledak. Muhammad menyambar sarung. Melangkah sambil terhuyung.
‘Lho, kemana? Ini tu jadwal rondamu..’, Pak RT angkat suara.
Gathel!! Aku mau ngeloni Surti..’, Muhammad hilang. Kelam menerkam.

***

…See the stone set in your eyes... See the thorn twist in your side... I wait for you…
Bono isi udara. Asap rokok merajalela.
‘Hidupmu tak cuma hari ini’, seorang kawan bicara.
Muhammad menenggak dari botolnya. Bir dingin yang ketiga, ‘Caranya yang tak bisa kulupa’
Kafe setengah gelap. Asap bikin pengap. Di luar gerimis. Tapi Muhammad tak merasa manis.
‘Sampai kapan kau akan begini?’
Muhammad meredup, ‘Sampai kapan kau akan hidup?’
Malam kian tenggelam. Luka lebam-lebam. Inikah jahanam?

***

Kotak itu bernama TV. Semua isinya tai. Seperti malam ini. Kuis SMS tolol presenter bahenol.
‘Sudahlah, Yang…’, Adam berusaha meredam. Apartemen malam-malam.
Muhammad ingin menjerit. Hatinya sakit.
‘Sudah apanya?’, Muhammad menatap cowoknya, ‘Papah tau hubungan kita. Aku tak lagi dianggap anaknya’, mata menelaga. Setitik air tiba-tiba.
Adam diam saja. Memencet remote ala kadarnya. Siaran bola. Berita. Dialog politik tai kuda. Film Hollywood isi celana.
‘Kita ke luar negeri. Kita menikah di sana’
Muhammad berdiri. Menuju kamar mandi, ‘Itu solusi?’

***

‘Ceraikan aku’, Khadijah pelan.
Muhammad tercekat. Redup 10 watt menatap.
‘Kenapa?’
Gonggongan anjing di luar sana. Menelusup lewat jendela.
Khadijah menatap suaminya, ‘Kenapa? Cuma perempuan tolol yang rela dimadu’
Muhammad terkesiap, ‘Jaga mulutmu, Bu.. Kanjeng Nabi itu dulu..’
Tai asu. Telan semua ayat-mu’, Khadijah memotong, ‘Ceraikan aku’
Di luar gelap melaknat. Perempuan memilih murtad.




Casablanca, 8 Januari 2011
* Foto karya Onetreeink (dicuri dari sini)

Sinatra dan Kitab yang Takkan Pernah Selesai Dibaca


Serak Sinatra di telinga. …And now, the end is near.. And so I face the final curtain.. My friends, I'll say it clear.. I'll state my case, of which I'm certain… Tut tut tut.. Lagi-lagi. Tak kau angkat lagi.

Ah. Malam makin hening sekarang. Angin tak lagi kencang. Tapi kenapa telpeonku tak kau angkat? Apakah di tempatmu; di manapun dirimu sekarang; ada yang sedang sekarat? Semoga saja tidak. Karena ini kan hari Sabtu. Bukankah poliklinik rumah sakit negeri tak buka di akhir minggu?
‘Tapi UGD kan buka 24 jam?’, kubayangkan kau membantahku.
Ah iya, kau memang selalu lebih cerdas dibanding aku.

By the way, kenapa My Way? Tapi ah, sudahlah. Tak perlu kau jawab.
‘Lagu itu berarti bagiku’, pasti jawabanmu begitu. Seperti jawaban siapapun yang pernah mendengarnya dengan telinga dan jiwa. Sakral, kalau bahasaku begitu. Seperti adzan yang menelusup di awan yang bergumpal-gumpal.
‘Ha? Kau bandingkan Sinatra dengan muadzin?’, kau pasti seketika mencecarku. Dan sebelum aku sempat menjelaskan, kau pasti kembali menyerang, ‘Lirik lagu dan panggilan untuk sembahyang?’.
Dan kemudian kita akan terlibat sebuah perdebatan yang tak berujung. Mengutip dalil-dalil, petikan syair, filsuf ini, filsuf itu, ayat ini, kitab itu, dan ketika kita sama-sama lelah karena tak ada yang mau mengalah, kaupun berucap, ‘Gimana kalo secangkir kopi?’.
Dan selesai. Diskusi kita usai. Hanya ada wangi kopi dan Indomie yang membawa cerita-cerita dari negeri jauh tak bernama.

Kau tahu, hening yang menganjing ini benar-benar bikin pusing. Apakah kau sedang mandi tadi? Tapi bukankah kau bisa mengirimkan sms, sekadar mengatakan hal itu kalau memang benar begitu? Atau kau tak mendengar hape-mu berdering? Ah, berdering? Sepertinya kosakata itu sudah seharusnya tak dipakai lagi saat ini. Mungkin ada baiknya jika aku memilih kata ‘berbunyi’ atau ‘bersuara’. Bukankah hape sekarang tak lagi ber-kring kring kring? Tidak lagi seperti pesawat telepon era 70-an yang angka-angkanya harus diputar ketika kita ingin menghubungi seseorang di seberang, seperti yang sering kita lihat di film-film lawas James Bond dan Warkop DKI?

Tapi sebentar. Jika tidak berdering kring kring kring, seperti apa bunyi hape-mu ketika aku berusaha menghubungi nomermu? Sinatra juga-kah? Ah, pasti iya. Fly Me to The Moon pastinya. …Fly me to the moon… Let me play among the stars… Let me see what spring is like on a-Jupiter and Mars… Karena aku tahu pasti, itu lagu favoritmu. Dari dulu. Ya ya ya… Terbang ke bulan. Gimana kira-kira rasanya? Sayang Louis Armstrong sudah mati. Jadi tak mungkin bisa ditanyai lagi.
‘Neil Armstrong!’, kau membantah.
‘Aaahhh, cuma beda dikit. Sama-sama Armstrong. Toh What a Wonderful World jauh lebih merdu dibanding cerita tentang heroisme astronot Amerika beserta Apollo 11-nya’.
Lalu kau tertawa. Dan seperti biasanya, sepasang cekung itu tiba-tiba ada tanpa aba-aba. (Asal kau tahu, aku menyukainya. Mengingatkanku akan lembah di dunia antah berantah dalam dongeng ibuku ketika aku masih kecil dulu. Tempat yang seringkali kuangankan ketika aku dipaksa tidur siang. Wangi rumput dan titik embun. Dulu di mimpiku. Sekarang di pipimu)

Tapi, siapa bisa memastikan kalau dering hape-mu memang Sinatra? Tapi bukan ST12 kan pastinya? Perempuan sepertimu tak mungkin berselera busuk seperti itu. Atau jangan-jangan kau pasang ringtone khusus untuk menyaring telepon dari nomerku? Ah, betapa layak dikasihaninya diriku jika memang begitu. Dan lagi apa alasannya coba. Kau sedang tak ingin pusing-pusing berdiskusi denganku? Hmmm… mungkin saja. Banyak kawan-kawanku yang memilih cepat-cepat pulang ketika kami tengah berbincang.
‘Capek ngobrol denganmu’, katanya, ‘Bikin mati muda’.

Ah, tapi tidak kok. Aku janji, tema pembicaraan kita nanti adalah sesuatu yang sangat sederhana. Aku janji tak akan ada perbincangan yang membuat kening kita berkerut mawut. Tak ada obrolan tentang busuknya negeri ini, korup-nya orang-orang parlemen, jahanamnya belantara kota, terlebih, apa itu Tuhan, di mana kebenaran, dan tema-tema lainnya yang akan membuat wajah kita tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Kita hanya akan berbincang tentang: berapa harga sandal Swallow yang warna hijau di pasar baru, kenapa sekarang jarang ada orang membeli kaset bajakan, apa gambar seprai ranjang tidurmu waktu kecil dulu, kamu kalau memakai sepatu kanan dulu atau kiri dulu. Cuma tema-tema semacam itu.

Atau mungkin kau memang sekadar benar-benar tak dengar. Tapi bukankah hapemu bisa bergetar? Jika kau taruh di atas meja, pasti hape itu akan bergerak-gerak dengan suara 'drdrdrdrdrdrdrdr' sambil berputar-putar.
‘Drdrdrdrdrdr?’, kau bertanya.
Dan aku cuma bisa garuk-garuk kepala. Iya ya? Suara getaran hape itu kalau ditulis gimana ya? Benarkah 'drdrdrdrdrdr'? Ah, apa yang kita dengar kadang memang tak selalu bisa kita visualkan. Suara orang tertawa misalnya. Kalau aku jujur saja lebih suka menulisnya 'hahahaha'. Atau 'hehehehe'. Tapi toh ada juga yang menuliskannya 'wkwkwkwkwk'. Bahkan 'xixixixixi. Haghaghaghag. Kekekekeke'. Lalu siapa yang benar coba? Aku? Mereka? Semua? Atau malah; jangan-jangan; tak ada? Oh iya, lalu bagaimana suara getar hapemu itu ketika aku meneleponmu? Brrrrrrrrr? Ah, malah seperti orang kedinginan.

Atau jangan-jangan hapemu tidak kau taruh di meja, tapi kau kantongi di saku celana? Lho, tapi bukankah dengan begitu getarannya justru terasa? Atau kau sedang di dalam bis kota? Ya ya ya, tak aman memang mengangkat hape di tempat umum seperti itu. Tapi kau mau kemana coba? Sekarang sudah jam 1. Tadi kutelpon dirimu jam 12.15. Pergi dinihari begini memang mau menjemput pagi? Bukankah jam-jam segini lebih nyaman jika kau rebahkan tubuhmu di ranjang? Memasrahkan hidup dalam kekuasaan malam?

Apa mungkin memang kau sedang benar-benar tak ingin diganggu, karena asik chatting dengan lelaki-mu. Yang mana? Mana aku tahu. Aku bilang kan mungkin. Yang namanya kemungkinan kan akan selalu ada di dunia, betapapun sedikit prosentasenya.
‘Kamu itu tak terlalu pintar ya?’, kubayangkan kau mendorong pelan dahiku.
Ya, mungkin memang aku yang terlalu bodoh untuk melakukan sesuatu yang lain.
‘Maksudnya?’
Ya, karena menurutku di dunia ini tak ada yang lebih mudah untuk dilakukan seorang pria, ketimbang jatuh cinta padamu.
‘Lho?’, wajahmu pasti bingung sesaat, untuk kemudian meledak terbahak, ‘Kamu mabuk?’, pasti pertanyaan itu.
Tapi, ah sudahlah. Tertawalah. Kau memang satu-satunya kitab yang tak akan pernah sanggup aku khatamkan. Bertemu denganmu membuatku tiba-tiba merasa sangat-sangat tua sekaligus kembali seperti remaja.

Ah, pagi datang sebentar lagi. Tapi kenapa teleponku tak kau angkat tadi? Padahal ada konser Jazz bagus besok Minggu. Dan aku ingin mengajakmu.


***

Lelaki itu selesai membaca kembali apa yang sudah ditulisnya. Kepulan asap rokok menari-nari di depan layar laptop. ‘Sedikit picisan’, menyesap kopi yang sudah lama dingin, ‘Tapi siapa tahu ada redaktur media bodoh yang mau memuat di koran-nya. Lumayan, untuk beli susu si Bumi’. Ah, Bumi? Lelaki itu beranjak dari kursi lalu menuju pintu warna biru. Di celahnya dia temukan seorang perempuan dan juga bidadari kecilnya pulas dalam pelukan impian.
‘Itu Bumi. Dan itu ibunya. Kitab yang sudah kuselesaikan bahkan ketika baru akan kubuka sampulnya’.
Lelaki itu menghampiri jendela yang terbuka. Gerimis di luar sama sekali tak berwarna. Hanya hitam yang terlihat kejam.
‘Tuhan, apakah ini airmata-Mu atau justru muncratan liur-Mu? Kau sedang terluka atau justru terbahak di atas sana?’.
Sayup, bedug subuh ditabuh. Adzan berkejaran. Sinatra merayap pelan.
That's life, that's what all the people say… You're riding high in April, Shot down in May… But I know I'm gonna change that tune… When I'm back on top, back on top in June…



***



Casablanca, 3 Januari 2011
* Foto : Tatiana Mikhina

Cerita Jelek dari Negeri Brengsek

Tolani ngglethak. Bagaimana tidak, lengan kekar berbulu itu tadi menempeleng tengkorak, ‘Plakkk!!!’.
‘Kenapa kamu lari?!’, sepatu PDL penuh lumpur menjejak. Punggung Tolani berkeretak, ‘Ampun paakk…’.
Tiba-tiba tangan kekar itu menjambak, ‘Kan sudah dibilang, jangan berjualan di taman ini!! Kamu pikir taman ini punya kakek moyang mu apa??!! Ini milik negara!!’, mulut berkumis itu bergerak-gerak. Bau amis menyeruak.
‘Maaf paakk.. Keluarga saya butuh makannn..’, Tolani bersyukur jantungya masih berdetak.
‘Cangkemmu ituu.. Lha kok malah curhat!!’, lelaki berseragam hijau itu menggertak. Setelah menengok kiri kanan, raksasa itu mendekatkan wajahnya. Berbisik. ‘Sudah… Ga usah lama-lama.. Sini uang keamanan, dan kamu ngga saya tahan… ‘.

Tangan Tolani bergetar merogoh kantong. Limapuluhduariburupiah berpindah tangan.
‘Sekarang pergi sana.. Jangan sampai temen-temenku liat kamu..’, tangan raksasa itu mendorong Tolani, ‘Kecuali kamu masih punya duit…’, mulut busuk merenges.
Tolani perlahan pergi. Gerobaknya tak mungkin terselamatkan lagi. Si bungsu Budi tak jadi ke dokter sore ini. Mencretnya sudah lima hari tak berhenti.



***


‘Jadi anak-anak…’, Bu Guru Ndari memonyongkan mulutnya. Lipstik murahan menjadikannya merah menyala, ‘Sila kelima itu menegaskan bahwa negara ini menjamin keadilan buat tiap-tiap warga negaranya.. Tidak hanya yang kaya, tapi semua… Semuanya… Termasuk yang miskin..’, parfum Bu Ndari menyeruak. Sengak. ‘Bahkan jaminan terhadap fakir miskin ini juga dibahas di salah satu pasal undang-undang dasar kita…’, ruang kelas panas. Bau sampah masuk dari jendela dengan bebas.

‘Hayooo.. siapa yang tau pasal berapa yang mengatur soal fakir miskin iniii.. Trus bunyinya apaaa..’. Kelas hening. Kepala-kepala kecil itu terlihat pening. ‘Kalo ada yang tau, boleh pulang duluan’, Bu Ndari melirik jam. Tak ada salahnya sekali-kali membuat muridnya gembira. Tetap sunyi. ‘Generasi ini memang generasi tai!’, Bu Ndari mengumpat dalam hati.

Tapi tiba-tiba, satu jari teracung. Di ujung. Gadis kecil mengerjap-ngerjap. Baju putih kumal rambut kusut. Mia namanya.
‘Iya Miaaa…’, Bu Ndari memusatkan perhatiannya.
‘Pasal 34 ayat 1 bu…’, Mia tegas berkata. Bu Ndari tersenyum, ‘Ternyata ada juga yang masih bisa diharapkan’.
‘Bunyinya?’, Bu Ndari bertanya.
‘Ehhhmmm… Fakir Miskin dan anak – anak yang terlantar dipelihara oleh negara..’
Senyum Bu Ndari mengembang. Di tengah-tengah kelas 6 yang meranggas ini ternyata masih ada juga rumput yang hijau. Tak semuanya kacau.
‘Baiklah Mia.. kamu boleh pulang duluan…’
‘Huuuuu…’, seisi kelas bersorak iri. Tapi meski asu-asu tak setuju, bukankah kafilah berhak untuk tetap berlalu?

Setelah mengemasi buku-bukunya, Mia berlari keluar ruangan. Di sudut halaman, siswa kelas lima latihan paduan suara untuk upacara bendera.
‘….Indonesiaaaa… tanah airkuuuu... Tanah tumpah darahkuuuu... Di sanalah aku berdiriii... Jadi pandu ibukuuu.….‘.
Sayup suara sumbang semakin tertinggal di belakang. Hati Mia berbunga. Dia memang ingin pulang cepat siang ini. ‘Aku bisa lebih lama membantu bapak jualan rokok dan aqua di taman kota... Si Budi kecil mencret sejak hari Selasa...’, pita merah muda berbentuk kura-kura menari-nari di rambutnya.



***



Solo – Casablanca, 11-12 Desember 2010

Senja & Perempuan Pengejarnya

‘Percayalah.. Di kota ini tak ada senja..’, lelaki terengah. Namun tak berhenti cipta langkah. Sementara keringat terus mengucur. Anjing. Kota ini memang sudah mendekati hancur. Kereta bawah tanah proyek pemerintah cuma sedikit lebih baik dari sampah. Air Conditioner-nya lebih parah dari kipas angin tua di kantor kepala desa. Kursi besi warna karat berkeriut-keriut sekarat. Sementara manusianya? Mirip robot buta yang bergerak mekanis. Dengan bibir yang tak lagi bisa tersenyum manis.

‘Tak mungkin senja tak ada.. Senja ada di mana-mana..’, perempuan itu kian bersemangat. Kaki melangkah cepat. Tas hitam di punggung terayun anggun. ‘Satu-satunya tempat dimana senja tak ada adalah neraka’, lanjutnya. Serombongan keluarga terlihat melangkah menuju pulang. Mereka tahu, tak ada lagi yang bisa ditunggu. Mereka sudah paham, di kota ini; termasuk di pantai ini; senja dan segala macam keindahan sejenisnya hanyalah milik para pemimpi. Jangankan di musim hujan dimana mendung lebih sering menggantung, di hari paling cerah sekalipun, asap knalpot dan cerobong pabrik sudah cukup untuk menyembunyikan warna-warna lembayung.

‘Ya.. Kau benar.. Cuma di neraka tak ada senja..’ lelaki masih terengah, ‘Dan inilah neraka itu, kalau kau belum tahu..’, sneakers tua terantuk batu.
Sementara sang perempuan justru tertawa, ‘Jangan terlalu pesimis. Badai di sini belum seberapa’.
Ah.. Baru di sini dua minggu dia sudah mulai berani membanding-bandingkan sesuatu. Lelaki menggaruk kepala.
‘Kita kesana..’, perempuan berteriak lalu menjejak. Berlari sambil menenteng DSLR-nya.
‘Tunggu…’, lelaki mengikuti.

Di satu sudut pantai mereka berhenti. Pasir putih dan sampah plastik. Tak tersisa manusia.
‘Kita tunggu di sini’, perempuan lalu duduk.
‘Percayalah.. Senja itu tak mungkin ada..’, lelaki keluarkan kamera. Duduk sambil menata nafas. Mengintip si perempuan dari viewvender, lalu.. cepret.. cepret.. cepret..
‘Sudahlah.. Kita buktikan saja..’, perempuan menatap barat. Di mana langit pucat sepi semburat.

Waktu berdetak. Jarum jam menjejak. Tapi langit kelabu tak menampakkan tanda apa-apa. Yang ada, tanpa aba-aba, suasana pelan-pelan menggulita. Hembusan nafas keduanya membaur dengan laut yang berdebur. Warna nyiur mulai kabur.
‘Apa kubilang…’, lelaki berkata sambil menyulut sebatang rokok, ‘Di kota ini..Tak pernah lagi ada senja..’
Dalam remang, perempuan itu menyungging senyum, ‘Besok kita coba ke pantai sebelah sana..’

Lelaki terbatuk. Perempuan keras kepala, hatinya mengumpat. Menggugat. Bertahun-tahun paru-paruku diracuni udara laknat kota ini, berliter-liter keringatku yang menetes di tanah busuk ini, dan dia masih meragukan apa yang kukata?

‘Besok kita kesana..’, perempuan mengacungkan jari dengan mata jenaka. Menunjuk sebuah sudut di kejauhan. Dimana siluet perahu nelayan tampak bergoyang-goyang.
‘Untuk apa? Kan sudah kubilang.. Senja tidak ada di sini.. Tidak juga di sana..’, si lelaki tampak pasrah. Dia terlihat lelah. Mencoba berdiri dengan lungkrah.
Dan tanpa diduga, tiba-tiba perempuan itu berdiri tepat di hadapannya. Jarak kedua mata mereka mungkin cuma 15 centi 3 mili. Sumpah mati, mata itu benar-benar jenaka.
‘Percayalah…’, perempuan menggumam, ‘Aku tak peduli apakah aku akan menemukannya atau tidak..’, tatapannya tajam, ‘Tapi aku cukup bahagia karena aku sudah mencoba untuk mengejarnya..’. Lalu bibir itu tersenyum. Lesung pipit menyipit. Anjrit!!

‘Ayo kita pulang..’, perempuan balik badan. Kemasi kamera. ‘Sepertinya menikmati malam dari jendela busway terdengar menyenangkan’.
Lelaki cuma diam. Menghisap rokok dan tiba-tiba merasakan asap pekat yang menyesap. ‘Laknat.. Kenapa aku harus terus-terusan mempercepat kematianku sendiri’, benak lelaki melengking. Lalu membuang puntung yang masih sepanjang kelingking. Tanpa alasan yang diketahui, tiba-tiba dia ingin hidup seribu tahun lagi.

‘Kita lanjutkan perjalanan…’, perempuan lincah memulai langkah. Sementara di belakang, si lelaki masih terdiam dalam remang. Tersenyum kecut sembari menyadari, dirinya tak lebih dari kura-kura tua yang terseok di belakang elang betina muda yang bersiap merentangkan sayapnya.



***


Casablanca, 28 November 2010

Malam dan Percakapan

‘Kenapa dulu kau tak menghampiriku?’
Angin berhembus pelan. Daun cemara kering bergesekan. Dan lalu asap rokok bergumpal-gumpal. Melayang tak berkesudahan. Batang yang kesekian.
‘Kenapa?’, perempuan itu mengulang tanya. Sementara kesekian kali lelaki meneguk Bintang. Kaleng keempat. Alkohol tersesap. Lumat.
‘Bukankah dulu kita tak saling mengenal?’, asap tembakau bakar kembali menguar.
‘Apa Tuhan tak memang tak mengijinkan kita saling bertemu? Ketika itu?’, mata itu mengerjap. Seperti tokoh putri di kartun Disney.
‘Aku tak tahu’, lelaki itu menggeleng, ‘Tapi sepertinya selalu menjadikan Tuhan sebagai kambing hitam bukanlah cara yang bijak’.
Langit makin hitam. Tiada satupun kerlip gemintang. Sementara bulan sabit cuma mengintip sipit. Seperti mata cina yang kriyip-kriyip.
‘Aku di pojok belakang ketika itu’, angin lembut sentuh rambut.
‘Aku tahu. Sudah seribu kali kau mengatakannya’
‘Lalu kenapa kau tak menghampiriku?’
Sesaat keduanya diam. Sebungkam malam. Dan baru pecah ketika lelaki menyalakan rokoknya, ‘Sudahlah. Aku bukan Nobita’, katanya, ‘Yang punya laci Doraemon di kamarnya’
‘Ahhh... Aku bosan mendengar itu. Tak adakah kau punya perumpamaan lain?’
Lelaki tersenyum. Menatap mata si putri Disney, ‘Karena tema pembicaraan kita memang selalu sama. Dan tak akan pernah ada yang beda untuk hal yang sama’
Malam diam. Tak sedikitpun bergumam. Dan seperti yang lalu-lalu, tak ada pelukan. Kecupan. Apalagi lumatan. Mereka kembali tenggelam.


***


Utan Kayu, 23 Oktober 2010

Secangkir Racun Hangat dan Hujan yang Tak Begitu Lebat

Sebuah minggu yang sore. Taman kota ditelan sunyi. Beberapa manusia menikmati mendung yang terus menggantung. Tak satupun rintik menitik. Merpati-merpati bercengkerama. Mereka bahagia. Makhluk-makhluk suci yang konon tak pernah ingkar janji. Seorang seniman jalanan meniup saxophone tua di bawah patung malaikat bersayap pekat. Too much love will kill you melumat. Tak peduli meski tiada yang memperhatikan. Tiada telinga mau mendengarkan. Sementara di satu sudut, di kursi besi warna hijau lumut, sepasang manusia terlibat dalam kata dan tawa. Bahagia. Setidaknya itu yang terlihat.

‘Dasar antek kapitalis…’, sang lelaki berkata. Dan tawa kembali berderai.
‘Jika aku antek kapitalis, lalu kau sebut apa dirimu? Berlama-lama nongkrong di coffee shop demi menikmati secangkir kopi dan malam hari?’, perempuan bicara di sela-sela tawa.
‘Lho.. Jangan samakan itu dengan hobby belanjamu.. Keluar masuk mall untuk sekadar mengejar barang-barang diskonan yang kau inginkan.. Padahal sebenarnya benda-benda itu tidak terlalu kau butuhkan..’
‘Dan itu berbeda dengan yang kau lakukan? Gitu?’, perempuan memotong. Dia menantang.
‘Jelas.. Aku nongkrong di coffee shop untuk mencari inspirasi.. Itu kebutuhan, bukan keinginan..’

Lalu untuk kesekian kali, tawa perempuan pecah. Renyah, ‘ Ah.. mana mungkin kau masih bisa membedakan apa yang kau butuhkan dengan apa yang kau inginkan? Bukankah sejak dari dulu kau selalu mengatakan, bahwa kau tak punya lagi punya hati?’. Tawa lagi. Si lelaki menghembuskan asap rokoknya. Menyeringai. Terpaksa mengalah dalam perdebatan ini.

Begitulah yang selalu terjadi pada pertemuan-pertemuan mereka. Pertemuan yang selalu saja singkat. Namun padat. Seniman berbaju kumal itu sudah mengganti lagu. Everybody Hurts mendayu sendu. Sementara merpati-merpati saling berkejaran tak beraturan. Seakan tiada beban pikiran. Beranakpinak, makan, beranakpinak, makan.

‘Kau tahu’, sang perempuan buka suara setelah berhenti dari tawa. Nada suaranya kini beda, ‘Betapa sebenarnya aku menginginkan saat-saat seperti ini bisa terjadi setiap hari’. Keduanya bersitatap. Lelaki melepas senyumnya lalu melepas pandangan di kejauhan. Secara perlahan, dia sulut batang tembakau yang entah sudah kesekian. Suara berkeretak pelan ketika pipi kurus itu menghisap rokok dalam-dalam. Asap mengepul, meliuk, lalu lenyap ditelan alam. Sang perempuan merapatkan jaket biru tua dan membenarkan letak duduknya, ‘Mungkin sebaiknya aku bercerai saja’.

Sang lelaki diam tak berekspresi. Kembali menghisap rokoknya dengan satu isapan yang dalam. Dia sepertinya berharap, isapan itu bisa menelan semua dunia yang ada di sekitarnya. Namun rupanya usaha itu sia-sia. Perempuan itu masih di sampingnya. Begitu juga gembel tua dengan saxophone-nya. Merpati-merpati bahagia. Malaikat bersayap pekat. Tak ada satupun yang menjadi tak ada. Semua masih terlalu nyata untuk bisa disebut sirna.

‘Aku yakin kita bisa bahagia… Berdua…’, perempuan kembali bersuara. Pasangan remaja terlihat tertawa-tawa di seberang sana. Terlihat rona merah muda di wajah keduanya. Ah, rupanya panah cupid menancap tepat di jantung mereka.

‘Sadarkah kau..., Hampir setiap malam aku membayangkan, kita berbincang di atas ranjang, mengutuk dunia dan seluruh isinya, memaki betapa kotornya petinggi-petinggi negeri ini, betapa picik dan munafiknya para pemuka-pemuka agama, betapa tololnya masyarakat kita yang menjadikan TV sebagai berhala, menukar harga diri dengan secangkir kopi di Starbucks, sehelai kutang Victoria Secret, sayap goreng di gerai Mc. D, musik-musik busuk MTV, dan dengan otak kosongnya justru merasa bangga karena bisa mendorong benda konyol bernama troli di sesela lorong-lorong panjang Carrefour, Hypermart, dan sebagainya dan sebagainya… Lalu jika kau haus, aku akan tuangkan bir untukmu, kita meneguknya bersama, membiarkan sedikit alkohol mendinginkan otak kita, lalu kita kembali bicara-bicara.. Dan seterusnya dan seterusnya… ’, perempuan itu menggebu-gebu. Mendung bernaung agung. Belum ada tanda-tanda air tumpah mencipta basah. ‘Aku rindu saat-saat itu…’, mata lentik itu berkedip. Ada asa di sana. Ada asu melintas buru-buru. Beberapa ekor merpati terbang sebentar. Untuk kemudian mendarat lagi.

‘Pulanglah…’, lelaki buka suara untuk kemudian kembali menghisap rokoknya. Nikotin menyesap pelan ke paru-paru. Menempel di dindingnya untuk kemudian membusuk di situ, ‘Suamimu pasti menunggu’. Nada-nada saxophone tak berhenti mengalun santun. Matahari sedikit mengintip di celah langit. Keduanya tak bersuara beberapa lama. Si lelaki menjatuhkan puntung rokok setelah mengembuskan asap yang terakhir, ‘Pulanglah…. Suamimu menunggu di rumah’. Lelaki itu berdiri.

‘Kau mau kemana?’, perempuan memegang tangannya. Si lelaki menolehkan kepala, sekuntum senyum di bibir hitam. Bekas nikotin yang menua. ‘Aku akan pulang’, katanya.
‘Ke tempat itu lagi?’, perempuan lemparkan tanya. Tangannya masih erat mengikat, ‘Mungkin sebaiknya kau pindah ke tempat lain yang lebih nyaman. Tak sehat tinggal di kamar sempit tanpa jendela seperti itu’.
Sang lelaki kembali tersenyum, ‘Aku tak mungkin melakukan itu’
‘Kenapa?’, mata perempuan mengerjap.
Lelaki menghela nafas, ‘Bagaimana jika suatu malam di penghujung hujan dia pulang? Berlari-lari menyeberang jalan menembus titik air yang terus menyerang, lalu mengetuk-ngetuk pintu kamarku dan tak menemukan aku disitu?’

Ada diam teredam. Langit berkeriput. Senja makin terlihat purba. ‘Kau masih menantinya kembali?’, perempuan mengharap jawab.
Lelaki tersenyum kecut. Ada beban tersirat. Berat.
‘Aku tak punya pilihan’, pelan dia lepaskan pegangan tangan sang perempuan, membalik badan, lalu mulai melangkah menuju barat. Ke tempat semua makhluk nantinya berpulang. Siluet hitam ciptakan bayang-bayang. Semakin memanjang. Tanpa aba-aba, pada detik yang sama ada telaga di dua pasang mata. Hujan akhirnya turun meski tak begitu lebat. Secangkir racun hangat sepertinya menu yang tepat. Nikmat..



***



Mojogedang, 12 September 2010

Patung di Perempatan Jalan

; Tentang Lelaki yang Tak Beranjak dan Perempuan yang Membunuhnya



Siapa sebenarnya dia, Nek?’, gadis kecil mengerjap-ngerjap. 5 tahun usianya. Masih terbata berkata-kata. Sang nenek mengikuti telunjuk si bocah. Untuk kemudian menelan ludah. Senyum sekuntum. ‘Dia?’, nenek meyakinkan. Bocah itu mengangguk (Sumpah!! tak ada dosa di matanya. Jenaka seperti boneka. Pipi tembem mirip apem. Mungkin enak kalau dikunyah. Tapi pasti akan berdarah-darah)

Si nenek membenarkan letak duduknya. Kursi besi warna tua. Warna jelaga. Seperti senja yang biasanya, perempatan jalan itu banyak manusia. Menikmati dedaunan yang berguguran. Menikmati sunyi perasaan. Menikmati sepi hati. Menikmati waktu mati. Terlebih ketika matahari bergerak pelan mengecup bumi. Di sana. Di barat sana.

Siapa, Nek?’, bocah kecil mengulang tanya. Lollypop tergenggam di tangannya. Jilat jilat jilat.. lidahnya menjadi ungu. Seperti ulat. Lucu. ‘Itu cuma patung, Cah ayu’, nenek mengelus rambut si bocah. Mata bereka bersitatap. Ada secuil kekecewaan. Ketidakpercayaan.
Cuma?’, si bocah mengedipkan mata. Sumpah, dia bunga jelita. Sang nenek tersenyum. Menyadari bahwa cucunya terlahir dengan rasa penasaran yang berlebihan. Tak melulu menerima apapun jawaban yang diberikan. Sementara patung di seberang jalan masih tetap sama. Duduk dalam resah yang menunggu. Hitam kelam sewarna malam. Hujan, panas, dan segala ujian alam tak pernah sanggup menggesernya. Memindahkannya.

Semua berawal puluhan tahun yang lalu, Cah ayu…’, si bocah menatap neneknya. Penuh perhatian. Seakan tak ingin melewatkan sepatah katapun yang keluar dari bibir perempuan tua itu.
Dia lelaki yang menunggu..
Mata bocah itu menyipit. Tanda bahwa dia benar-benar tertarik dengan dongeng neneknya.
Pada suatu waktu, lelaki itu bukan sesuatu yang sendiri. Dia memiliki seorang kekasih. Bidadari surga, begitu sang lelaki memanggilnya’, sang nenek berhenti sampai di sini. Seakan mencari-cari kata yang tepat untuk melanjutkan kisahnya. Sepasang kekasih berjalan beriringan melewati patung legam itu. Melempar koin ke mangkuk kecil di depan seseorang yang bermain saxophone.

Lalu?’, dasar bocah. Selalu tak sabar.
Keduanya sudah bersama sekian lama. Pahit manis mereka rasa. Seperti sepasang sepatu. Tak mungkin kan cuma dipakai salah satu?’, selembar daun melayang lemah, kemudian sentuh tanah. Saxophone mengalun. Jazz purba tentang derita.
Pada suatu November yang hujan, sang perempuan berpamitan. Aku ingin bepergian, katanya. Kemana, lelaki bertanya. Perempuan diam saja. Berapa lama? Tak lama, jawabnya. Tak lebih dari dua belas bulan, kita ketemu lagi di sini. Si lelaki akhirnya menyetujui. Menurutnya, perpisahan sementara tak lebih dari penyaliban Isa. Pengorbanan demi sesuatu yang jauh lebih akbar. Penyatuan yang abadi’, Si bocah kini benar-benar tak peduli dengan lollypop-nya. Dongeng ini beda dengan yang biasanya, pikirnya. Tak seperti kisah cinderela dan sepatu kaca. Tak juga sama dengan kancil jail yang suka ngutil. Ini beda. Benar-benar tak serupa dengan dongeng pengantar tidur. Ini dongeng senja. Bukan dongeng ketika bumi benar-benar sudang gulita, Otak kecilnya berkata-kata.

Tapi seperti yang nenek selalu katakan padamu, Cah ayu. Waktu itu selalu abu-abu. Kadang sekutu kadang seteru. Dua belas bulan berjalan. Dan lelaki itu kembali di tempat ini. Mengenakan pakaian terindah yang dia miliki. Parfum terwangi yang mampu dia beli. Dan kau lihat bunga di tangannya itu? Itu bunga yang dia petik dari taman depan balai kota. Masih segar ketika dulu dia bawa’, sang nenek menghela nafas. Angin senja bawa berita, ‘Dunia sudah tuaaa… dunia sudah tuaa….’, berisik berbisik.

Si bocah duduk manis menunggu. Matanya menatap ibu mamanya itu.
Ketika takbir pertama adzan subuh terdengar, lelaki itu sudah berada di sini. Sejarah mencatat, binar mata tak pernah sanggup berdusta. Aku akan bertemu dengan kekasihku, hatinya berdentam-dentam. Membayangkan bidadari surganya yang jelita. Dengan gaun hitam muda, warna kesukaannya. Dan ini bunga untuknya, jiwanya bersorak serak.. bersorak serak..’. Pemain saxophone di seberang jalan memulai lagu baru. Kali ini agak lebih sendu.

Tapi cah ayu, ingatlah selalu, waktu itu selalu abu-abu. Kadang sekutu kadang seteru. Sampai malam menyerang, perempuan itu tak datang. Bahkan ketika bulan sabit mulai berkedip-kedip genit, ketika bintang-bintang melayang di awang-awang, perempuan itu tetap tak datang. Ah, mungkin esok pagi, lelaki itu menelan kekhawatirannya sendiri. Mungkin kapal yang dinaikinya datang terlambat. Tapi seberapa besar kemampuan kita membangun kenyataan? Keesokan harinya, sang kekasih tetap tak tampak. Wangi parfum sudah lak lagi semerbak. Sampai selimut malam mengelam, tak ada tanda-tanda kekasih hati akan datang. Ah mungkin besok, hatinya kembali bersuara. Tapi keesokannya terjadi hal yang sama. Begitu seterusnya. Begitu seterusnya. Sampai hari ini. Sampai lelaki itu membatu. Sampai bunga yang dulu segar itu kini kuyu dan layu’

Si bocah diam. Entah, apakah dia paham. Di kejauhan terlihat dua anak sebayanya berkejaran. Seperti malaikat-malaikat bersayap di taman surga. Bermain memperebutkan secuil permata. ‘Perempuan yang dusta’, tiba-tiba bibir kecil itu berkata, sebelum mengulum lollypop-nya. Si nenek tercekat. Tak menyangka dengan komentar cucunya. ‘Seharusnya dia datang. Dia sudah berjanji’, si bocah semakin menjadi. Menjilati lollypop di jemari. Sebaris angin datang bersamaan. Daun-daun berguguran. Melayang-layang. Tiada yang menopang.

Perlahan namun pasti, sebutir kristal mengental di mata sang nenek. Mata tua itu menunggu aba-aba untuk menjelma telaga. Dan di satu titik, ketegaran pecah. Sebutir air sentuh tanah. Jemari tua gemetaran. Tak sanggup tahan perasaan. ‘Aku memang pendusta, Cah ayu.. Aku memang begitu… Selalu…’, hatinya buka kartu. Saxophone makin mendayu. I can wait forever* terdengar syahdu.




***



* I can wait forever (Air Supply)
Utan Kayu, 26 Juni 2010

Bibir

; Lelaki yang memakan hatinya sendiri

‘Dia istriku. Secara de jure. Tapi dia pelacurku. Secara de facto’
Kami menikah tepat tiga tahun yang lalu. Satu Rabu tengah Januari. Ketika gerimis sok manis tak henti menari sejak pagi (Bayangkan, bahkan puisi-puisipun memilih untuk tidak bangun sejak pagi! Memati!)
‘Saya terima nikahnya bla bla bla binti bla bla bla dengan mas kawin seperangkat bla bla bla dan uang tunai senilai bla bla bla dibayar tunaiiii…’, aku copy paste ucapan lelaki berpeci. Jas abu-abu asu.
‘Sah???’, kumisnya bergerak-gerak. Serupa mata tombak.
‘Saaahhh!!!’, kedua kawanku teriak kompak. Sementara aku menikmati sup hatiku sendiri. Yang dimasak dengan air rebusan kaus kaki. Hoeeekkk!!! Dingin pagi seolah meledek. Dan ketika sujud di depan ibu, hangat air mata basahi bahu. Asu asu asu.. begitu doáku.
Sejak itulah aku disebut suami. Sementara dia seorang istri.

(‘Kenapa tak pernah kau perawani bibir ini’, pertanyaannya setiap waktu.
‘Karena aku tak akan pernah merusak sesuatu yang suci’, begitu jawabku. Selalu)

***

; Perempuan yang terpaksa memilih antara neraka atau entah apa namanya

‘Apa?! Menikah?!’, sontak terhenyak.
‘Ya’, jawabnya tenang.
Anjing!! Lelaki sinting!!
‘Menikah?! Kawin?! Di mana sepasang lelaki dan perempuan saling memasangkan cincin?!’, aku masih belum percaya. Dan gilanya, dia anggukkan kepala.

‘...Gotta find a way… Yeah I can’t wait another day…’*, Steven Tyler mengusir sunyi. Starbucks tak ramai senja ini. Hanya dua pasang remaja di sudut sana. Tertawa-tawa menyembah berhala paling kuasa… Amerika.
‘Gimana?’, dia bertanya. Caffè Latte diteguknya. Sementara aku masih tak menemu kata-kata. Bangsat!! Gerimis di luar pun sama sekali tak bersahabat. Tak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda akan datangnya kiamat.

..Yeah… But its never too late… To start again take another breath… And say another prayer…*’
Mocha Frappuccino tiba-tiba berubah rasa. Serupa air soda.
‘Aku tahu kau tak mencintaiku. Begitupun aku. Tapi pentingkah itu?’
Asu!! Beruntung di Starbucks tak ada tumpukan batu. Ingin rasanya kutimpuk kepala lelaki itu.
‘Wahai lelaki..’, aku pelan bicara, ‘Bagaimana mungkin kita menikah? Kawin untuk kemudian bersama-sama bereproduksi, menghasilkan anak lalu membesarkannya… Sementara kita tahu tak ada setitikpun rasa di antara kita?’
‘Logika’, matanya mengerjap sok jenaka.
Tai kuda yang maha sempurnaaa... Mungkinkah Tuhan lupa membagikan jatah otak untuknya??? Logika dia kata???
Cinta cuma masalah waktu cah ayu…’. Prettt!!! Filsafat!!! Setahun aku mengenalnya, filsafat bangsat semacam inilah yang paling aku benci darinya.

Bayangkan, sore tadi aku baru pulang kerja. Dia kirim pesan singkat. Sangat singkat. ‘Starbucks yuk..’. Dan berhubung aku sendiri sangat-sangat suntuk dengan casting robot yang kumainkan setiap hari di kantor, aku iyakan dia. Dan ternyata? Dia mengajakku menikah. Yeeeaaah, hidup ini memang terlalu indahhhh… Sangat indaaahh...
‘Ibuku. Kau tahu itu’, dia menatapku, ‘Aku ingin memberi kado terindah untuknya.. Selagi waktu masih ada..’

....If this life… It seems harder now… It aint no never mind… You got me by your side… *
‘Kenapa harus aku? Aku cuma sahabatmu?’
‘Lalu siapa? Jika dirimu kau bilang ‘cuma’?’
Gerimis di luar tak lagi riwis. Kilat bersilat. Mobil-mobil berjalan. Berhimpitan. Ya, kemacetan memang bahaya laten yang maha sialan.
Ayolah.. Anggap saja kita saling membantu.. Atau kau lebih memilih lelaki pilihan orang tuamu itu?’
Akupun semakin kehilangan kata-kata. Tuhan kadang memang Maha Gila. Memberi pilihan yang sebenarnya bukan surga atau neraka. Melainkan neraka atau entah apa namanya.

‘Jadilah perempuanku. Lalu kita berserah pada waktu’. Waktu??? Jam baru menunjukkan pukul lima seperempat. Tapi aku merasa dudukku disini sudah berabad-abad. Huahhh.. Aku teringat bapak. Juga ibu. Dan juga keinginanku untuk membalas kehidupan yang diberi padaku. ‘Apa mungkin bisa?’, dia diam saja. Sepasang remaja di meja seberang meja tampak bahagia. Berbisik-bisik entah apa, mungkin seputar isi celana. Kurasa mataku mulai berkaca ketika pelan kuanggukkan kepala, ‘Tapi kau harus janji…’
‘Apa?’.
‘Berjanjilah kau akan membuatku jatuh cinta’
Pelan, dia anggukkan kepala.

...And fly away from here.. Anywhere… Yeah I dont care …*
Senja menua. Mocha Frappuccino tak lagi rasa soda. Melainkan kencing kuda.

***

; Sepasang pengantin tanpa rasa

Gamelan masih bertalu di luar kamar. Sajak-sajak purba soal cinta. Soal rasa. Yang sembunyi entah di mana.
‘Haruskah kita melakukannya?’, perempuan itu bertanya. Wangi melati isi udara. Serupa dupa.
‘Entahlah. Aku lelah’, sang lelaki tak henti membaca. Buku tebal di tangannya. Perempuan itu rebah. Ranjang sedikit bergoyang, ‘Kau tidur di mana?’
Lelaki membenarkan letak kacamatanya, ‘Aku di sofa saja. Tak apa’. Malam itu tak terjadi apa-apa. Begitu seterusnya. Bertahan hingga setahun ke depannya.

***

; Perempuan yang tergila-gila

‘Kenapa tak pernah kau perawani bibir ini’, pertanyaanku setiap waktu.
‘Karena aku tak akan pernah merusak sesuatu yang suci’, begitu selalu. Lalu kamipun bergumul dalam nafsu. Lenguh. Peluh. Luruh.
‘Aku mencintaimu’, kecupku di ujung permainan. Yang selalu dia jawab dengan senyuman. Lalu kamipun berpelukan. Hingga pagi kembali datang.

(Gila.. Tiap hari dia selalu bisa buatku jatuh cinta…)

***

; Lelaki yang membuka topengnya

Meski bukan merpati, aku selalu tepati janji. Bagaimana tidak, dia kini benar-benar cinta mati. Tapi sejak kecil aku tak begitu berbakat membohongi diri sendiri. Tentang bibir itu, ucapanku benar-benar palsu. ‘Aku tak mungkin membiarkanmu melumatku. Karena bibirku hanya miliknya. Dia saja’, hatiku buka suara.






* Aerosmith -Fly Away From Here-
Utan Kayu, 15 Juni 2010

Reuni

Laki-laki itu masuk. Lambaian tangan di seberang. Mendekat lalu duduk. Sofa empuk warna kuning kerupuk. What a difference a day made penuhi udara. Lampu redup warna jingga. 'Senyummu masih sama...', lelaki bicara. Dua pasang mata. Saling tatap. Jutaan cerita tersimpan di sana.
'Kau mau pesan apa?', perempuan lalu memanggil pelayan.
'Tolong cappucino ice saja mbak...', waitress berjilbab merah muda tersenyum, lalu mengambil jarak.
'It's heaven when you find romance on your menu... What a difference a day made... And the difference is you, is you...', Cullum mendayu-dayu.

'Gimana?'
Saling senyum. Lalu perempuan itu mulai cerita. Tentang pelangi, tentang mimpi, tentang hari ini. Ada gairah. Yang lama tak tercurah. Lelaki hanya diam. Menatap lekat. Menjadi pendengar yang hebat. Dan cerita-pun usai. Sekian detik yang bisu.
'Lalu?'
'Apanya?'
'Bagaimana dengan dirimu?'
Lelaki menghela nafas, 'Aku baik-baik saja...'
Seketika senyum perempuan itu sirna. Dia kecewa. Laki-laki itu kini menjadi pendusta. Pendosa.



***


Utan Kayu, 22 April 2010

Bunga


; Fiksi tentang Perempuan Ndamar Kanginan Nanggal Sepisan




Sebut saja namanya Bunga. Perempuan bermata lentera. Dengan sepasang bulan sabit bertengger di atasnya. Di dirinya. Aku temukan tawa. Yang lama tak sua.

Sumpah mati. Pertemuan kami adalah bukti. Gusti Pangeran Maha Segala. Termasuk Maha Gila. Gokil abis, bahasa MTV-nya.

Siang itu biasa saja. Awan bergerak lunak. Berarak pinak. Tiada gerimis. Meski sekedar riwis. Tapi badai terlalu jauh untuk dikata usai. Selesai. Ombak masih menggelegak. Petir kirim anyir. Jutaan semut api sengat hati. Ada airmata di sana. Warna merah saga. Serupa darah renta.

Di situlah kami berjumpa. Bicara bicara bicara... Kata kata kata... Dan mau tak mau, aku dipaksa tertawa. ’Gila!!’, umpatku tak kunjung reda. Menyadari tawa yang ada setelah berpisah lama.

Aku hidup di dua dunia..’, katanya suatu malam. Ketika sekumpulang bintang remang berenang-renang. Tertawa riang. Dengan bersemangat dia mulai cerita. Tentang kawan-kawannya. Kuntilanak, genderuwo, pocong, sadako, dan makhluk-makhluk sejenisnya.
Jangan-jangan kau kenal tuyul juga?’, aku mulai menggila. Dia tak mempedulikannya.
Mereka bukan sesuatu yang asing dalam hidupku’, katanya.
Seperti halnya dirimu bagiku’, sebagian dari hati tiba-tiba bersuara. Entah atas dasar apa. ‘Mungkinkah reinkarnasi adalah sesuatu yang nyata?’, pertanyaan tolol menggema di dada.
Jangan-jangan di kehidupan sebelumnya kami adalah sepasang yin yang? Rama - Sinta? Roro Mendut - Pronocitro? Romeo – Juliet? Nabi Muhammad – Siti Khadijah? Julius Caesar – Cleopatra? Donald - Desy?’, aku mulai menjadi konyol. Tolol.

Sudahlah... Cepatlah kau miliki...’, seorang kawan memaki. Dan aku hanya tertawa. Cinta tak sama dan jauh beda dengan politik tai kuda. Yang hanya bicara tentang bagaimana cara menguasai. ‘Ini masalah memberi...

Sebut saja namanya Bunga. Perempuan bermata lentera. Dengan sepasang bulan sabit bertengger di atasnya. Di dirinya. Aku temukan tawa. Yang lama tak sua. Itu saja.



***



Utan Kayu, 19 April 2010
(Ditulis bersama Plain White T’s yang berhitung 1,2,3,4... spesial untuk bulan sabit malam ini... Hallah…, LEBAY!!! :)


Maaf. Bukan Bintang. Hanya Kunang-Kunang.

Laki-laki berlari. Lintasi sawah. Kung kong kung kong... Katak bersahut. Menyahut. Genggaman bercahaya. Di tengah gulita. Tersandung pematang. Keringat menyengat. Tiba di rumah. Dinding bambu. Atap alang-alang. Senthir kipat kipit . Gelesot di pinggir dipan.

'Sri.. hanya ini yang bisa aku dapatkan...', menata nafas.
'Dia itu nyidam bintang..', dukun bayi. Sirih dikunyah. Merah. Sewarna darah.
'Tapi aku hanya bisa menangkap kunang-kunang...', lelaki membuka genggaman.
'Tak apa mas..', perempuan ranjang tersenyum. Nafas terengah. 'Ini... cukup bagiku...', kunang-kunang beralih tangan.
Keringat keringat.
'Aaahhh... aaaahhh...', Engah engah.
'Tarik nafaasss... Buaaaannng... Tarik nafaaasss.. Buaaanngg...'
'Aku sayang kamu Sriii... aku sayang kamuuu...',
raungan lelaki. Sepasang tangan. Saling genggam.
'Aaaahhhh..... aaaaahhhhh.....'
Oeeekk.. Oeeekkk....
Malam pecah. Merah. Bergerak-gerak. Anak.
'Laki-laki...'
'Alhamdulillaaahh... Matur sembah nuwun Gustiii...'
'Cepat. Kau bisikkan adzan..'
'Allahuakbar Allahuakbar...',
adzan di kuping kanan.
Tangis bayi.
'Welcome to the jungle... We've got fun 'n' games... We got everything you want...', Welcome to The Jungle di kuping kiri.*
'Selamat datang nak..' , senyum terangkum.
'Kita beri nama siapa dia mas..' , di tengah lelah.
'Entah. Mungkin Lintang..'
'Bagaimana jika Kunang..'
'Terserah kamulah...'
Malam berserah. Pada sajadah. Tak lelah-lelah.


*terinspirasi dari salah satu bagian dari Koleksi Kicau Kata-Kata Kacau Muhammad Firman Prasetyo
** Ilustrasi gambar diambil dari
Grave of the Fireflies (Movie)



Utan Kayu, 19 Des. 09

Rewang

Rebab terjerembab. Plenggg!!! Rewang dikampleng. Puyeng.
'Dasar PKI!!'. Jrooottt!!! Sepatu Lars. Bibir moncrot.
'Saya bukan PKI pak...', Rewang meratap.
'Cangkemmu!!'. Buukkk!!! Giliran perut.
'Benar pak.. Saya hanya Lekra'.
Plakkk!! 'Asu!! Itu sama!!'
Rewang terpuruk. Kulit legam. Cipratan darah.
'Sekarang jawab', Kopral yang satu angkat suara, 'Kenapa kau bunuh para Jendral?'
Rewang menata nafas.
'Jawab!!', jrooott!! Lagi-lagi moncrot.
'Saya tidak melakukannya pak... Saya hanya pemain rebab..'
'Diancuuukk!!'. Cuuhh.. Ludah.
'Benar pak.. Seumur hidup saya tidak pernah membunuh siapa-siapa.. Bahkan lalat sekalipun.. Suargi nenek saya melarang saya untuk membunuh makhluk apapun pak...'
Dor!! Kepala Rewang pecah. Merah.
'Kenapa kau membunuhnya?!', Kopral yang satu melotot.
'Dia boleh berbohong. Tapi tak boleh menyindirku..'


*Gambar diambil dari sini

Primata-Primata

;Semacam adegan dalam Cinta Fitri

Armani…’, laki-laki itu menyebut nama tuhannya. Mata mencuat. Getir espresso tercecap. ‘Itu body Aura Kasih punya..’, kelaminnya menjejak. Berusaha berontak. Dua kawan semeja sama bodohnya. Bahkan liur si Bento sudah meleler. Dasi barunya yang senilai UMR buruh pabrik Jakarta basah. Air ludah. Bau sampah.
Tak mungkin Tuhan tak ada..’, tanpa sadar Bandi bicara. Dua sekutu njenggirat. Tak percaya.
‘Kau mulai beragama?‘, Bento bertanya. Memendam tawa.
Bandi menatapnya, ‘Aku belum sebodoh itu’. Wangi Bvlgari Aura Kasih-Aura Kasihan itu masih menggantung di udara. Bau surga. Menyesakkan celana (Tak mungkin jelata bisa punya!!).
Bagaimana mungkin kau percaya bahwa Tuhan tak benar-benar ada?’, Bandi mulai berdeklamasi. Bukan puisi. Lebih mirip tai. ‘Lihat saja tubuh itu’, ucapnya sambil menunjuk Aura Kasih gadungan di meja seberang. Paha putih merangsang. ‘Kekuatan macam apa yang bisa menciptakan tubuh seindah itu… Kecuali Tuhan’.
Dua kawan diam tak paham. Bandi mendelik frustasi. Di udara ada sember Marvells. Senja ini Starbucks tak begitu ramai.

***

Yang itu…’, Bedo menunjuk jas kecil biru muda. Sang mama mengambilkannya. Rp 750.000,00. Label tunjukkan harga.
Ini barang murahan sayang…’, mama berkata pelan. Gincu merah bau darah. ‘Yang ini saja…’, mama menyarankan. Kemeja kotak-kotak warna ungu. Rp 1.500.000,00.
Laki-laki 7 tahun itu cemberut. Mama tak peduli. Melenggang ke meja kasir. Dompet merah muda dibuka.
Tapi ma…’, Bedo mencoba protes. Tapi mata mamanya menghentikannya.
Dengar sayang… ini bukan pentas tujuhbelasan kampungan.. Ini Cari Idola.. Mata Indonesia akan menemukanmu... Kau harus tampil seindah mungkin...’, gincu darah itu bergerak-gerak. Bedo tak paham. ‘Nanti kita mampir di J-Co. Kita borong Miss Green T, Alcapone, Coco Loco dan semua donat kesukaanmu’, sang mama ucapkan janji. Bedo sumringah, mengalah.
Tapi Si Bleki dibelikan juga ya...’, Bedo mengucap syarat, 'Lima'.
Tidak’, mama menukas cepat. ‘Tiga saja. Bleki sudah memecahkan Annick Goutal’s Eau d’Hadrien mama. Gara-gara itu nanti malam mama harus ke Rotterdam membeli gantinya’. Debo berniat protes. Tapi tak jadi. Dia paham. Tak ada yang mungkin bisa merubah keputusan mama jika berhubungan dengan wewangian. Kartu kredit berderit. Persis suara silit.

***

Siapa itu Tan Malaka?’, Agnes menatap layar laptopnya.
Kenapa memangnya?’, Afgan membalas tanya dengan tanya.
‘Dia mengirimiku email’, Agnes berkata. Matanya tak bergerak. Bukan gara-gara artikel tentang Suku Kubu (‘Kubu? Bukankah sudah waktunya mereka dimuseumkan?’, Agnes memprotes tugas sang dosen. Seisi kelas tertawa. Si dosen melenggang. Meski berang).
Pizza pesanan datang.
Silahkan’, senyum palsu waitress berjilbab menyilahkan. Tak dihiraukan.
Apa katanya?’, tanda tanya memang nama tengah Afgan (Meski tak sekalipun benar-benar berusaha mencari jawaban).
'Suaraku akan terdengar lebih nyaring dari alam kubur...', Agnes membaca.
‘Hallah..’, Afgan kibaskan tangan. G-Shocknya kedipkan angka. 17:08:45. ‘Paling-paling orang gila’, Deluxe Cheese menjejal di mulutnya.

McFly mengalun di udara. French fries mengelus saus merah. Seperti darah. Lalu dikunyah.
Tan tidak gila. Hanya sedikit lupa. Bahwa MTV mampu membutakan telinga.


*Gambar diambil dari sini

dan....

: naskah yang tak pernah selesai

Suatu pagi musim semi di pendopo Astana Tresna. Melati merekah di halaman. Sisa gerimis melekat di rerumput hijau pekat. ‘Cupid…’, Aphrodite mendesah lembut. ‘Injjih Ibunda Ratu…’, jawab Cupid yang bersimpuh di atas permadani ungu muda di depan singgasana. ‘Kau tahu kenapa kau kupanggil kesini?’, Semerbak wangi surga memenuhi udara pendopo Astana ketika Aphrodite berdiri dari duduknya dan berkata. ‘Tentu saja Ibunda….’, Jawab Cupid, ‘Kali ini siapa manusia yang beruntung karena harus mendapatkan luka dari anak panah hamba?

Burung gereja bercicit-cuit di dahan cemara. Jari-jari Aphrodite bergerak lembut mencari sesobek kertas kecil yang diselipkan di balik BH merah mudanya, dan dia mulai membaca, ‘Jingga.., seorang perempuan 20 tahun yang tinggal di bumi Jawa... Ini alamatnya’, tangan Aphrodite memberikan sobekan kertas yang semula dipegangnya. Cupid menerima dengan khidmat, lalu membaca aksara di atasnya. ‘Anak panahmu harus menancap tepat di dadanya sore ini juga. Pengorbanan Jiwa, laki-laki yang kau panah setahun yang lalu sudah cukup untuk mendapatkan sebuah kepastian. Ingat, sore ini juga! Karena kudengar, besok siang Izrail akan menjemput Jiwa. Dan aku tidak ingin laki-laki itu menghembuskan nafas terakhirnya tanpa mendapatkan kepastian …’. Cupid membalas tatapan mata ibunya penuh makna, ‘Sendiko dawuh Ibunda tercinta..’.

Aphrodite lalu menyerahkan sebatang anak panah perak berukir hati yang dibungkus selembar beludru ungu, ‘Ini anak panah yang harus kau tancapkan di dada Jingga. Tadi malam ujungnya sudah kuoles dengan setetes darah laki-laki itu. Ingat, jangan sampai salah orang! Sekarang juga laksanakan!’'. Cupid-pun menerima anak panah itu, lalu secepat kilat mengepakkan sayapnya melesat menembus gumpalan-gumpalan awan putih, melewati ribuan kenari yang terbang tinggi, untuk mengantarkan sebuah hadiah (sekaligus musibah) bagi seorang anak manusia bernama Jingga.

***

Jadi ini yang namanya Jingga?’, bisik Cupid dalam hati sambil menatap seorang gadis yang duduk membelakanginya di sebuah sudut kamar biru muda. Cupid-pun terbang mengitari kamar seluas 3x4 meter itu. Ratusan… atau bahkan ribuan burung-burung kertas putih tergantung di langit-langit kamar. Beberapa kali Cupid harus melepaskan diri ketika benang-benang yang menggantung burung-burung itu menjerat sayap atau kaki-kaki kecilnya.

Gadis itu masih membenamkan wajahnya di meja belajar ketika Cupid mendarat pelan di atas ranjang tidur bergambar bulan sabit warna biru. Lalu tanpa berkata-kata, Cupid mulai membuka beludru ungu dan mengeluarkan anak panah yang sedari tadi digendong di pundaknya.

Akan kulaksanakan tugasku…’, bisik Cupid setelah selesai memasang anak panah di warangka-nya dan mulai membidik Jingga. Cupid menahan nafas. Wajahnya mengeras. Dia mulai berhitung…. Satu… dua… dan…. Tiba-tiba Jingga mengangkat kepalanya. Cupid terkesiap dan cepat-cepat mengurungkan niatnya. Setetes airmata Jingga luruh membasahi kertas putih kosong di atas meja.

Kenapa kau menangis?!’, Cupid kesal, ‘Aku tak mungkin melukaimu jika kau menangis. Sekarang sudah tak jaman cinta datang dalam kesedihan!!’. Jingga membisu. Bukan tak peduli, tapi memang karena bahasa mereka yang berbeda warna. Sedu sedan terpendam. Hujan di pipi tak henti mencipta sejuta aksara rahasia bagi yang membacanya. Cupid sadar, dia tak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu. Lalu dia bersandar pada sebuah botol kecil berisi pil-pil beraneka warna (entah obat apa). Dia hanya bisa diam. Menunggu.

***

Titik-titik embun masih belum beranjak dari kulit-kulit rumput ketika Cupid menghadap Aphrodite keesokan harinya di taman Astana. ‘Bagaimana anakku? Sudah kau laksanakan tugasmu?’, Aroma surga kembali terbaca. Aphrodite pagi itu mengenakan gaun merah muda yang ujungnya menyentuh permukaan tanah, hingga semut-semut hitam di bawahnya berdansa gembira karena bisa mengupas semua rahasia di dalamnya.

Cupid hanya diam di hadapan ibundanya sambil menatap sepasang kenari yang menari-nari di pucuk kamboja. ‘Kenapa diam anakku?’, lanjut Aphrodite sambil beranjak dari kursi taman yang tadi menopangnya. Cupid menghela nafas, lalu berkata dengan pelan, ‘Maafkan ananda, Ibunda… Hamba tidak bisa melaksanakan tugas itu..’. Aprodite mendesah, ‘Kenapa, ada yang salah dengan panah barumu?’’.

Tidak Ibunda…’, tukas Cupid, ‘Hanya saja kemarin ketika hamba hendak memanah Jingga, dia sedang menangis. Ibunda tahu sendiri, hamba tidak mungkin melukai manusia yang sedang menangis. Pertama hamba menunggu dia kehabisan airmata, tapi lama-lama dalam tiap-tiap tetes airmatanya hamba membaca sepenggal cerita purba, sebuah sajak tentang kesendirian, keterasingan, dan pemberontakan…’, Cupid menghela nafas sekali lagi, sebelum akhirnya melanjutkan, ‘Maafkan Ananda Ibunda… hamba tidak sanggup melakukannya.’

Aphrodite hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela nafas mendengar penuturan putra tunggalnya. Cupid lalu membuka lipatan beludru ungu dan mengeluarkan anak panah perak yang berkilau-kilau memantulkan cahaya matahari. ‘Baiklah…’, Aphrodite akhirnya menemukan lagi suaranya, ‘Sekarang kembalikan anak panah itu, biarkan saja Jiwa mati tanpa cinta…’.

Tidak Ibunda..’, tukas Cupid cepat, ‘Hamba tidak akan mengembalikannya’. Aphrodite terkejut. Cupid melanjutkan, ‘Kemarin ujung anak panah ini telah hamba celupkan pada setetes airmata Jingga…., dan maafkan hamba Ibunda…., sekarang hamba menginginkannya.

Belum sempat Aphrodite mengatasi rasa kagetnya, Cupid sudah menggoreskan ujung anak panah itu ke pergelangan tangannya sendiri. Darah muncrat dari seutas nadi yang terpenggal. Seketika itu juga langit di atas astana menghitam, petir-petir menyalak riang. Darah yang bercumbu dengan airmata itu mulai bergumul, membelit, meremas, menggigit, menjilat…….

Cupid hanya tersenyum ketika Aphrodite membelalak pasrah. Dan langit menangis.

***

Hujan yang mengguyur bumi tak cukup tangguh untuk memaksa Jingga beranjak dari samping gundukan tanah itu. Dia tak peduli meski percikan-percikan lumpur membentuk peta-peta dunia baru di permukaan gaun hitamnya. Gemericik air dan suara petir tak sanggup mengisi kekosongan dan kebisuan dalam ruang-ruang sempit di lorong hati. Hanya ada gema tangis Jingga yang teredam hujan, dan tetes-tetes airmatanya yang luruh membasahi pipi, tangan, kaki, gaun, nisan, tanah, kerikil... mengalir bersama hujan melewati parit-parit, selokan-selokan, sungai-sungai… yang mungkin akan menuju lautan. Tapi semuanya sudah terlambat…

Semua sudah terlambat.


* ilustrasi diambil dari sini
 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent