tag:blogger.com,1999:blog-30553362157513682362024-03-13T08:09:58.307+07:00Suluk Lintang LanangPikiran itu sampah. Ini penampungannya.Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.comBlogger264125tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-85889448422575215282014-11-03T18:29:00.000+07:002014-11-03T18:29:49.336+07:00Nurul dan Sejumlah Keganjilan* <div class="itemFullText">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUqw8j0ANxl0oViDDrQI6g-eNUYr20VgbY9KVezNP8WaOYAmLY2aQROr-bvjziV7CQ3YgT0vzPsAhvImD4sR_aGfjCfo5MrwqQHhhZ6YyeOe_o_Kw65LiE0sOvI6MM18hpnygQfFBaGusD/s1600/10404106_800572733313249_213063769762267628_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUqw8j0ANxl0oViDDrQI6g-eNUYr20VgbY9KVezNP8WaOYAmLY2aQROr-bvjziV7CQ3YgT0vzPsAhvImD4sR_aGfjCfo5MrwqQHhhZ6YyeOe_o_Kw65LiE0sOvI6MM18hpnygQfFBaGusD/s1600/10404106_800572733313249_213063769762267628_n.jpg" height="400" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<strong>Judul Buku</strong>: Semusim, dan Semusim Lagi<br /><strong>Penulis</strong>: Andina Dwifatma<br /><strong>Editor:</strong> Hetih Rusli<br /><strong>Isi:</strong> 232 halaman<br /><strong>Penerbit:</strong> Gramedia Pustaka Utama, 8 April 2013</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Satu hal yang ingin saya katakan di awal sebelum saya bicara panjang lebar: bahwa membaca novel <em>Semusim,</em> <em>dan Semusim Lagi</em> (selanjutnya akan disebut: <em>Semusim</em>) karya Andina Dwifatma mengingatkan saya pada banyak hal. Salah satunya adalah pada novel <em>Misteri Soliter</em>
karya Jostein Gaarder. Memang tidak persis sama dan bahkan ada banyak
hal yang berbeda, tapi kemunculan Sobron (ikan mas koki yang bisa bicara
itu) membawa ingatan saya akan kartu-kartu remi yang hidup di novel
tersebut. Setidaknya: ada semangat surealisme yang serupa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sementara di sisi lain, entah sebuah kebetulan atau memang sesuatu yang disengaja, alur pembuka <em>Semusim</em> ini juga memiliki kemiripan dengan novel Jostein yang lain, yaitu <em>Dunia Sophie</em>: di mana pada suatu hari seorang gadis remaja menerima sepucuk surat misterius. Jika di <em>Dunia Sophie</em>, sang gadis menerima sepucuk surat yang berisikan sebuah pertanyaan, “Siapa kamu?” sementara tokoh di <em>Semusim</em> menerima sepucuk surat dari seseorang yang mengaku sebagai ayahnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adegan di rumah sakit jiwa juga mengingatkan saya pada novel <em>Veronika Decides to Die</em>
karya Paulo Coelho, di mana sang tokoh utama diberi berbagai macam obat
yang tak perlu hingga keadaannya justru semakin memburuk dan pada suatu
ketika melihat pasien lain yang sedang disetrum oleh petugas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu, apa yang salah? Tidak ada. Saya
cuma mau bilang, bahwa novel ini mengingatkan saya pada banyak hal,
termasuk pada seorang kawan sekelas saya waktu SMA yang gemar menyendiri
dan tak suka bergaul dengan banyak orang. Ketika itu, sementara
gadis-gadis lain suka membaca majalah remaja semacam <em>Aneka Yess!</em> atau <em>Kawanku,</em> kawan perempuan saya itu lebih suka membaca majalah <em>Misteri</em> dan <em>Liberty.</em> Mungkin, dia memang tidak benar-benar memiliki masalah kejiwaan seperti tokoh ‘aku’ di novel <em>Semusim,</em>
tapi setidaknya (saat itu) saya dan kawan-kawan yang lain menganggapnya
begitu. Untuk itulah, mulai dari sekarang, saya (secara semena-mena dan
tanpa persetujuan penulis) akan menyebut tokoh ‘aku’ dengan nama kawan
saya itu: Nurul.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu saja tindakan kurang ajar ini boleh digugat. Namun, saya terinspirasi sang tokoh ‘aku’ di novel <em>Semusim</em>
yang gemar mengganti nama orang lain yang dirasanya kurang menarik atau
menyematkan nama sesukanya ke orang yang tidak dia kenal. Lihat saja
bagaimana dia menyebut ayahnya sebagai ‘Joe’, hanya karena nama sang
ayah ternyata tidak sekeren yang dia bayangkan, sementara semua lelaki
hebat dan keren yang diketahuinya (pasti) bernama Joe (hlm. 58). Juga,
bagaimana dia menyebut seorang polisi wanita dengan nama ‘Maria’, karena
perempuan itu memiliki wajah sedih seperti ibu yang anaknya disalib
orang (hlm. 146). Toh, kata Barthes: ketika sebuah teks terlahir, maka
sang pengarang sudah ‘mati’, bukan?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Secara garis besar, ide dasar novel <em>Semusim</em>
ini terbilang sederhana: yaitu tentang kondisi kejiwaan seorang remaja
perempuan yang tak pernah mengenal ayahnya sejak kecil. Namun, berkat
kepiawaian penulis dalam bertutur dan memainkan alur, ide dasar yang
sebenarnya sederhana itu menjelma sebuah kisah yang menarik dan lumayan
menyenangkan untuk diikuti.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Diceritakan di novel <em>Semusim,</em>
saat mempersiapkan diri untuk memulai kuliah di jurusan Sejarah di
sebuah universitas swasta, Nurul menerima sebuah surat dari seseorang
yang mengaku sebagai ayahnya. Memenuhi undangan sang ayah, dia
meninggalkan rumah ibunya untuk kemudian tinggal di sebuah rumah yang
dipersiapkan ayahnya di kota S. Di kota tersebut, Nurul bertemu sejumlah
hal baru yang mengubah hidupnya, mulai dari jatuh cinta untuk pertama
kalinya dengan seorang mahasiswa bernama Muara, hingga bertemu seekor
ikan mas koki yang bisa bicara.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Secara asyik, Andina memasukkan
fakta-fakta di dunia nyata yang jarang diketahui orang menjadi bagian
dari isi cerita. Lihat saja halaman 24 yang membahas tentang larangan
berambut gondrong bagi para lelaki yang pernah diberlakukan pemerintah
Indonesia pada tahun ‘70-an. Juga, bagaimana Andina menyisipkan
referensi tentang buku atau musik bagus di dalam kisahnya. Menurut saya,
itu menyenangkan, tapi seperti hal-hal lain yang ada di dunia: tak ada
kesenangan yang sempurna.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Novel dan pembacanya ibarat sepasang
kekasih yang menjalin hubungan cinta. Dalam sebuah hubungan, satu atau
dua kesalahan kecil tentu bisa dimaklumi dan bahkan dianggap sebagai
semacam bumbu penyedap. Namun, jika kesalahan-kesalahan kecil itu muncul
terlalu sering, tentu saja tak sehat untuk masa depan kedua belah
pihak. Begitu juga yang terjadi ketika saya membaca novel <em>Semusim</em> ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelum bicara lebih lanjut, mungkin
perlu dijelaskan bahwa apa yang saya sampaikan sama sekali bukan
didasari keinginan untuk mencari-cari kesalahan. Bahwa semua yang nanti
akan saya kemukakan adalah murni apa yang saya temukan. Saya harap kita
semua bisa bersepakat, bahwa mencari dan menemukan adalah dua proses
yang sama sekali berbeda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di halaman 42, Andina menulis:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<em>Satu hal paling lucu tentang orang
dewasa adalah: kau bisa mengatakan hal paling konyol atau kebohongan
paling musykil dan mereka tidak akan tertawa, bahkan memercayai apa yang
kau katakan, selama kau bicara dengan gaya yang teramat meyakinkan.</em></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tokoh Nurul di novel ini mungkin benar,
tapi sepertinya justru Andina yang lupa: bahwa yang memiliki sifat
‘lucu’ semacam itu sesungguhnya bukan hanya ‘orang dewasa’, tapi juga
‘pembaca’. Sebagai penulis, siapa pun punya hak mutlak untuk berbohong
sesuka hati, asalkan ia tampil meyakinkan. Salah satu contoh
penggambaran yang tidak meyakinkan adalah yang tertulis di halaman 43,
di mana Nurul menceritakan bagaimana pertemuan pertamanya dengan JJ
Henri, seorang karyawan sekaligus kawan dekat sang ayah:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<em>Mobil yang dikendarai JJ Henri adalah
Peugeot berwarna biru tua. Aku selalu suka mobil Peugeot karena mungil
dan punya lampu depan seperti mata binatang, sehingga dengan plat mobil
yang terletak di tengah-tengah bemper, ia seperti kumbang besar yang
sedang nyengir.</em></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Begini. Penulis kisah fiksi itu tak ubahnya tukang kibul. Ia boleh <em>ngibul</em>
sesuka hati dengan menceritakan kisah yang paling absurd atau paling
surealis, tapi (sekali lagi) intinya hanya satu: ia harus tetap <em>meyakinkan,</em>
agar pembaca-pembacanya tersihir dan percaya dengan kibulannya.
Sementara itu, yang saya temukan dalam kalimat-kalimat yang saya kutip
tadi, tidak mencerminkan teori itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai produsen mobil, Peugeot berdiri
sejak 1882 di Prancis. Sejak kelahirannya, tentu sudah berbagai jenis
dan model mobil ini yang dilempar ke pasaran. Karena itu, jujur saja
saya sedikit bingung: mobil Peugeot jenis apa yang sesungguhnya
dikendarai JJ Henri—yang konon ‘mungil dan punya lampu depan seperti
mata binatang’? Kebetulan saya bukan penggemar otomotif dan satu-satunya
mobil Peugeot yang pernah saya tebengi adalah Peugeot 305 milik seorang
kawan, yang menurut saya tidak lebih mungil jika dibanding mobil-mobil
merek lain. Bahkan ketika saya nekat mencari-cari referensi di Google,
ternyata saya tidak pernah menemukan alasan bahwa ‘sepasang lampu depan
mobil Peugeot lebih tampak menyerupai mata binatang’ atau ‘lebih tampak
seperti kumbang yang sedang nyengir’ dibanding mobil lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu saja sebenarnya hal ini bisa
diselamatkan andai Andina lebih detail dan spesifik dalam menyebut jenis
dan tipe mobil yang dimaksud, atau memilih jenis mobil lain yang lebih
memiliki karakter khas, seperti Cooper atau Morris yang memang berukuran
mungil, atau Mercedes-Benz SLS AMG yang memiliki pintu layaknya
sepasang sayap rajawali. Namun, tidak. Andina memilih mobil Peugeot
berwarna biru tua. Itu saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mungkin hal ini memang terdengar remeh
dan sederhana. Namun, wajib diingat, bahwa tugas seorang penulis adalah
terus-terusan memikat hati pembaca. Seorang pembaca punya kewenangan
mutlak. Begitu dia merasa kecewa dan sadar sedang dikibuli dengan cara
yang tidak meyakinkan, selalu terbuka kemungkinan dia akan menutup buku
dan tak melanjutkan proses pembacaan. Padahal, kita sama-sama tahu, tak
ada yang lebih menyakitkan bagi seorang penulis ketimbang sebuah karya
yang tidak dibaca habis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menulislah buruk, lalu jadikan bagus
saat proses penyuntingan. Saya pernah mendengar petuah ini dari seorang
penulis handal (yang tidak saya ingat namanya). Jika kita pernah
berusaha melahirkan sebuah karya tulisan, kita akan tahu bahwa ini
adalah petuah yang sungguh bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Ketika kita sudah berniat untuk melahirkan sebuah tulisan bagus sejak
awal mulai menulis, hampir bisa dipastikan bahwa tulisan bagus yang kita
gadang-gadang itu hanya akan berhenti di pikiran dan tak akan pernah
tercipta. Sebaliknya, jika kita nekat menulis tanpa pernah benar-benar
memikirkan baik atau buruk, tulisan itu akan sungguh-sungguh bisa dibaca
(meski mungkin buruk) dan selanjutnya bisa diperbaiki menjadi tulisan
bagus (dengan penyuntingan yang bisa saja dilakukan berkali-kali). Lalu,
kapan sebuah proses penyuntingan itu harus dihentikan? Adalah saat
segala sesuatunya sudah tampak sempurna dan tak ada lagi celah yang bisa
membuat pembaca tak yakin akan kisah yang kita ceritakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Secara membabi buta saya menuduh bahwa Andina memiliki masalah dengan persoalan <em>kapan seharusnya berhenti menyunting,</em>
hingga akhirnya hal-hal remeh yang seharusnya bisa diperbaiki hanya
dengan menambahkan atau menghapus atau mengganti satu kata dengan kata
lainnya, justru menjadi pengganggu yang tak perlu. Salah satu contohnya
adalah yang tertulis di halaman 44:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<em>Setelah meletakkan tas punggung di
jok belakang dengan hati-hati, aku duduk di kursi penumpang dan memasang
sabuk pengaman. JJ Henri memasukkan sekeping CD dalam stereo mobilnya.
Sebentar kemudian terdengar alunan musik blues dan seorang kulit hitam
menyanyi dengan nada memilukan:</em></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa tahun lalu, sempat muncul
kontroversi terkait metode aktivasi otak tengah, sebuah pelatihan
berbiaya mahal yang dikhususkan bagi anak-anak kaum mampu. Dalam
pelatihan yang belakangan terbukti penuh tipuan itu, anak-anak diajari
teknik mencium warna: sebuah ilmu tingkat tinggi yang konon diadopsi
dari kemampuan lumba-lumba (yang sebenarnya andaikan benar-benar bisa
dipelajari manusia, tak pernah saya pahami apa fungsinya di kehidupan
nyata). Dengan mata tertutup, sang anak yang sudah diaktifkan kemampuan
otak tengahnya (yang konon secara medis, ‘otak tengah’ sendiri juga
sekadar mitos) diharuskan bisa menyebutkan warna dari sebuah kertas yang
ditempelkan di depan hidungnya. Dan rupanya, si Nurul di novel ini juga
memiliki kemampuan yang kurang lebih sama: melihat suara. Dia bisa tahu
apakah seorang penyanyi itu berkulit hitam atau tidak hitam hanya
dengan mendengar suaranya. Mungkin saja hal ini bisa dibantah dengan
pernyataan bahwa: mayoritas penyanyi blues adalah berkulit hitam atau
orang kulit hitam punya karakter suara yang khas. Namun, tentu saja
bantahan itu hanya sia-sia belaka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebenarnya saya memiliki sekian catatan
tentang hal remeh-temeh yang bisa saya permasalahkan di sini. Salah
satunya adalah inkonsistensi kondisi sel di kantor polisi yang <em>sempit berjeruji</em> dan berisi sejumlah benda, termasuk di antaranya <em>kasur tipis dan bantal yang belum-belum sudah menguarkan bau apak</em>
(hlm. 151). Sebuah kasur tipis, ditulis begitu. Namun, tanpa diduga,
dalam penjelasan-penjelasan sesudahnya (salah satunya di hlm. 158),
disebut bahwa di dalam sel itu ada sebuah dipan (benda yang tidak pernah
ada dalam penjelasan sebelumnya).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Belum lagi perkara metafora yang terkadang terdengar berlebihan. Lihat saja yang tertulis di halaman 107:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<em>Kepalaku berat dan mataku berkunang-kunang. Rasanya seperti ada rombongan gajah berlari-lari di dahiku.</em></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Atau yang tertulis di halaman 116:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<em>Kepalaku terasa sakit seperti ditusuk-tusuk dengan garpu panas.</em></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahwa tak pernah ada batasan yang pasti
terkait pemakaian metafora, itu benar. Dan mungkin banyak di antara kita
yang pernah merasakan pening yang sungguh keterlaluan. Namun, menurut
saya, <em>dahi yang diinjak-injak sekumpulan gajah</em> atau <em>kepala yang ditusuk-tusuk dengan garpu panas</em>
sepertinya bukan perumpamaan yang tepat untuk kondisi sakit kepala (dan
bahkan terdengar agak terlalu mengerikan). Namun, tentu saja saya tidak
akan berlarut-larut dengan mengetengahkan kesalahan-kesalahan kecil
semacam itu. Sekali lagi, saya tidak mau disebut-sebut sedang
mencari-cari kesalahan orang lain: meski, jujur saja, saya sebenarnya
mendapatkan sedikit kebahagiaan ketika melakukan itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beruntung, kesalahan-kesalahan remeh itu
diselamatkan dengan cara bertutur yang asyik. Andina sudah tidak
memiliki masalah dengan hal teknik bercerita atau mengatur alur. Hal itu
cukup membantu, membuat saya sebagai pembaca tak begitu menganggap
serius kesalahan-kesalahan kecil yang sudah saya sebutkan tadi. Meski
begitu, menurut saya ada satu lubang besar hingga agak sulit untuk
ditambal dengan apa pun, yaitu penokohan sang tokoh utama sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Nurul di novel ini adalah seorang gadis
berusia 17 tahun yang sejak kecil memendam banyak tanda tanya di
otaknya. Disebutkan bahwa dia adalah seseorang yang begitu ingin tahu
tentang sejarah benda-benda dan awal mula segala sesuatu. Konon, ada
sesuatu tentang sejarah yang selalu menarik minatnya (yang akhirnya
membawanya untuk mendaftar ke jurusan Sejarah di sebuah universitas
swasta). Ketika kecil, setiap kali menemukan benda-benda baru, maka yang
akan muncul pertama di otaknya adalah: siapa yang pertama kali
menemukan dan memberinya nama?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seperti yang dia ungkapkan di halaman
10, bagaimana ketika dia berkenalan dengan benda bulat dengan gagang di
pinggirnya dan bisa dipakai untuk minum (yang kemudian dia kenal sebagai
gelas), maka yang muncul di otaknya adalah: siapa yang pertama kali
memiliki ide untuk membuat gelas dan bagaimana ide itu datang? (Sekadar
catatan: sebenarnya saya lebih mengenal alat minum yang disebut tadi,
yang konon ada gagangnya itu, sebagai cangkir. Namun, sudahlah, mungkin
Nurul dan saya memang dibesarkan dalam dua budaya yang sama sekali
berbeda.) Juga, bagaimana Nurul kecil yang tak begitu berminat ketika
diajak bermain petak umpet. Menurutnya petak umpet itu sia-sia semata,
sebelum kita mengetahui siapa yang pertama kali memiliki ide tentang
permainan tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Nah, di sinilah saya menemukan sebuah
lubang yang agak mengganggu. Adalah sesuatu yang menarik bagi saya,
ketika ada seseorang yang demikian kritis dan dipenuhi rasa ingin tahu
tentang sejarah benda-benda dan awal mula segala sesuatu, tetapi di sisi
lain justru abai terhadap sejarahnya sendiri. Di halaman 20 dikatakan:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<em>Seumur hidup aku hanya tinggal
bersama ibuku, berpura-pura bahwa kata ‘Ayah’, ‘Bapak’, dan sejenisnya
tidak ada dalam kamus, dan aku merasa baik-baik saja.’</em></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seperti yang saya bilang, ini adalah sesuatu yang menarik (atau lebih tepatnya: janggal).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Descartes pernah bilang: <em>cogito, ergo sum</em>—aku berpikir, maka aku ada. Gagasan tentang aku-diri-ego itu jugalah yang melandasi ajaran Buddha tentang <em>vipassanā,</em> praktik menyadari pikiran untuk mencapai kondisi lepas dari penderitaan-<em>annata</em>-tanpa
aku. Artinya adalah, bahwa sesungguhnya eksistensi diri itu berangkat
dari pikiran. Segala sesuatu itu menjadi ‘ada’ ketika pikiran bergerak,
dan sebaliknya: menjadi ‘tidak ada’ ketika pikiran berhenti. Ketika
pikiran manusia mulai bergerak, maka yang <em>kali pertama</em> muncul
adalah konsep ‘aku’—untuk kemudian membuat sebuah dinding tinggi yang
membatasinya dengan ‘bukan aku’. Seperti anjing yang mengejar ekornya
sendiri, ‘aku’ yang lahir dari pikiran itu membuat sebuah pertanyaan
pertama dan utama: siapa aku—dari mana kemunculanku? Hal ini bisa
dibilang sebagai <em>pikiran yang mempertanyakan pikiran.</em> Untuk
itulah, adalah sesuatu yang agak ganjil ketika tokoh Nurul bersedia
repot-repot mempertanyakan sejarah benda-benda dan hal remeh yang ‘bukan
aku’ semacam gelas dan permainan petak umpet, tetapi di lain sisi
justru sama sekali tak mempertanyakan tentang ‘aku’: siapa sebenarnya
ayahku, atau pertanyaan yang lebih besar: dari mana kemunculanku?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah Nurul seorang religius atau tidak
religius itu bukan sesuatu yang penting untuk dijawab. Yang jadi
pertanyaan adalah: bagaimana bisa seorang Nurul yang terlahir dengan
kapasitas otak berlebih untuk mempertanyakan asal muasal segala hal,
justru sama sekali tidak mempertanyakan asal muasal tentang keberadaan
dirinya sebagai manusia. Di halaman 187 hanya dijelaskan secara singkat,
bagaimana Nurul cuma menggeleng ketika ditanya apa agamanya dan
mengatakan bahwa ibunya tak pernah mengajarinya tentang Tuhan sehingga
dia hanya belajar sendiri dari kitab suci. Tak ada penjelasan lebih
lanjut tentang fase itu—tak ada bocoran kenapa dia akhirnya hanya <em>percaya Tuhan kadang-kadang</em>. Di titik inilah, saya merasakan suatu ketidakwajaran yang lumayan mengganggu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejumlah pertanyaan yang sepertinya akan
lebih baik jika dijawab ternyata juga dibiarkan mengambang begitu saja
hingga akhir cerita. Alasan kenapa ayah dan ibu tokoh Nurul berpisah,
misalnya. Atau berapa sebenarnya usia Nurul ketika Joe meninggalkannya?
Tiga bulan atau 1,5 tahun? Lalu, apa hubungan novel ini dengan puisi <em>Surat Kertas Hijau</em> karya Sitor Situmorang yang ditulis di sampul belakang?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika ada yang bertanya kepada saya
tentang novel ini, saya akan menjawabnya secara jujur: saya suka (meski
sebenarnya tak pernah benar-benar membuat saya jatuh cinta). Ibarat
sebuah bangunan rumah, novel ini dibuat dari bahan-bahan yang bermutu,
dengan teknik pengerjaan yang mumpuni, dan desain yang indah. Namun,
sayang, ada kekurangtelitian yang menyebabkan sejumlah paku masih
menonjol di beberapa bagian sementara beberapa bagian lainnya justru
lupa untuk dipaku. Cat yang kurang rata dan berlepotan juga tampak di
beberapa sudut kamar, sementara ruangan utama yang seharusnya diberi
jendela yang cukup lebar justru hanya diberi ventilasi kecil, hingga
akhirnya agak terlalu gelap dan pengap. Namun, secara keseluruhan, rumah
ini lumayan menyenangkan untuk dihuni. Sekarang masalahnya, tinggal
bagaimana kita pintar-pintar memilih kawan serumah. Begitu saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
Rawamangun, 29 September 2014</div>
<hr />
<div style="text-align: justify;">
<em>*Ditulis sebagai pemantik diskusi
novel “Semusim, dan Semusim Lagi” karya Andina Dwifatma yang digelar
oleh Para Penggerutu, Sarekat Pembenci Karya Buruk, dan </em>Jumpa Lagi Book Club<em> pada 30 September 2014.</em></div>
</div>
Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-50877029928325052302013-12-06T17:43:00.000+07:002013-12-06T17:43:05.814+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #11<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<iframe allowfullscreen='allowfullscreen' webkitallowfullscreen='webkitallowfullscreen' mozallowfullscreen='mozallowfullscreen' width='320' height='266' src='https://www.youtube.com/embed/IveaWvUpvic?feature=player_embedded' frameborder='0'></iframe></div>
<br />
<br />Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-51573682511136246382013-10-23T15:31:00.001+07:002013-10-23T15:31:46.214+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #11<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaSu3XU8NJEPxgQxZ1-XCc8FUVL5YLXHoqnG9fCukMQs7CNHh9ppk9pIqh5CbOLr2OntiUuM5m5wugSLPbwYKs7TE1A0rkPj-4iCdSal38GTYRsiy_IlQmdhWAfq6B0g4kwkPvSfPaO5n3/s1600/1393947_623373384366519_806698263_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="278" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaSu3XU8NJEPxgQxZ1-XCc8FUVL5YLXHoqnG9fCukMQs7CNHh9ppk9pIqh5CbOLr2OntiUuM5m5wugSLPbwYKs7TE1A0rkPj-4iCdSal38GTYRsiy_IlQmdhWAfq6B0g4kwkPvSfPaO5n3/s400/1393947_623373384366519_806698263_n.jpg" width="400" /></a></div>
<br />
Hingga pada waktunya kau akan menyadari bahwa dirimu sedang berada di
kondisi yang seperti ini: kau dikuasai keinginan untuk memeluk yang
sedemikian membuncah. Kepalamu serupa bola yang dipompa sekuat tenaga:
penuh darah dan rindu pecah. Dalam fase ini, segala sesuatu di
sekelilingmu akan tampak sebagai bajingan yang layak untuk dimusnahkan.
Kau akan melihat orang-orang yang berada di sekitarmu sebagai ancaman.
Kau menyadari sepenuhnya bahwa kau sedang tidak baik-baik saja, namun
kau tahu bahwa kehidupan juga seperti itu. Kau dan dunia seperti
sepasang saudara tiri yang sama-sama memiliki kekuatan sama besar untuk
saling membenci dan menelikung dan meracuni. Ada semacam keinginan untuk
menyakiti yang tak habis-habis dan selalu terisi ulang. Kau mulai gemar
mengutuk segala sesuatu yang berada di sekitarmu: termasuk kelahiranmu.
Kau muak dengan dirimu yang tak sanggup melakukan apa-apa, bahkan untuk
sekadar menghadapi semuanya seperti apa adanya. Kau bubur tajin yang
lumer di cawan plastik. Kau serdadu rendahan yang gagal mempertahankan
garis pertahanan. Kau bayi yang meringkuk di sudut kamar: rindu akan
tetek ibu yang akan melemparkanmu ke tidur yang lelap dan mimpi yang
lenyap. Kau nabi yang selalu gagal meyakinkan umat. Kau sampah kasta
terendah yang tak layak berada di manapun. Kau malaikat yang dikhianati
Tuhan. Kau serpihan pasir besi: terseret ke sana kemari oleh medan
magnet ganjil yang belum pernah kau temui. Kau badut tua yang tak lagi
sanggup memancing tawa. Kau tak lebih dari cinta yang pelan-pelan: diam
dan jauh dari bising jalanan.<br /><br /><br /><i>Utan Kayu, 23 Oktober 2013</i><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipWXFBQk3BeemAxQy0ANKcmzsm5VaF_qMoyBoSJJTTYhYUR6aVvjVFRiqM1sO7ydpOFZXB3OpZLyA5XP1J9CnhWYyhTOIJK728_d4EBJWc7HMPiWA1prjamQrv08mn_xHeH3tzfHE3-TJ0/s1600/1393947_623373384366519_806698263_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><br /></a></i></div>
Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-19890440597476957282013-10-18T18:02:00.002+07:002013-10-18T18:02:24.835+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #10<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0JMtPVDa_v2zHegXzvQz4tMupHdWCeEvrJL8NA52L5qJdsf3WmqrTvX8fl-w_YbHwegOQPazAGRTF7bVmUpIwvYBH7WoCxQ3d3fNM3BqObfWNo4LxzLgrDasta0Hgxwy627QQ-msQcYfc/s1600/1391672_621151647922026_1427106970_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="251" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0JMtPVDa_v2zHegXzvQz4tMupHdWCeEvrJL8NA52L5qJdsf3WmqrTvX8fl-w_YbHwegOQPazAGRTF7bVmUpIwvYBH7WoCxQ3d3fNM3BqObfWNo4LxzLgrDasta0Hgxwy627QQ-msQcYfc/s400/1391672_621151647922026_1427106970_n.jpg" width="400" /></a></div>
<br />
"Satu-satunya yang mungkin dilakukan kaum buruh untuk melawan kejahatan
korporat adalah dengan bekerja seenaknya," kau memonyongkan bibirmu yang
selalu tampak ranum dan merah dan kenyal. Sementara segaris bulan sabit
mengintip di celah langit. Kau dan aku dan wangi kopi tak henti-henti
menghitung kerlip kunang di beranda. <br />"Maksudmu?"<br />"Kau tahu,
kemenangan sejati kapitalisme adalah ketika lahir barisan pekerja
berdedikasi: mereka yang bekerja dengan penuh pengorbanan demi secuil
karir dan bonus tahunan dan kenaikan gaji. Mereka yang bersepakat bahwa
tujuan hidup manusia hanyalah satu: mencari uang."<br />
<br />Ada derik jangkrik
di tengah kegelapan. Sementara dingin angin membawa aroma purba yang
sudah kita kenal sejak lama, sejak kita belum mengenal kata-kata.<br />"Dulu,
penjajahan dilakukan dengan praktik kerja paksa semacam rodi atau
romusha. Tapi sekarang, penjajahan dilakukan secara lebih sederhana.
Alih-alih berontak, para korban justru tertawa-tawa dengan bangganya.
Kaum buruh dipaksa memeras keringat hingga tetes terakhir dengan upah
yang sebenarnya tak seberapa dibanding pendapatan perusahaan. Setelah
itu mereka dibujuk dirayu oleh televisi dan majalah dan internet dan
semacamnya agar dengan rela hati membelanjakan hasil keringatnya untuk
sesuatu yang sebenarnya tak begitu mereka butuhkan untuk hidup: Apple,
BlackbBerry, Honda, Calvin Klein, Starbucks, dan sebagainya dan
sebagainya. Dan sekali lagi, siapa yang menang? Korporat! Bangsat
bukan?"<br />
<br />Kau tak pernah tahu karena aku tak pernah memberi tahu: kau
selalu lucu ketika sedang memaki seperti itu. Tentu saja aku tak
menertawakan pemikiranmu. Aku hanya berpikir bahwa makian itu tak
seharusnya keluar dari bibirmu.<br />"Satu hal lagi, mereka yang gemar
mengepalkan tangan kiri menggelorakan perlawanan namun masih suka
menghisap rokok pabrikan sebenarnya adalah omong kosong tak berguna.
Mereka adalah individu tolol yang dengan sukarela menyerahkan diri
menjadi mangsa empuk kapitalisme."<br />"Lho, kok bisa?"<br />"Jelas.
Industri tembakau adalah salah satu industri terjahat di muka bumi.
Ketika tak mendapat tempat di negara maju, mereka akan mencari negara
miskin sebagai pasar. Menyebarkan propaganda di kalangan muda bahwa
merokok itu keren, jantan, dewasa, dan sebagainya dan sebagainya. Mereka
menjadi semakin kaya dan berpesta pora dari racun yang mereka jual
kepada jelata. Bla bla bla..."<br />
<br />Aku sudah tak bisa lagi
sungguh-sungguh mendengar apa yang kau katakan. Aku hanya mencium wangi
shampo yang meruap dari rambutmu dan melihat bibirmu yang tak henti
bergerak-gerak. Aku tahu bahwa malam masih jauh dari selesai. Dan aku
benar-benar tak ingin ini semua usai.<br /><br /><br /><i>Pulo Gadung, 18 Oktober 2013</i>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-83480893712610912972013-10-16T17:34:00.005+07:002013-10-16T17:34:49.872+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #9<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjycFdm4ZG1H91rmrMZka88AqIGc3UjZ6lsLqYV56ygwdabPO_pbxNZSClFoEuAyHzFhLf4rTKTGFcv8LTWrXuHZP1LW7zfi68ZNTN0XIaGOoa2bK2mMg6AjM4lR6U_7V6gUq63mdLCVvFl/s1600/1377105_618428048194386_2054750593_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="202" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjycFdm4ZG1H91rmrMZka88AqIGc3UjZ6lsLqYV56ygwdabPO_pbxNZSClFoEuAyHzFhLf4rTKTGFcv8LTWrXuHZP1LW7zfi68ZNTN0XIaGOoa2bK2mMg6AjM4lR6U_7V6gUq63mdLCVvFl/s400/1377105_618428048194386_2054750593_n.jpg" width="400" /></a></div>
<br />
Tak usah tertawa. Aku berani taruhan, jika dirimu berada
di posisinya kau pasti juga akan melakukan hal yang sama: suka
memperumit hal-hal yang sesungguhnya sederhana. Kau tak akan seketika
menyebut kata "mata" untuk apa yang sedari kecil kau kenal sebagai mata.
Kau mungkin akan menyebutnya sebagai: sepasang sesuatu serupa permata
yang bisa kau gunakan untuk melihat dan merekam segala macam keindahan
dan kebusukan kehidupan. Atau mungkin: butir hitam putih yang tampak
lunak namun terkadang bisa setajam belati di mana dengan keduanya kau
bisa mengintip segala yang ingin kau intip.<br /><br />Begitu juga untuk
menyebut hal-hal lain seperti merah, telinga, balon, kerikil, dan segala
sesuatu yang sebenarnya kau tahu sudah memiliki nama yang lebih ringkas
dan mudah dimengerti. Tanpa kau sadari, kau akan seketika gemar
menggunakan rumus yang sama untuk menilai semua yang kau temui dengan
kalimat-kalimat janggal yang terdengar sukar.<br /><br />Kau tahu: cinta
memang seperti itu. Dia sungguh asu. Kau yang biasanya selalu saja
menemukan kedamaian dalam tidur terpaksa harus menanggalkan itu semua.
Kau tak lagi menemukan jenak dalam dengkur atau pun jaga. Kau sadar
sepenuhnya bahwa kau harus hidup lebih lama, namun di saat yang sama kau
kesulitan untuk menelan segala macam jenis makanan. <br /><br />Hingga pada
suatu titik, kau sudah tak mungkin lagi untuk menyebut apa yang
menderamu itu sebagai "cinta". Kau pasti akan menyebutnya dengan kalimat
berbelit rumit yang sungguh panjang lebar seperti ini: sebuah gelisah
yang tak habis-habis serupa debur yang terus berdebar bagai rindu
seorang anak pada hangat dan lembap selangkangan ibunya yang mana
perasaan itu sanggup membuat siapa saja yang mengalaminya akan dengan
mudah melakukan sesuatu yang sebelumnya tak pernah dia mimpikan dan
bayangkan. Tak berhenti sampai di situ, kau mungkin masih akan
melanjutkannya dengan barisan kalimat lain yang jika disatukan pasti
akan mengalahkan tebal kitab-kitab suci karya para nabi baik yang asli
maupun yang palsu. Begitulah. Kau tahu: dia sungguh asu.<br /><br /><br /><br /><i>Utan Kayu, 12 Oktober 2013</i>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-28777593122705057812013-10-10T14:53:00.001+07:002013-10-10T14:53:05.573+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #8<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwiWbPArwiyOloUIr_1RNosZmCYohVew_qwNUPd7-XgjvbODmnCksYPPpXSe3DzI_6Tfn8xbM133iWAvfN9Z0mVW1CxKVljI3JrWPBW6g3G3TMmtPneDma-5t6SdtXwvUEdYlrTz72GGgi/s1600/1392096_616950611675463_724443501_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="207" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwiWbPArwiyOloUIr_1RNosZmCYohVew_qwNUPd7-XgjvbODmnCksYPPpXSe3DzI_6Tfn8xbM133iWAvfN9Z0mVW1CxKVljI3JrWPBW6g3G3TMmtPneDma-5t6SdtXwvUEdYlrTz72GGgi/s400/1392096_616950611675463_724443501_n.jpg" width="400" /></a></div>
Tak usah kau tanyakan bagaimana aku bisa membayangkan semuanya dengan
sangat-sangat nyata. Saat itu, segores sinar matahari pertama menusuk
masuk di sesela gorden jendela kamar kita. Garis cahaya mencipta terang
gelap di salah satu sudut dahimu: tempat bulu-bulu halus bersetia
menanti kecup di ujung pagi. Sementara sisa hujan yang menguar tak henti
menampar-nampar kesadaran yang kuyup usai persetubuhan semalaman.
Kubayangkan rombongan codot di luar berputar-putar sebentar untuk
kemudian meluncur mencari jalan pulang, bersembunyi mencari ruang gelap
yang pengap: sebuah tempat di mana segala sesuatunya selalu mampat.<br /><br />"Kenapa
seorang komunis selalu berwajah murung?" kau menyurukkan wajahmu ke
ketiakku. Sementara selimut tebal yang sedari malam menutupi tubuh
telanjang kita masih saja menebarkan hangat yang sama. Menyimpan wangi
tubuhmu dengan caranya yang sempurna: serupa kukusan yang menyekap uap
lembab.<br />"Mungkin karena mereka tak pernah benar-benar yakin akan kemenangan."<br />Lalu
kita menangkap suara anak-anak ayam yang berceloteh di sudut halaman
depan. Kau dan aku selalu saja tak pernah sependapat, siapa di antara
mereka yang akan menemukan cacing pertama di pojok kolam: tempat di mana
dirimu menanam warna-warni bunga yang tiap hari kau sirami dengan
segelas cinta. <br /><br />"Apakah seorang komunis pernah benar-benar
meyakini sesuatu?" kau terus memeluk sambil mendongakkan kepala untuk
kemudian menatap kedua mataku lekat-lekat. Ada setitik keringat yang
mengembun di sudut alis. Ah, andai kau pernah benar-benar berkaca:
betapa kau akan menemukan sekumpulan kunang-kunang yang tak pernah lelah
beterbangan. Binar yang selalu saja sanggup membuat hantu-hantu tak
henti gemetar.<br />"Aku hanya tahu apa yang sungguh aku yakini."<br />"Apa itu?"<br />Tak
ada lagi perbincangan setelahnya. Karena yang terjadi kemudian adalah
ini: bibir kita perlahan mendekat untuk kemudian bersilumat. Kau sempat
mendesis perlahan untuk mengulang kembali pertanyaanmu. Namun kita
sama-sama paham, kau tak pernah benar-benar membutuhkan jawaban. Seperti
halnya kita yang sudah lama tak butuh Tuhan.<br /><br /><br /><i>Utan Kayu, 10 Oktober 2013</i>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-13811370397786928252013-10-10T14:51:00.001+07:002013-10-10T14:51:37.691+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #7<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgs3MKChHWBW88O3bCMDiVEFMqvG7RYHb9Tb_HxRjpR3yJeYxA3jtXoWF8pXy-eS1z7eX7KetnT-1_Z_V7Ms5zSMs3nzYFECFZxyZVFRGxtFqrbhASNpgfMoQEvyZKoLzwu_w4xDP6cd1kh/s1600/1075833_579866872050504_310003173_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="222" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgs3MKChHWBW88O3bCMDiVEFMqvG7RYHb9Tb_HxRjpR3yJeYxA3jtXoWF8pXy-eS1z7eX7KetnT-1_Z_V7Ms5zSMs3nzYFECFZxyZVFRGxtFqrbhASNpgfMoQEvyZKoLzwu_w4xDP6cd1kh/s400/1075833_579866872050504_310003173_n.jpg" width="400" /></a></div>
Tentu saja kau boleh membayangkan suasana yang sedikit lebih dramatis:<br />Barisan
petir bersikilat. Mengerjap di sebalik gorden yang cabik dimakan
ngengat. Ibu memeluk kami di sudut ruang; aku yang belum genap sepuluh
tahun dan adikku yang masih menetek sehari lebih dari lima kali.
Sementara ayah berdiri gagah menghadap jendela. Janggut panjangnya
sedikit berkibar sedang tangan kanan memegang tongkat kasti, serupa
Musashi yang bersiap menyambut serangan pertama Arima Kihei.<br /><br />Tapi seingatku, suasananya jauh lebih sederhana dari itu:<br />Hanya
semacam pagi dan wangi kopi dan hujan yang tak juga kunjung berhenti.
Tempias yang menjilati kaca jendela mengaburkan pandangan ke arah taman
di sudut halaman depan. Ayah membaca koran bekas yang ditemukannya entah
di mana. Adikku sudah tidur lagi usai dimandikan dan diguyur minyak
telon dan dibedaki sekenanya. Sementara ibu; yang kuingat benar tampak
anggun dengan gaun bebunga warna hijau limau; mulai menumpahkan
kata-kata seperti biasanya. Kelas filsafat ringan yang harus kucerna
bersama nasi goreng cabai hijau pedas buatannya.<br /><br />"Ingat, kita tak
mungkin kehilangan sesuatu yang tak pernah kita miliki," katanya sambil
tak henti merajut entah apa. Mungkin sweter untuk adikku atau mungkin
kerudung yang akan dikenakannya ketika jalan-jalan pagi ke pasar. Jemari
itu tampak lincah memainkan dua jarum yang terbungkus benang wol warna
ungu. "Cobalah hanya mempertahankan sesuatu yang memang harus
dipertahankan. Menjaga sesuatu yang memang layak untuk dijaga."<br /><br />Aku
masih diam sambil membayangkan, betapa surga diciptakan bagi mereka
manusia-manusia terpuji: termasuk mereka yang memilih sembunyi di balik
selimut ketika hujan di pagi hari. Kau tahu, ibuku tentu bukan malaikat.
Tapi dia adalah manusia paling lugas dan apa adanya sedunia. Dia akan
mengatakan bahwa dia suka ketika dia benar-benar menyukai sesuatu. Dan
sebaliknya, dia akan serta merta mengatakan benci jika dia memang
membenci sesuatu itu. <br /><br />Hujan masih saja menetes seperti ingus
yang bandel ketika tiba-tiba ibu menghentikan rajutannya untuk kemudian
menatap mataku dalam-dalam. Seketika aku berhenti mengunyah, berusaha
mencerna arti tatapan yang hingga kini kadang masih singgah dalam
mimpi-mimpi murungku, "Hidup bukan sekadar tentang seberapa banyak yang
bisa kita kumpulkan. Tapi terkadang juga bagaimana cara kita melepas
ikatan." <br /><br />Di titik itu, aku mengambil keputusan: usai kuhabiskan
susu cokelat hangat yang tinggal separuh gelas, aku akan kembali ke
kamar. Menarik selimut untuk melupakan kalimat-kalimat ibu. Tentu saja
aku tahu dan percaya sepenuhnya, bahwa menjadi tua adalah sesuatu yang
sulit. Tapi sumpah mati, ketika itu umurku baru sepuluh tahun. Seperti
halnya kematian, kerumitan pasti akan datang: tepat pada waktunya. <br /><br />"Kau lelaki. Kau harus belajar kapan waktu yang tepat untuk beranjak pergi," kuliah ibu belum berhenti.<br /><br /><br /><i>Utan Kayu, 13 Juli 2013</i>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-65560486010579540442012-06-20T22:31:00.001+07:002012-06-20T22:35:27.064+07:00'Antara Kopi, Jazz dan Dirimu' Live @ Solo Radio<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<iframe allowfullscreen='allowfullscreen' webkitallowfullscreen='webkitallowfullscreen' mozallowfullscreen='mozallowfullscreen' width='500' height='380' src='https://www.youtube.com/embed/pA0tFXBK4Z8?feature=player_embedded' frameborder='0'></iframe></div>
<br />
<br />
Petikan cerita pendek '<a href="http://lintanglanang.blogspot.com/2011/02/antara-kopi-jazz-dan-dirimu.html" target="_blank">Antara Kopi, Jazz dan Dirimu</a>' yang dibacakan secara langsung dalam program Sora is On The Air di 92,9 FM Solo Radio edisi Sabtu, 1 Oktober 2011. Cerpen ini adalah salah satu cerita yang termuat dalam antologi '<a href="http://www.facebook.com/pages/Suluk-Lintang-Lanang/202119909844961" target="_blank">Suluk Lintang Lanang</a>' karya Setyo A. Saputro. Untuk menyimak perbincangan lengkap dalam program tersebut silahkan kunjungi <a href="http://www.wix.com/lintanglanang/suluk#%21audio-visual">http://www.wix.com/lintanglanang/suluk#!audio-visual</a>.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-44154722060520804752012-05-14T21:37:00.003+07:002012-05-15T16:03:13.370+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #6<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPOBGr46jhc7uFvH08RX_P6sT7LkbAo5kPBiThYuk2yPB3viD8mRZx_FwNXYEp-91JVZl_A_a65G1O_0PIpUQGTcrQkXubzt744V0m8-mGarOcSv2Di5D0Fcb3yJhjneC4EXGQUktgPV28/s1600/540417_384328938270966_100000815881727_961072_833190219_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="256" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPOBGr46jhc7uFvH08RX_P6sT7LkbAo5kPBiThYuk2yPB3viD8mRZx_FwNXYEp-91JVZl_A_a65G1O_0PIpUQGTcrQkXubzt744V0m8-mGarOcSv2Di5D0Fcb3yJhjneC4EXGQUktgPV28/s400/540417_384328938270966_100000815881727_961072_833190219_n.jpg" width="400" /></a></div>
<br />
(+) Gila?!<br />
(--) Kenapa?<br />
(+) Masa aku sama Tuhan ga boleh mimpi lagi?!<br />
(--) Hah?! Masa?!<br />
(+) Iya!<br />
(--) Kapan Dia bilang?<br />
(+) Semalem.<br />
(--) Di mana?<br />
(+) Mimpi.<br />
(--) Wallah.<br />
(+) Sial!<br />
(--) Gimana ceritanya?<br />
(+) Aku mimpi.<br />
(--) Trus?<br />
(+) Di situ aku lagi mimpi.<br />
(--) Maksudnya?<br />
(+) Mimpi di atas mimpi.<br />
(--) Jadi bingung?<br />
(+) Kamu ga cerdas sih.<br />
(--) Iya iya. Aku tolol.<br />
(+) He he.<br />
(--) Trus gimana?<br />
(+) Apanya?<br />
(--) Mimpi di atas mimpimu tadi.<br />
(+) Ya gitu.<br />
(--) Gitu gimana?<br />
(+) Tiba-tiba Tuhan ngomong gitu.<br />
(--) Ngomong gimana?<br />
(+) 'Jangan sekali-kali kamu mimpi lagi'.<br />
(--) Sial.<br />
(+) Makanya.<br />
(--) Mana bisa begitu?<br />
(+) Itu dia. Masa mimpi kok dilarang.<br />
(--) Iya.<br />
(+) Emang siapa Dia?<br />
(--) Tuhan.<br />
(+) Iya, tau.<br />
(--) Kenapa tanya?<br />
(+) Emang Dia punya hak ngelarang-larang?<br />
(--) Konon sih gitu.<br />
(+) Kenapa ga semua orang dilarang?<br />
(--) Maksudnya?<br />
(+) Kenapa cuma aku?<br />
(--) Iya ya?<br />
(+) Kenapa ga ditulis di kitab aja?<br />
(--) Bener.<br />
(+) Dijelasin kek, 'Hai manusia, jangan sekali pun bermimpi', gitu.<br />
(--) Itu lebih fair.<br />
(+) Heran.<br />
(--) Sama.<br />
(+) Jadi Tuhan kok ga jelas.<br />
(--) Kalo jelas ya bukan Tuhan lah.<br />
(+) Terus aku musti gimana?<br />
(--) Gimana, gimana?<br />
(+) Aku bener-bener ga boleh mimpi nih?<br />
(--) Lha kalo Tuhan ngomong gitu?<br />
(+) Sinting!<br />
(--) Hush!<br />
(+) Kenapa?<br />
(--) Tuhan kok disinting-sintingin?<br />
(+) Bodo amat.<br />
(--) Lho?<br />
(+) Toh aku juga bakal masuk neraka.<br />
(--) Kok bisa?<br />
(+) Aku akan terus bermimpi.<br />
(--) Hubungannya apa?<br />
(+) Artinya aku ngelanggar larangannya.<br />
(--) Trus?<br />
(+) Katanya kalo nentang Dia bakal masuk neraka?<br />
(--) Mending kamu coba komplain.<br />
(+) Maksudnya?<br />
(--) Ya komplain.<br />
(+) Caranya?<br />
(--) Temuin Dia, tanya maksud-Nya.<br />
(+) Emang bisa?<br />
(--) Apa salahnya nyoba?<br />
(+) Bener juga ya?<br />
(--) Tuntut kalo perlu.<br />
(+) Pasal apa?<br />
(--) Perbuatan tidak menyenangkan.<br />
(+) Ngaco ah.<br />
(--) Ya udah.<br />
(+) Ya udah gimana?<br />
(--) Kita temui Dia.<br />
(+) Di mana?<br />
(--) Ya mimpi lah.<br />
(+) Berarti sekarang aku musti mimpi?<br />
(--) Ya iya lah.<br />
(+) Artinya aku ngelanggar larangannya kan?<br />
(--) Abis gimana lagi.<br />
(+) Kamu nemenin?<br />
(--) Iya.<br />
(+) Nanti ngebela aku kan?<br />
(--) Pasti.<br />
(+) Kalo Dia marah?<br />
(--) Liat tar lah.<br />
(+) Kalo aku dimasukin neraka?<br />
(--) Aku ikut.<br />
(+) Lho?<br />
(--) Denganmu, neraka tak ubahnya hotel bintang lima.<br />
(+) Gombal ah.<br />
(--) Tanpamu, apa menariknya dunia?<br />
(+) Gombaall.<br />
(--) Hi hi hi. Tapi suka kan?<br />
(+) Iya sih.<br />
(--) Ya udah.<br />
(+) Ya udah gimana?<br />
(--) Ayo kalo gitu.<br />
(+) Kemana?<br />
(--) Tidur.<br />
(+) He?<br />
(--) Katanya mau menggugat Tuhan?<br />
(+) Kok malah tidur?<br />
(--) Ketemunya kan di mimpi?<br />
(+) Oh.<br />
(--) Gimana mo mimpi kalo ga tidur?<br />
(+) Musti bareng ni?<br />
(--) Apanya?<br />
(+) Tidurnya?<br />
(--) Katanya mo ditemenin ketemuan?<br />
(+) Iya.<br />
(--) Ya udah. Ayo.<br />
(+) Kamu sebelah mana?<br />
(--) Sini.<br />
(+) Aku di sini?<br />
(--) Iya.<br />
(+) Jangan tinggalin aku lho.<br />
(--) Ssttt.<br />
(+) Bener lho.<br />
(--) Udah. Merem.<br />
(+) Kamu di sampingku kan?<br />
(--) Selalu.<br />
<br />
<br />
<i>Casablanca, 14 Mei 2012</i><br />
<i>1:20 AM</i><br />
<i>* Judul dikutip dari lirik lagu <a href="http://www.youtube.com/watch?v=EFAZMuHj46A" rel="nofollow" target="_blank">Tentang Cinta - Melancholic Bitch</a></i><i></i>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-6229723833427176632012-02-16T11:05:00.002+07:002012-02-17T21:19:20.833+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #5<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjbFdyhTB-LcA8vwwR4IuQQNmijOKhTrRyUxqkCVPcxs151ylyCoAFQlhp6vqzN_E-Flo-zyt7WR6rsbV7VFNWj-1M22b5tw8aMOlSk-VFCR4TxqS0h4RlHrXR1230buJQz4pGEohKGZH_/s1600/hujan-malam-ini.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 232px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjbFdyhTB-LcA8vwwR4IuQQNmijOKhTrRyUxqkCVPcxs151ylyCoAFQlhp6vqzN_E-Flo-zyt7WR6rsbV7VFNWj-1M22b5tw8aMOlSk-VFCR4TxqS0h4RlHrXR1230buJQz4pGEohKGZH_/s400/hujan-malam-ini.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5709580574160573298" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Malam pucat. Dan aku masih mencoba menulis selembar puisi untukmu. Puisi tentang sabtu terburuk dalam hidupku dan senin yang sabar menunggu, puisi tentang perjalanan maha panjang tanpa tujuan, puisi tentang perahu kertas di hujan yang menderas, puisi tentang setitik embun yang menyetubuhi rerumput di pagi hari, puisi tentang pendar lampu-lampu kota di malam yang gila, puisi tentang nada minor di sebait lagu lawas yang sungguh kau sukai, puisi tentang tuhan dan segala macam perang yang dia ciptakan, puisi tentang kelaparan dan usus terburai di seberang lautan, puisi tentang genangan kopi di malam-malam sepi, puisi tentang kupu-kupu bersayap biru di seprai ranjang tidurmu, puisi tentang nada sumbang di pentas jazz jalanan, puisi tentang laskar pembela tuhan dan tai kuda bernama kebenaran, puisi tentang gemericik sungai di sudut halaman rumah masa depan, puisi tentang hening yang menjelaga di dekat pusara, puisi tentang penyair sinting yang mengiris nadi di alun-alun kota, puisi tentang kain kafan dan kebahagiaan, puisi tentang sebuah negeri di atas awan, puisi tentang warna-warna pelangi di langit pagi, puisi tentang binar matamu yang menyesatkan, puisi tentang ransel tua yang teronggok di sudut gudang, puisi tentang langkah-langkah yang menapak di tanah basah, puisi tentang agama dan segala macam omong kosong sejenisnya, puisi tentang keparat-keparat tua yang terlahir bahagia, puisi tentang buku aneh yang kau beli di sudut pasar, puisi tentang arloji dan waktu yang tak pernah bisa terbeli, puisi tentang anjing yang menggonggong di pelupuk hari, puisi tentang kemacetan kota dan banjir bandang yang jahanam, puisi tentang kita dan segala macam tanda tanya sejenisnya, puisi tentang meletusnya balon hijau, puisi yang akan membuat hatimu sangat kacau.<br /><br /><br /><span style="font-size:85%;">Casablanca, 13 Februari 2012<br /><span style="font-style: italic;">* Judul dikutip dari lirik lagu </span><a style="font-style: italic;" href="http://www.youtube.com/watch?v=EFAZMuHj46A">Tentang Cinta - Melancholic Bitch</a></span></div>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-74544402181944830012012-02-15T10:57:00.002+07:002012-02-15T10:58:12.364+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #4<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMelNl6JedZLV_jl9P6_AnhVnDuogqcYXXPPBEWImuwaQpHrInxCpvWIUSPQrIvSf3YkoddU8-cmc2-qK-qgjKp98Yz6dct2bBLMtaNF6JjRE6I38fTelwsgsVeuRVKoKQCd88h9GazFhZ/s1600/menari-ketika-hujan.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 277px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMelNl6JedZLV_jl9P6_AnhVnDuogqcYXXPPBEWImuwaQpHrInxCpvWIUSPQrIvSf3YkoddU8-cmc2-qK-qgjKp98Yz6dct2bBLMtaNF6JjRE6I38fTelwsgsVeuRVKoKQCd88h9GazFhZ/s400/menari-ketika-hujan.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5709206719264448098" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Lalu di suatu dini hari kau mulai bercerita tentang sepenggal masa lalu di mana kau masih cukup belia dan menganggap dunia ini semacam taman bermain raksasa. Asap rokok mengepul di sesela bibirmu yang bersih dari gincu. 'Aku dulu suka menyanyi', katamu, 'Juga menari', lanjutmu. Dan gerimis pecah. Kau bicara tentang berbagai macam bunga mulai dari melati yang sungguh kau sukai hingga kamboja yang kau benci setengah mati hingga kini. Juga tentang sesemak tanpa nama yang merimbun di sudut halaman rumah masa kecilmu tempat di mana kau biasa berbaring menatap benih-benih bintang saat adzan maghrib menelusup di sesela awan yang mulai menghitam. Nenekmu; katamu; ketika itu akan memanggilmu dengan panggilan lembut memintamu untuk segera mengambil air wudhu dan minum segelas susu. 'Ketika pagi aku sering pergi ke pasar sendiri', tiba-tiba kau mengubah tema pembicaraan. Sementara aku tak berhenti menatap matamu yang telah berhasil memaksaku mengemas tas ransel secara serampangan, menyambar peta buta dan kompas rusak untuk kemudian memulai petualangan meski tak mengenal jalan. 'Pasar itu berada di dekat terminal', kau mulai bercerita tentang tempat itu. Tempat di mana hampir tiap hari ratusan orang berjejalan, penjual ikan membuka lapak di dekat pedagang kaset bekas, poster artis berdampingan dengan cabai merah, bawang putih dan kaos kaki, daging sapi dan terasi, tembakau cincang dan es lilin. 'Aku suka es lilin', katamu, 'Yang merah muda', kau bilang sambil tertawa, 'Rasanya seperti cinta'. Sementara gerimis makin menderas, aku tak ingin ceritamu tuntas...<br /></div><br /><br /><br /><br /><span style="font-size:85%;">Casablanca, 13 Februari 2012<br />* Judul dikutip dari lirik lagu <a href="http://www.youtube.com/watch?v=EFAZMuHj46A">Tentang Cinta - Melancholic Bitch</a></span>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-86709056792736072422012-01-26T23:14:00.004+07:002012-02-15T10:59:37.306+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #3<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgy1qNP5aQCPxanL9D2hyphenhyphen1aq7q6a6GK7JxPxCxybByUqkIuBJsDOxbtSeYfNtIALIK_lr4uc4W-pWL14TDzzwUFixj3GikJTk2tWOomFonkz3RTiuzgwpZnC2UTUDS3k9nnr0cSBertw8om/s1600/alone-13003.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 272px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgy1qNP5aQCPxanL9D2hyphenhyphen1aq7q6a6GK7JxPxCxybByUqkIuBJsDOxbtSeYfNtIALIK_lr4uc4W-pWL14TDzzwUFixj3GikJTk2tWOomFonkz3RTiuzgwpZnC2UTUDS3k9nnr0cSBertw8om/s400/alone-13003.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5701975139522992114" border="0" /></a><br />'Ceritakan tentang sejarahmu', dan kaupun menelan sebutir kepompong yang dalam waktu singkat akan menjelma denyar yang tak henti bergeletar di dalam perutmu saat insomnia menyergapmu. Kau mulai melemparkan sebutir kerikil ke tengah danau yang sebelumnya tenang sepi gelombang. Kau mulai membongkar tumpukan kaset-kaset usang dan memutar lagu-lagu sumbang yang tiba-tiba saja terdengar jauh lebih merdu di telingamu. Kau mulai menyukai suara hujan dan bau tanah basah yang mengingatkanmu akan suasana petang dan suara adzan di kampung halaman. Kau mulai menyulut sebatang gelisah dan menyesap asapnya pelan-pelan untuk kemudian kau diamkan dalam waktu lama di dasar paru-paru. Kau mulai mencoba menulis puisi tentang gaun pengantin dan sesobek senja yang yang akan kau simpan di dalam dompetmu. Kau mulai merasakan kelaminmu berkedut ketika dengan malu-malu membayangkan kelaminku melesak ke dalamnya di gigil malam yang gulita. Kau mulai suka menjemput pagi seperti semangat anak kelas lima sekolah dasar yang mulai belajar menggambar dengan warna yang benar. Kau mulai menyadari bahwa tiba-tiba langit di atas atap kamarmu terlihat jauh lebih biru dari hari-hari yang lalu. Kau mulai paham bahwa kau sedang berada di ambang masalah sementara di saat yang sama kau merasa sanggup menguasai dunia dengan sekadar tertawa. Kau mulai teringat kembali dengan setumpuk mimpi yang bertahun lalu kau taruh di laci kecil yang kini teronggok di gudang belakang rumah kedua orang tuamu. Kau mulai merasa tiba-tiba menjadi sangat-sangat tua sekaligus kembali menjadi seperti remaja yang hobi bersolek di depan kaca. Kau mulai bertanya-tanya tentang hal-hal kecil seperti kenapa kunang-kunang lebih suka berkeliaran di waktu malam dan kemana mereka pergi waktu siang datang menjelang. Kau mulai berpikir tentang peti mati dan bagaimana caranya untuk hidup seribu tahun lagi. Kau mulai bla bla bla bla bla bla. Kau mulai bla bla bla bla bla bla.<br /><br /><br /><span style="font-size:85%;">Casablanca, 25-26 Januari 2011<br /><span style="font-style: italic;">* Judul dikutip dari lirik lagu <a href="http://www.youtube.com/watch?v=EFAZMuHj46A">Tentang Cinta - Melancholic Bitch</a></span></span>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-16400923132224517232011-12-01T20:32:00.004+07:002012-02-15T10:59:56.905+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #2<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxZak_mWCgV_unbHY4d8ljk5UGM9SBbQ2pomQvtafFhqrXOnuT5uE1nDEqRw6TGEKGCNrSjbOu4CweQ3oqZRRp14HmsNg_74GgqsFwxi8Uvqs59PuBrOPAdd6LFx47wtyA5jyGEAjBYLCo/s1600/alone_rain.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 272px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxZak_mWCgV_unbHY4d8ljk5UGM9SBbQ2pomQvtafFhqrXOnuT5uE1nDEqRw6TGEKGCNrSjbOu4CweQ3oqZRRp14HmsNg_74GgqsFwxi8Uvqs59PuBrOPAdd6LFx47wtyA5jyGEAjBYLCo/s400/alone_rain.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5681153026970259890" border="0" /></a><br />‘Dengarkan’, lalu kau mulai membaca puisimu. Yang kau bilang kau tulis beberapa waktu lalu, suatu dini hari ketika kau merasa terlalu lelah dan sungguh ingin muntah. Bibirmu bergerak-gerak, dan baru kusadari ternyata suaramu agak-agak serak. <span style="font-style: italic;">Ah</span>, kemanakah aku selama ini? Tapi bukankah sebenarnya tak cukup mengherankan? Tidakkah selama ini kita memang lebih sering bertukar pikiran melalui tulisan?<br /><br />Kau bercerita panjang lebar tentang sebuah pintu di puisimu. Yang terbuka dan ada seseorang yang lupa untuk menutupnya. Kau bilang, ‘Yang selalu lupa menutup pintu itu cuma <span style="font-style: italic;">asu</span>’. Ah, betapa sebenarnya aku ingin tertawa. Asal kau tahu, betapa dirimu tak cukup pantas melemparkan makian semacam itu.<br /><br />Lalu di paragraf kedua kau mulai membaca cerita tentang senja. 'Kau suka senja bukan?', kau bertanya di sesela tawa. Sementara aku hanya tersenyum sambil menghembuskan asap rokokku. Seandainya kau tahu, aku sudah cukup lama berhenti menyukai dan membenci sesuatu.<br /><br />Dan setelah terdiam sesaat; tepat ketika rintik mulai menitik; kau pun kembali membaca. Kali ini tentang komidi putar dan jalan sempit yang teramat pengap. Jembatan yang tinggal tiang-tiang. Mayat-mayat berserakan. Tak juga habis-habis... Tak kan juga habis-habis...*<br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-size:85%;">Casablanca, 30 Nov. 2011<br /><span style="font-style: italic;">* Judul dan kalimat terakhir dikutip dari lirik lagu </span><a style="font-style: italic;" href="http://www.youtube.com/watch?v=EFAZMuHj46A">Tentang Cinta - Melancholic Bitch</a></span>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-73445870635956801532011-09-06T21:22:00.005+07:002011-09-06T21:32:39.824+07:00TELAH TERBIT !!!<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhReyLCD9p9SFb0QGj4hd1XM-trPOWc3bMNNDWQAPFjHBBYXTG6WWqvpVtifltWAGY65PI_JBusLwDB5pbmaXQHt9iZ42bTakufd7GdVtYSfcixu6grsAQbcipI07UhniMhQ89jqL0ZbKnU/s1600/NAL_6547_2.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 265px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhReyLCD9p9SFb0QGj4hd1XM-trPOWc3bMNNDWQAPFjHBBYXTG6WWqvpVtifltWAGY65PI_JBusLwDB5pbmaXQHt9iZ42bTakufd7GdVtYSfcixu6grsAQbcipI07UhniMhQ89jqL0ZbKnU/s400/NAL_6547_2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5649253582580963074" border="0" /></a><br /><br />Buku antologi cerpen 'Suluk Lintang Lanang' karya Setyo A. Saputro. Memuat 24 cerita pendek yang ditulis dalam rentang waktu antara 2006-2011.<br /><br />Judul : Suluk Lintang Lanang<br />Penulis : Setyo A. Saputro<br />Penerbit : Indie Book Corner<br />ISBN : 978-602-9149-36-4<br />Tata Letak Isi : Retno Sayekti Lawu<br />Foto Cover : Dony Alfan<br />Ukuran Buku : 13 x 19 cm<br />Tebal : 154 (viii + 147) halaman<br />Harga : Rp 40.000 (+ ongkos kirim)<br /><br />Cara pemesanan:<br />1. Transfer biaya ke Rekening Bank Permata No. 121 637 07 47 a/n Setyo Andi Saputro<br />2. Kirim bukti transfer, alamat pengiriman dan nomer HP ke lintang_lanang@yahoo.co.id<br /><br />website:<br /><a href="http://www.wix.com/lintanglanang/suluk">http://www.wix.com/lintanglanang/suluk</a><br /><br />Fan Page FB:<br /><a href="http://www.facebook.com/pages/Suluk-Lintang-Lanang/202119909844961">http://www.facebook.com/pages/Suluk-Lintang-Lanang/202119909844961</a><br /><br /><br />*Download tarif pengiriman via TIKI-JNE di <a href="http://ongkoskirim.files.wordpress.com/2011/09/oke-reg-yes.xls">sini</a>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-72858280503894338302011-07-22T19:34:00.002+07:002012-02-15T11:00:15.845+07:00Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #1<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhm5k4vxzDAZj8HhqgJP4Py0ME0cNo3LEygddW1XkQLPLUVMpGaj8hHLga2zAMXZA5Oqm2OaisreWR8SkURoxKelyKtZ5qnkUFFUTg2BJfRKiGaiYe6mCSH2WYRCNt7SP6V3q8rm8afBqKp/s1600/love-21.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhm5k4vxzDAZj8HhqgJP4Py0ME0cNo3LEygddW1XkQLPLUVMpGaj8hHLga2zAMXZA5Oqm2OaisreWR8SkURoxKelyKtZ5qnkUFFUTg2BJfRKiGaiYe6mCSH2WYRCNt7SP6V3q8rm8afBqKp/s400/love-21.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5632154701384267234" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Asal kau tahu, aku sebenarnya sudah lama jatuh cinta denganmu. Tapi mau bagaimana lagi, ketika suatu hari tiba-tiba kau bercerita bahwa kau sendiri juga sedang jatuh cinta? Bukan denganku tentu saja. Dan selang beberapa hari kau datang lagi, ‘Dia juga jatuh cinta denganku!’, teriakmu sambil ketawa-ketiwi. Permen <span style="font-style: italic;">lollypop</span> di tangan kiri. Dan begitulah, kau dan lelakimu itu kemudian saling jatuh menjatuhi cinta. Senyummu mekar tiap hari. Semakin lebar tiap datang mentari. Lalu suatu sore kau menemuiku untuk kemudian bercerita panjang lebar, bahwa lelaki yang kau jatuhi cinta itu dulu juga pernah jatuh cinta dengan orang lain yang juga jatuh cinta dengannya. Tapi karena suatu hal, perempuan yang dulu sempat dijatuhi cinta oleh sosok yang sekarang menjatuhi cinta dirimu sekaligus kau jatuhi cinta itu justru menjatuhi cinta orang lain yang kebetulan juga jatuh cinta dengannya. ‘Dia takut kehilangan lagi’, katamu, ‘Dia takut aku jatuh cinta padamu’, lanjutmu. Ah, jaman boleh saja berganti. Tapi betapa cinta selalu saja berhasil menakut-nakuti. Giliran aku yang ketawa-ketiwi.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Casablanca, 20 Juli 2011</span></span><br /><span style="font-size:85%;">* Judul dikutip dari salah satu bagian lirik lagu <a href="http://www.youtube.com/watch?v=EFAZMuHj46A">Tentang Cinta - Melancholic Bitch </a></span></div>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-72143055060720467362011-07-16T17:19:00.011+07:002011-07-16T17:28:11.758+07:00Segera Terbit...<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2nwDCB3VeBDkpg5fETJQwPqBP9gD4GDuBp64mOoS_hB_SvWX7G59O_ytEp-JtLVyRTqmm63WpJDLyVipakM4wNSAAAu0v4TPcnKH9B4CZs-vOKhitAPP_wKFCSRJBq4fmSJe2PdqWOkg7/s1600/Grapasdhic1.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 333px; height: 480px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2nwDCB3VeBDkpg5fETJQwPqBP9gD4GDuBp64mOoS_hB_SvWX7G59O_ytEp-JtLVyRTqmm63WpJDLyVipakM4wNSAAAu0v4TPcnKH9B4CZs-vOKhitAPP_wKFCSRJBq4fmSJe2PdqWOkg7/s400/Grapasdhic1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5629894860825394818" border="0" /></a><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQB0q9zfsMxD4IJNJ28lOfyvhpZDJsS564RrR0brnmmkFhB_3guIzw8xWd1S24TY21Lkbb9WFgRH9QlwVa7vssxwDDq_BqD5Afy_DoaFwDtvskECqM34yqY17aCxzycsc9VkO7JHnYanK0/s1600/Grapasdhic1.jpg"><br /></a>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-28066221007198298862011-07-04T20:39:00.002+07:002011-07-04T20:44:22.021+07:00Taiisme<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3fq9M78EyjQG5SncAvtLEhaM9pNxE5UXCSEMV43GaM1AlAHJhyYG1yqLc3t12Jm9eGxJANCJl_NgFe_oOLI8Ux2tJ_w4sutBohmmvz4tMNf55ICd8fxhSvxFyEk0APuXSteaAM1P2KIJ3/s1600/communist_jpg.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 256px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3fq9M78EyjQG5SncAvtLEhaM9pNxE5UXCSEMV43GaM1AlAHJhyYG1yqLc3t12Jm9eGxJANCJl_NgFe_oOLI8Ux2tJ_w4sutBohmmvz4tMNf55ICd8fxhSvxFyEk0APuXSteaAM1P2KIJ3/s400/communist_jpg.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5625491637867582178" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;">‘<span style="font-style: italic;">Gombal mukiyo!</span>’, kawan saya <span style="font-style: italic;">munta</span>b. Seorang ibu muda yang berprofesi sebagai abdi negara di salah satu departemen milik negeri ini. Baru beberapa bulan yang lalu dia <span style="font-style: italic;">manak</span> (baca: melahirkan anak). Seorang anak lelaki yang (konon kalo disimpulkan dari status-status <span style="font-style: italic;">heboh</span> di akun jejaring sosialnya) cukup lucu.<br /><br />Begini ceritanya. Siang tadi dia mengantar anak pertamanya itu untuk imunisasi. Dan tak lama setelah itu di beranda akun FB-nya dia menemukan<span style="font-style: italic;"> link </span>sebuah artikel yang di<span style="font-style: italic;">posting</span> seorang teman, <a href="http://www.globalmuslim.web.id/2011/06/imunisasi-tipu-muslihat-yahudi.html">Imunisasi = Tipu Muslihat Yahudi Menghancurkan Umat Lain</a>. Sebuah artikel sampah dari seseorang yang (merasa) kalah.<br /><br />Sebenarnya bukan isi artikel<span style="font-style: italic;"> copas </span>dari kaskus itu yang bikin kawan saya <span style="font-style: italic;">ngamuk-ngamuk</span>. Tapi siapa yang mem<span style="font-style: italic;">posting link</span> itu. Temannya kawan saya itu juga PNS. Begitu juga suaminya. Dan konon keduanya adalah anggota (atau minimal simpatisan) dari satu organisasi multinasional yang setiap hari menggembar-gemborkan jaman keemasan kekhalifahan dan sangat anti terhadap apapun yang berbau demokrasi (baca: HTI).<br /><br />Di titik inilah penonton mulai tergelak. Seseorang yang tiap hari tak henti menghujat demokrasi sebagai <span style="font-style: italic;">tai</span>, tapi membelikan susu anaknya, membeli sabun untuk mencuci pakaiannya, membeli mie ayam, celana dalam, daster dan menghidupi segala keperluan keluarganya dari gaji bulanan sebagai seorang abdi dari negara yang (secara <span style="font-style: italic;">de jure</span>) menjunjung tinggi azas demokrasi? Lha ini namanya <span style="font-style: italic;">what the hell</span> atau <span style="font-style: italic;">what the fuck</span>?<br /><br />Di jaman kini, ideologi menjadi sesuatu yang tak penting lagi. Begitu kata seorang kawan. Tak heran, di jalanan bisa saja kita melihat seorang penjual bakso mengenakan kaos PDIP sementara di gerobaknya tertempel stiker PKS & Golkar. Sesuatu yang sepertinya sulit kita temukan di masyarakat politik yang masih menjunjung tinggi arti ideologi seperti Thailand, misalnya. Atau mungkin juga di Indonesia dekade 60-an. Sebuah masa di mana ideologi bukanlah sesuatu yang main-main. Di mana kiri adalah berarti kiri. Kanan adalah kanan. Komunis, nasionalis atau agamis.<br /><br />Tahun 65 saya belum ada. Tapi dari yang bisa kita baca dari catatan-catatan yang ada (catatan Gie salah satunya), ketika itu masing-masing mahasiswa (atau rakyat pada umumnya) benar-benar menyadari perannya sebagai agen politik dari ideologi yang mereka imani. Tapi sekarang? <span style="font-style: italic;">Tai </span>kuda dengan itu semua. Ideologi-ideologi besar sudah pecah tak tentu arah. Terlalu banyak varian. Sementara masyarakat juga semakin pragmatis. Seseorang yang mengenakan kaos PKS di jalanan belum tentu mengimani ide-ide yang diusung partai itu.<br /><br />Lalu jika kondisinya seperti ini, sebenarnya pihak mana yang bisa dikatakan menang? Entahlah. Yang jelas, pada akhirnya kita memang akan kembali pada hukum yang biasa. Mulut bisa saja mengaku Agamis. Bahkan Komunis. Tapi perut tetap saja Kapitalis. Begitu..<br /><br />***<br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Casablanca, 3 Juli 2011</span></span></div>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-33893983433786151352011-06-09T21:27:00.002+07:002011-06-09T21:36:03.365+07:00August Rush: Drama (Bukan) Kumbara<div style="text-align: justify;">‘Metal. Mellow total’, sayapun <span style="font-style: italic;">nyeruput</span> susu Ultra dan membakar sebatang rokok. <a href="http://www.imdb.com/title/tt0426931/">August Rush</a>. Film lama sebenernya. Karya Kirsten Sheridan tahun 2007. Hasil merampok <span style="font-style: italic;">bandwidth </span>kantor tadi siang. Tak menghargai seni? Mungkin. Saya memang pembajak.<br /><br />Film produksi Warner Bros ini bukan film jelek. Memang <span style="font-style: italic;">sih</span>, terlalu Hollywood. Happy ending dan serba kebetulan. Tapi setidaknya lagu-lagunya bisa jadi pengantar minum bir yang cukup lumayan.<br /><br />Kisah dibuka dengan narasi seorang anak bernama Evan Taylor (Freddie Highmore). Dihiasi gambar ketika dia berdiri di tengah padang ilalang sambil mendengarkan ‘musik’ dunia. Dialah si ‘yatim piatu’ yang tinggal di sebuah panti asuhan. Seorang anak ‘haram’ hasil <span style="font-style: italic;">one night stand </span>antara seorang musisi rock bernama Louis Connelly (Jonathan Rhys Meyers ) dengan seorang pemain cello bernama Lyla Novacek (Keri Russell)<br /><br />Di bawah bulan purnama sepasang sejoli ini bercinta di atap sebuah gedung. Pada pertemuan pertama. Ya. <span style="font-style: italic;">Pada pertemuan pertama</span>. Dengan diawali dialog romantis seperti di kisah-kisah putri produksi Disney, keduanya lalu saling melumat. Lalu erat. Namun seperti yang sudah digariskan penulis kisah, pertemuan pertama itu adalah juga yang terakhir. Mereka berpisah. Dan karena satu hal, bayi Evan yang lahir (sekitar) sembilan bulan setelahnya ditaruh di panti asuhan oleh ayah Lyla, Thomas Novacek (William Sadler). <span style="font-style: italic;">Mati,</span> begitu katanya pada putri tercinta. Hingga cerita bergulir sebelas tahun sesudahnya. Pencarian, penantian yang lalu diakhiri pertemuan. Bahagia pada akhirnya.<br /><br />Musik. Inilah satu hal yang paling digaris bawahi dalam film ini. Sebenarnya bukan kesengajaan jika dua hari terakhir ini saya menikmati dua film yang sama-sama bercerita tentang seorang komposer. Yang satu lagi adalah <a href="http://www.imdb.com/title/tt0108394/">Trois Couleurs: Bleu</a>. Sebuah film perancis produksi 1993. Tapi jangan coba membandingkan antara keduanya. Peraih Best Film, Best Actress dan Best Cinematography dalam Venice Film Festival 1993 ini jauh lebih hening dan khidmat. Khas film-film Eropa. Dan satu lagi, jauh lebih realis.<br /><br />Ya. Menurut saya August Rush memang terlalu mengada-ada. Terlalu banyak kebetulan yang dipaksakan. Seperti halnya <span style="font-style: italic;">telek bebek </span>bernama sinetron yang menghiasi layar TV negeri ini. ‘Jelas beda’, seorang kawan mendebat saya, ‘Setidaknya di film ini tidak ada adegan mata mendelik-delik jahat yang dizoom in zoom out <span style="font-style: italic;">ping seket buntet</span>’, lanjutnya. Ya. Dia benar. Mungkin memang itu salah satu hal yang membedakan di antara keduanya. Tapi tetap saja alur cerita August Rush sangat memungkinkan dikategorikan sebagai kisah yang (meminjam kosakata jaman terkini) <span style="font-style: italic;">lebay</span>.<br /><br />Sekali lagi, saya tidak bilang film ini jelek. Tidak. <span style="font-style: italic;">Lha wong</span> nyatanya berhasil menjadi salah satu nominator Academy Award 2007 <span style="font-style: italic;">kok</span>. Cuma ceritanya sedikit mengada-ada. Bagi saya, menikmati film ini membuat penantian sekianpuluh tahun Florentino Ariza dalam <a href="http://www.imdb.com/title/tt0484740/">Love in The Time of Cholera</a> menjadi jauh lebih memungkinkan untuk benar-benar terjadi. Tindakan ‘tolol’ dalam film yang menurut saya gagal menerjemahkan karya besar Marquez itu tiba-tiba saja terdengar jauh lebih membumi. Tapi sudahlah. Toh August Rush memang sekadar fiksi. Yang penting saya besok mau download original soundtrack-nya. Lumayan untuk menemani saat insomnia. Begitu.<br /><br /><br /><br />***<br /><span style="font-weight: bold;"></span><br /><span style="font-weight: bold;"></span></div><br /><span style="font-weight: bold;"></span><span style="font-size:85%;"><br /></span><div style="text-align: justify; font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;"></span>Casablanca, 1 Juni 2011</span></div>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-16654863627320449072011-02-25T22:41:00.003+07:002011-02-25T22:45:31.130+07:00Antara Kopi, Jazz dan Dirimu<span style="font-style: italic;font-size:85%;" >*Bacalah sambil mendengarkan <a href="http://www.youtube.com/watch?v=HMnrl0tmd3k">The Fragrance of Dark Coffee</a></span><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJ0Yu_4lT3YnZKMw8g9W1G6Xrs0aL-jLurquSGcBbw1NOE8apeBXoWkU37MGkORldcaSb0vpdNxm0udfcrc0lEndf2L_0IdFuvPwcljfODTB67IOptvI03Q-WzG3lw7GN6SnYFIq8R1VID/s1600/Graphiaac1.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 276px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJ0Yu_4lT3YnZKMw8g9W1G6Xrs0aL-jLurquSGcBbw1NOE8apeBXoWkU37MGkORldcaSb0vpdNxm0udfcrc0lEndf2L_0IdFuvPwcljfODTB67IOptvI03Q-WzG3lw7GN6SnYFIq8R1VID/s400/Graphiaac1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5577653497496431970" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><a href="http://www.youtube.com/watch?v=HMnrl0tmd3k"></a></span>Kekasih,<br />Telah kukirimkan selembar kartu pos bergambar saxophone untukmu. Kutulis kemarin sore ketika semburat jingga menjelaga di barat sana; saat semilir angin menggugurkan dedaun cemara di sudut taman kota; ketika warna pucat merayap di lekuk bangunan-bangunan tua yang sekarat. Dan baru dini hari tadi kertas warna senja itu kumasukkan ke dalam kotak pos di sudut alun-alun; tepat di seberang kafe di mana sebelumnya kunikmati sisa malam yang hambar; jazz yang menguar; dan secangkir kopi yang membuat jantungku tak henti berdenyar.<br /><br />Kekasih,<br />Kau tahu kenapa aku memilih membeli kartu pos bergambar saxophone itu ketika kemarin lusa aku berjalan-jalan di sebuah toko buku renta? Bukan masalah harga tentu saja, tapi karena mimpiku malam sebelumnya. Dalam mimpiku itu, aku adalah musisi sementara dirimu adalah saxophone yang menggelayut di leherku. Jangan tanya kenapa saxophone dan bukan biola, karena aku cuma manusia biasa yang tak cukup punya hak untuk mendikte apa yang bisa dan tidak bisa kuimpikan. Di dalam tidurku itu, berdua kita berkeliling di senyap kafe-kafe gelap, dan ketika pekat mulai merayap, bibir kita tak henti menyatu untuk saling mencumbu; mengalunkan harmoni yang menyayat bagai sembilu; menemani manusia-manusia yang selalu datang dan pergi; pasangan-pasangan bahagia penuh cinta; pun juga seseorang yang ingin menghabiskan malam terakhir sebelum dia memutuskan untuk bunuh diri di jembatan yang membelah kota menjadi dua; setelah sebelumnya gagal mengiris nadi dengan pisau berkarat di kamar hotel murahan yang ranjang kayunya dilumat rayap.<br /><br />Kekasih,<br />Kita hidup di jaman yang salah. Sebuah titik waktu di mana cinta adalah semacam tai kuda yang keras kepala; iman adalah selalu berarti legalnya pembunuhan; darah dan amarah adalah amanah. Entahlah. Kita berdua memang makhluk-makhluk peragu yang sangat jarang benar-benar meyakini sebuah kebenaran. Termasuk Tuhan.<br />‘Benarkah Tuhan itu ada?’, pertanyaan yang selalu terucap dari bibirmu. Dulu. Tapi bukankah kini kita berdua sudah sama-sama lelah? Jawaban atas pertanyaan itu sudah menjadi semacam nasi basi; berkeringat dan mengeluarkan aroma yang melekat.<br />‘Hidup adalah jazz. Improvisasi tak berhenti’, kau menulis di surat terakhirmu kemarin lalu. Dan ya, mungkin memang benar begitu. Tak ada yang baku di dunia yang semakin asu.<br /><br />Kekasih,<br />Berapa cangkir kopi yang sudah kau sesap hari ini? Tiga, lima, atau tidak sama sekali? Ah… Tak mungkin sepertinya, bukankah kau tidak seperti diriku yang tak bakat menjadi pecandu?<br />‘Kopi itu seperti hidup’, begitu falsafahmu, ‘Di mana manis dan pahit saling berbelit. Melilit rumit. Senang dan sakit’<br />Ya begitulah. Dan mungkin memang aku yang tak berbakat untuk kehidupan ini. Karena ternyata secangkir kopi saja sudah cukup membuat jantungku tak henti bergeletar. Berdebar-debar. Tak bubar-bubar.<br /><br />Kekasih,<br />Kita sudah sepakat bukan, bahwa hidup tak sesederhana opera sabun yang biasa ditayangkan di kotak busuk penebar mimpi bernama televisi. Di mana hampir semua ceritanya berakhir bahagia. A dan B membentuk sebuah keluarga, beranak pinak, dan lalu ditutup dengan musik ceria yang membahana. Hidup yang sebenarnya tak seperti itu. Tak semerdeka itu. Ada politik di muka bumi ini. Di mana pihak satu dan pihak lain saling berebut kursi untuk saling menguasai. Keadilan menjadi sesuatu yang abstrak. Bahkan kebaikan-pun menjadi sesuatu yang sulit untuk dideskripsikan. Bagaimana tidak, bahkan seseorang yang membunuh ratusan orang dengan satu ledakan pun sekarang bisa disebut pahlawan. Dunia macam apa yang kita tinggali ini?<br /><br />Kekasih,<br />Dini hari tadi kukirim selembar kartu pos bergambar saxophone untukmu, dan kuharap benda itu benar-benar bisa sampai di tanganmu. Meski sepertinya aku harus berdoa keras untuk hal itu. Bukan apa-apa sebenarnya, hanya saja baru saja kudengar dari kabar yang beredar, pihak oposisi akan mulai bergerak sore nanti. Gerakan bawah tanah akan keluar menantang matahari. Menjadikan alun-alun kota sebagai basis perjuangan mereka. Dan aku sendiri tak cukup yakin apa yang akan terjadi nanti, apakah tukang pos tua berjanggut kelabu yang sering kutemui di kedai kopi itu cukup punya keberanian untuk tetap bekerja, ketika ratusan ribu massa mulai bergerak untuk mencoba merebut negara.<br /><br />Kekasih,<br />Jagalah dirimu baik-baik. Berhentilah bertanya, ‘Apakah Tuhan itu ada?’. Anggap saja Dia memang benar-benar ada. Karena hanya dengan begitu kita akan punya cukup kekuatan untuk bertahan hidup di dunia yang semakin hari semakin gila. Hanya dengan begitu kita memiliki harapan.<br /><br />Kekasih,<br />Saat ini tak ada sesuatupun yang kuinginkan dari dirimu. Kecuali satu. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa satu-satunya kebenaran yang kuimani tak pernah berubah dari dulu. Adalah mencintaimu.<br /><br /><br />***<br /><br /><br />Sersan Ali berhenti membaca. Teringat salah satu mayat lelaki muda yang pagi tadi dia lempar ke dalam truk tentara.<br />‘Dia bukan pemberontak’, Sersan Ali bicara pada diri sendiri. Teringat gelegar suara Jenderal, ‘Tembak semua pengacau!!’.<br />Tiba-tiba bibir prajurit itu tergetar, membayangkan andaikan peluru yang bersarang di tubuh lelaki itu berasal dari AK 47 yang kini dipanggulnya, ‘Lalu bagaimana dengan sang kekasih itu? Siapa dia?’.<br />Sersan Ali menatap ke seberang, sisa-sisa kotak pos yang terbakar. Dia yakin, kartu pos bergambar saxophone itu tak mungkin lagi ditemukan. Tak akan ada alamat yang bisa dia dapat. Kini kertas di tangannya adalah bukan apa-apa dan bukan milik sebuah nama. Dengan tatapan tajam Sersan Ali meremas kertas, lalu membuangnya, 'Tak ada jerit bagi prajurit!'. Angin musim gugur membawa kabur. Sepatu lars berderap tegap. Panser melintas. Aspal mengeras. Sersan Ali sebenarnya ingin berdoa, tapi tak tahu kepada siapa.<br /><br /><br /><br />***<br /><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Casablanca, 22 Februari 2011<br />01.06</span></div>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-5187937106029957742011-02-20T16:48:00.003+07:002011-02-20T16:53:45.036+07:00Kisah Tak Penting atau Semacamnya<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkphtF9seXzF6_hVqCHFTLpJbAyBcJBz0g-c81V8zLazWD0jG-m84wl1XYyryBBS6NZ4puCchy5w11NUucHRVptDo5SZl2ajfWK_d1lsMN_vw_xr48AB5BYaGRKluWvVPIohUY3Fjql2uf/s1600/182788_182319051805290_100000815881727_365087_7846250_n.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 224px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkphtF9seXzF6_hVqCHFTLpJbAyBcJBz0g-c81V8zLazWD0jG-m84wl1XYyryBBS6NZ4puCchy5w11NUucHRVptDo5SZl2ajfWK_d1lsMN_vw_xr48AB5BYaGRKluWvVPIohUY3Fjql2uf/s400/182788_182319051805290_100000815881727_365087_7846250_n.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575707659062293746" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Senja padam. Lalu kelam.<br />‘Kenapa malam selalu hitam’, kau membuka percakapan. Dan aku memilih diam. Bukan apa-apa sebenarnya. Tapi tahukah kau bagaimana rasanya ketika seribu kupu-kupu beterbangan di dalam perutmu? Kau akan sangat malas mengobral bahasa dan kata-kata. Denyar bergeletar seperti ketika bulu kudukmu meremang saat seseorang meniup pelan lubang kupingmu. Seperti itu. Ah, tapi adakah yang pernah sekurang ajar itu padamu? <span style="font-style: italic;">Menyebul sebul</span> untuk kemudian mungkin membisikkan sesuatu? Kalau boleh tahu, <span style="font-style: italic;">kalimat apakah itu?</span><br />‘Kenapa?’, kau kembali bertanya.<br />‘Hmm.. Entahlah. Mungkin jawaban yang sama untuk pertanyaan Kenapa senja seringkali berwarna jingga. Begitu’<br /><br />Lalu malam kembali seragam. Ada bintang terbang. Juga bulan sabit sipit. Seperti matamu. Mata yang berkantung. He he he.. Kau mencubitku kemarin lalu ketika kukatakan itu. Tapi bagaimana tidak, kebiasaan begadangmu itu benar-benar tak sehat.<br />‘Bukankah kau juga begitu?’<br />Iya. Tapi insomniaku bukanlah sesuatu yang disengaja. Aku bukan tipe orang yang percaya kalau kopi mampu membuatku tidur cepat-cepat. Tak seperti dirimu. Bergelas kopi tiap malam hari. Aku lebih suka memilih anggur sebelum tidur.<br /><br />‘Lalu kenapa senja seringkali berwarna jingga?’<br />Ah, andaikan kau tahu. Pertanyaan-pertanyaanmu itu sebenarnya kadang tak bermutu. Tapi point-nya bukan itu. Entah kenapa aku selalu suka caramu bertanya. Ah, tapi tidak juga. Aku selalu suka saat kau bicara. Hmmm, tapi bukan juga sebenarnya. Aku hanya suka tiap dirimu ada. Meski kau tak bicara, tak bertanya bahkan tak melakukan apa-apa.<br /><br />‘Kenapa?’<br />‘Hmmm… Mungkin takdir kali ya?’, aku benar-benar tak tahu jawabnya.<br />‘<span style="font-style: italic;">Tai ah</span>.. Jawabanmu <span style="font-style: italic;">ga</span> mutu’<br />Lho? Mana ada pertanyaan <span style="font-style: italic;">ga</span> mutu punya jawaban yang mutu, batinku begitu.<br />‘Kau punya mimpi?’<br />Walah, bicara soal mimpi. Hari Minggu lalu aku mimpi siang-siang. Menemukan sebuah rumah kos di tengah kota yang busuk ini. Anehnya, jalan menuju kesana harus melewati petak-petak sawah yang menghijau (Ini benar-benar hijau. Kali ini aku bisa benar-benar tahu kalau mimpiku berwarna. Tak seperti yang sebelum-sebelumnya). Sementara di samping kanan rumah itu ada dipan tempat di mana aku bisa leluasa memandang. Barat, aku benar-benar ingat. Karena di kejauhan ada jingga yang semburat. Ya, memang ketika itu settingnya senja (<span style="font-style: italic;">Kenapa sih selalu senja</span>, keponakanku pernah bertanya. Dan aku cuma tertawa-tawa. Kenapa ya? Mungkin karena aku tak pernah jatuh cinta dengan pagi ataupun siang. Sementara malam bagiku terlalu menakutkan)<br /><br />‘Semua yang ada ini hanyalah dunia di mimpi saya. Percayalah. Saat ini saya sedang tidur di kamar saya. Sekarang hari Minggu siang. Tanggal 3 Februari’, kataku pada beberapa orang dalam mimpiku itu. Dan mereka semua diam. Mungkin aku dianggap gila. Tapi memang begitu adanya. Aku sadar jika aku sedang bermimpi. Meski tanggal yang kusebutkan ternyata tidak tepat (Mungkin karena di situ tak kulihat kalender. Dan aku juga tak membawa <span style="font-style: italic;">hape</span>. Jadi wajar jika konsep waktuku agak keliru).<br /><br />‘Kau punya?’<br />‘Hmmmmmm… Apa ya? Aku tidak tahu’<br />‘Lho?’<br />‘Aku sudah lupa cara bermimpi’<br />Lalu kau tertawa. Seperti tokoh-tokoh dalam mimpiku, pasti kau anggap diriku gila. Tak apa. Aku sendiri juga kadang berpikiran begitu.<br />‘Katanya kau ingin ke Kathmandu?’<br />‘Ya’<br />‘Berarti itu mimpimu?’<br />‘Hmmmm… Mungkin’, ada sekelebat angin.<br />‘Ahhh.. Berbincang denganmu sama sekali tak menarik. Mendingan dengerin jengkerik’<br />He he he.. Asal kau tahu. Kau orang kesekian ribu yang mengatakan itu. Tak pernah ada sesuatu yang menarik dari diriku. Tidak seperti dirimu. Hingga melihat sekumpulan babi terbang di awang-awang jauh lebih memungkinkan dibanding menemukan alasan kenapa aku harus tidak meminatimu. Sungguh <span style="font-style: italic;">asu</span>.<br /><br /><br />***<br /><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Casablanca, 9 Februari 2011</span><br />03.46</span></div>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-49929387118623096702011-01-27T21:18:00.002+07:002011-01-27T21:25:46.118+07:00Semacam Dialog dalam Sebuah Pertemuan (3)<span style="font-size:85%;">* Kisah sebelumnya ada di <a href="http://lintanglanang.blogspot.com/2010/12/semacam-dialog-dalam-sebuah-pertemuan.html">sini</a> dan di <a href="http://lintanglanang.blogspot.com/2011/01/semacam-dialog-dalam-sebuah-pertemuan-2.html">sini</a></span><br /><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyKxkYqxdZHnoxn6nTsFI4ma1kXg3HWlYw1JR33XjUSEb7QdjoTs7QBqmWdxExvYvkYGUYVH3qzXwKPt3Uu268wVPpSp0ACbFw20bl5I8p5wFfu4ZRMJb65CEODZPjlvHePk3kKxEeDuG6/s1600/0627785d34d8f5459ba633cf305cfd61.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 266px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyKxkYqxdZHnoxn6nTsFI4ma1kXg3HWlYw1JR33XjUSEb7QdjoTs7QBqmWdxExvYvkYGUYVH3qzXwKPt3Uu268wVPpSp0ACbFw20bl5I8p5wFfu4ZRMJb65CEODZPjlvHePk3kKxEeDuG6/s400/0627785d34d8f5459ba633cf305cfd61.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5566870723984370786" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;">Tok tok tok.</span><br />Lalu langkah kaki. Dan pintu terbuka.<br />Mata-mata bersitatap. Jantung-jantung berderap.<br />‘Kamu?’<br />‘Aku’, bibir bergetar. Rambut <span style="font-style: italic;">mawut</span>. Janggut <span style="font-style: italic;">runggut</span>.<br />Lalu diam yang <span style="font-style: italic;">jancuk</span>. Sunyi yang layak dikutuk.<br />‘Masuk’, keduanya duduk.<br />‘Duapuluh tahun?’<br />‘Lebih satu bulan’<br />‘Kemana saja?’<br />‘Sembunyi’<br />‘Dari?'<br />‘Polisi. FBI. Negara. Dunia. Semua’<br />‘Kenapa tak menyerah saja?’<br />‘Tidak. Aku tak mau ini disita’, lelaki keluarkan amplop. Cahaya jingga memancar dari celahnya.<br />‘Kupotong sendiri. Dengan tanganku’<br />Perempuan menerima. Lalu air mata.<br /><span style="font-style: italic;">Ah, pipi itu masih sama, Sepasang cekung di tengahnya. Meski sedikit keriput kini menghiasinya.</span><br />Sinar berdenyar ketika lembar itu sepenuhnya keluar. Debur ombak menyeruak. Ceracau burung-burung laut mengacau.<br />‘Pasanglah di kamarmu. Seperti yang kau inginkan dulu’<br />Tangis pecah, ‘Kenapa kau sebodoh itu?’, gerimis menjelma hujan, ‘Tak seharusnya kau penuhi permintaan tololku’<br />‘Aku bahagia’<br />‘Gara-gara permintaanku kini manusia di dunia tak bisa lagi menikmati senja yang seharusnya‘<br />Perempuan menatap jendela. Barat yang terluka. Persegi warna hitam menjadi noda.<br />‘Lihat. Anak-anak kita kini tak lagi mungkin menikmati langit yang seutuhnya’, perempuan menatap lembaran di tangan, ‘Karena sebagian sudutnya ada di sini’.<br />‘Keindahan ini cuma layak untukmu’<br />Mata menyipit, ‘<span style="font-style: italic;">Asu</span>. Kau <span style="font-style: italic;">asu</span>’.<br />‘Berapa kini anakmu?’<br />‘Tiga. Satu lelaki. Dua wanita’<br />‘Yang bernama Senja?’<br />‘Yang kedua’<br />Jarum jam menajam. Seperti hukuman rajam.<br />‘Baiklah. Aku kesini cuma mau memberi ini. Sekarang aku pergi’<br />‘Kemana?’<br />‘Entah. Mungkin menyerah. Lari itu bikin lelah’<br />‘Jangan! Kau pasti dihukum mati!’<br />Lelaki hanya tersenyum.<br /><span style="font-style: italic;">Itu tak penting lagi. Tugasku sudah selesai kini.</span><br />Lelaki berdiri, ‘Satu hal lagi’<br />‘Apa?’<br />‘Aku minta maaf’<br />‘Untuk?’<br />‘Menginginkanmu’<br />Hening sesaat.<br />‘Asal kau tahu. Menginginkanmu adalah di luar rencana. Semua terjadi begitu saja. Tiba-tiba’<br />Butir-butir kembali bergulir, ‘Mengakulah salah. Mungkin hukumanmu akan dikurangi’<br />Lelaki tersenyum lagi, ’Kau tak berubah. Tak henti mengajariku bagaimana bermimpi. Meski tak sekalipun tentang mewujudkannya’<br /><span style="font-style: italic;">Drdrdrdrdrdr</span>.. Hape bergetar. Cahaya berdenyar.<br /><span style="font-style: italic;">…Just in time you've found me just in time… Before you came my time was running low… I was lost the losing dice were tossed… My bridges all were crossed nowhere to go…</span><br /><a href="http://www.youtube.com/watch?v=ueL2CrJSLBg">Nina Simone</a> terdengar. Ingin kirim kabar.<br />‘Aku pergi’<br />Lelaki keluar. Melangkah menuju barat.<br /><span style="font-style: italic;">Tiada lagi beban berat.</span><br />‘Halo’, memendam isak.<br />‘Ma, Papa dah sampai hotel ni.. Ga begitu jauh dari <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Seine">Seine</a>.. Tar malem mungkin nyempetin jalan-jalan kesana.. Perjalanan dari <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bandar_Udara_Paris-Charles_de_Gaulle">Roissy</a> lancar.. Kamu mo dibawain oleh-oleh apa? Oh iya, bilang sama Dewa, kalo memang mo ambil jurusan grafis mending di Belanda aja.. Bla bla bla..<br />Tiada lagi yang singgah di telinga. Cuma air mata dan sepotong senja. Selebihnya gulita.<br /><br /><br /><br />***<br /><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Casablanca, 23 Januari 2011</span><br />* Foto dicuri dari <a href="http://www.photographyserved.com/gallery/Skinscapes-Projection/778006">sini </a></span></div>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-70987267500158234942011-01-19T16:38:00.002+07:002011-01-19T16:50:18.498+07:00Semacam Dialog dalam Sebuah Pertemuan (2)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjydSLdKnPwtJ1I5cnlj5KILF3AeHEd48qenzFIlPC1BnKuISgvSgCz5Ku9-4f9oo5wMTSUiT7dV1q4yFvwPBwgtfFyh-spNksUEohUXyuTjsewqsfljIMf2vxrIAYtq2Xg6Fo-3AwMq1sc/s1600/d85e5bad61ecbb6ae8d312c3747da997.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 308px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjydSLdKnPwtJ1I5cnlj5KILF3AeHEd48qenzFIlPC1BnKuISgvSgCz5Ku9-4f9oo5wMTSUiT7dV1q4yFvwPBwgtfFyh-spNksUEohUXyuTjsewqsfljIMf2vxrIAYtq2Xg6Fo-3AwMq1sc/s400/d85e5bad61ecbb6ae8d312c3747da997.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5563832044367504626" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">‘Apa ini?’, kafe sedikit senyap. Di luar riuh mendekap.<br />‘Bukalah’<br />Amplop dibuka. Sepotong senja dikeluarkannya.<br />‘Dari mana?’<br />‘Tak penting’, gelas-gelas berdenting. <span style="font-style: italic;">Whisky-cola</span> bikin pening.<br />‘Aku harus tahu’<br />‘Untuk apa. Sekarang kau bisa memasangnya di sebelah jendela’<br />Mata perempuan curiga.<br />Lelaki menghela nafas, ‘Aku membelinya’<br />‘Beli? Di mana?’<br />‘Kota Tua’<br />‘Memang ada yang jual?’<br />Lelaki mengangkat bahu.<br />‘Kamu bohong’<br />‘Kenapa?’<br />‘Mana ada yang menjual senja?’<br />‘Buktinya? Kata penjualnya itu dulu milik Alina’<br />‘Alina? Siapa?’<br />‘Alina-nya Sukab’<br />‘Sukab?’<br />‘Seno Gumira’, lelaki menyulut rokoknya.<br />‘Kok bisa dijual di Kota Tua?’<br />‘Mana aku tahu?’<br />‘Kamu bohong ya?’<br />‘Lho?’<br />‘Coba pikir, mana mungkin sepotong senja yang begitu berharga bisa beredar di pasar? Apalagi pemberian orang yang istimewa’<br />Lelaki itu memesan bir dingin lagi.<br />‘Alina memang tak menginginkannya dari dulu’<br />‘Siapa bilang?’<br />‘Kamu <span style="font-style: italic;">ga</span> baca cerpennya ya?’<br />‘Cerpen yang mana?’<br /><span style="font-style: italic;">Ahhh.. Kenapa perempuan ini tak juga mulai mencoba menyukai fiksi dan imajinasi?</span><br />‘<a href="http://sukab.wordpress.com/2007/06/11/jawaban-alina/">Bacalah</a>. Alina sudah dari dulu mengaku. Dia tak menginginkan senja itu. Dia juga tidak mencintai Sukab. Menurut Alina, tindakan Sukab itu tolol dan kekanak-kanakan’<br />Perempuan menyulut rokok.<br />‘Sejak kapan kamu merokok?’<br />‘Sejak kamu mulai berbohong’<br /><span style="font-style: italic;">Gila! Perempuan ini memang selalu tak sama dengan lainnya!</span><br />‘Siapa tadi namanya?’<br />‘Yang mana?<br />‘Perempuan tadi?’<br />‘Perempuan?’<br />‘Ceweknya Sukab’<br />‘Mereka belum pernah jadian’<br />‘Iya. Siapa?’<br />‘Alina’<br />‘Oh ya. Semisal memang benar ini senja milik Alina, dan kau membelinya di Kota Tua, aku tetap tak mau menerimanya’<br />‘Lho?’<br />‘Lha lho lha lho!’<br />‘Katanya aku boleh melakukan apa saja untuk mendapatkannya?’<br />‘Siapa bilang?’<br />‘Kamu. <span style="font-style: italic;">Kalau perlu curi</span>, begitu katamu’<br />‘Mencuri itu tak sama dengan membeli’<br />‘Iya. Itu lebih baik’<br />‘Kata siapa? Kadang mencuri justru jauh lebih lelaki’<br /><span style="font-style: italic;">Dueng!!!</span> Menghadapi perempuan ini memang selalu butuh kamus lengkap yang memuat tigaribujutamilyar kata. Selalu saja ada yang tak sanggup diterjemahkannya.<br />‘Untuk mendapatkan sesuatu itu tak selalu harus dengan cara membeli. Apalagi meminta’<br />‘<span style="font-style: italic;">Trus</span> gimana dengan doa?’<br />‘Doa yang meminta itu bodoh. Doa itu seharusnya memberi’<br />Beruntung tak ada pisau di sekitar sini. Lelaki itu benar-benar ingin mengiris nadi. Untuk kemudian mati.<br />‘Aku ingin sepotong senja yang benar-benar kau potong sendiri’<br />‘Lho?’<br />‘Lho lagi!’<br />‘Kemarin mintanya <span style="font-style: italic;">ga</span> gitu?’<br />‘Oh ya?’<br />‘Iya’<br />‘Ok. Sekarang aku mintanya gitu’, asap pekat menggeliat.<br />Lampu jalanan mulai dinyalakan. Mobil-mobil merayap pelan. Macet yang jahanam.<br />‘Tapi aku benar-benar bukan penyair’<br />‘Lalu?’<br />‘Kan yang bisa memotong senja cuma penyair? Gimana <span style="font-style: italic;">sih</span>?’<br />‘Tapi kamu kan juga sering menulis puisi”<br />‘Memang’<br />‘Terus?’<br />‘Tapi itu di belakangmu’<br />‘Apa bedanya?’<br />‘Dengar’, lelaki mulai frustrasi, ‘Selama ini aku selalu kehilangan kata-kata jika di depanmu. Jangankan menjadi penyair. Bahkan untuk sekadar menjadi manusia-pun aku tak pernah benar-benar bisa’<br />Di barat senja melenyap. Jazz tua mendayu sekarat.<br /><br /><span style="font-style: italic;">...Come to me, my melancholy baby... Cuddle up and don't be blue... All your fears are foolish fancies, maybe... You know, honey, I'm in love with you... </span>*<br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Casablanca, 17 januari 2011</span><br />* <a href="http://www.youtube.com/watch?v=qKJi_X9WpHQ">My Melancholy Baby - Frank Sinatra</a><br />** Baca kisah sebelumnya di <a href="http://lintanglanang.blogspot.com/2010/12/semacam-dialog-dalam-sebuah-pertemuan.html">sini</a></span></div>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-26305806838558522912011-01-10T20:39:00.003+07:002011-01-10T20:48:47.735+07:00Yang Tersisa dari Keping-Keping Ingatan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWmDapB84Zxm1CbO1uF_2f7yTZS7nmpAeDM8_gXJMQUYSL88tlyuf3qnWeqwV5YunD38czEk8474RArSRKm-PJm2hFUfUStAjw98jXa0hvJ7oDPnKbRWYoprKp2hHW9x3ckUcQb62tN67_/s1600/3acf8ef2d8501ee4a5206bd6dd361f91.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 261px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWmDapB84Zxm1CbO1uF_2f7yTZS7nmpAeDM8_gXJMQUYSL88tlyuf3qnWeqwV5YunD38czEk8474RArSRKm-PJm2hFUfUStAjw98jXa0hvJ7oDPnKbRWYoprKp2hHW9x3ckUcQb62tN67_/s400/3acf8ef2d8501ee4a5206bd6dd361f91.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5560552630199145170" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Alarm ber-<span style="font-style: italic;">tulalit</span>. Bergetar-getar. Biru pucat berdenyar. Saatnya kerja. Cari uang katanya.<br />(<span style="font-style: italic;">Dia sedang apa ya? Sholat subuh? Ah, betapa tololnya aku. Sekarang tujuh tigapuluh. Dan dia tak se-kafir aku</span>)<br /><br />***<br /><br />Indomie dan pagi. Adakah yang lebih sempurna dibanding dua hal ini? Kawan-kawan seperjuangan. Pembicaraan tentang pekerjaan. Omong kosong tak berkesudahan.<br />‘Kau benar-benar tak merokok sekarang?’<br />Kugelengkan kepala.<br />‘Kenapa?’<br />‘Calon mertuaku tak tega anaknya jadi janda muda’<br />Lalu meledak tawa. Inilah kota gila. Asap <span style="font-style: italic;">bajaj</span> dan teh botol. Pagi indah yang selalu tolol.<br />(<span style="font-style: italic;">Apakah dia sedang sarapan juga? Indomie jugakah? Tak mungkin. Dia selalu bilang, ini tak sehat. Dia lebih suka makanan barat. Semacam spaghetti atau pizza hut</span>)<br /><br />***<br /><br />‘Ini milikmu?’, satu pertanyaan. Lantai empat kantorku.<br />‘Iya’<br />Buku tebal kado kawan-kawanku di kantor terdahulu.<br />‘Kathmandu? Ini mimpimu?’<br />‘Selalu. Cuma itu’<br />Seorang kawan masuk, ‘Mahalkah kesana?’<br />‘Entahlah. Tapi aku yakin aku bisa’<br />(<span style="font-style: italic;">...jika dengannya. Dan lagi, masih adakah keindahan yang bisa dinikmati tanpa dirinya?</span>)<br /><br />***<br /><br />‘Ini mas pesanannya’<br />Sepasang cincin di atas kaca. Dua ukuran berbeda. Ada namaku di salah satunya.<br />‘Nanti kalo <span style="font-style: italic;">ga</span> pas gimana ya, mbak?’<br />‘Kenapa <span style="font-style: italic;">ga</span> diajak aja, mas?’<br />‘Hmmm.. Saya pengen <span style="font-style: italic;">ngasih</span> dia kejutan. Tepat di ulang tahunnya minggu depan’<br />‘Mas-nya ini gondrong tapi romantis ya?’<br />Tak berlama-lama kubayar harganya. Sebelum perempuan itu lebih jauh menggoda.<br />(<span style="font-style: italic;">Tinggal seminggu lagi. Tiket kereta sudah kubeli kemarin pagi. Ah, kenapa aku jadi deg-degan?</span>)<br /><br />***<br /><br />‘Halo’<br />Ah, akhirnya diangkat juga.<br />‘Lagi di mana?’, pertanyaan wajib pertama.<br />‘Di kos aja’<br />‘Ohhh… Kok SMS<span style="font-style: italic;"> ga</span> dibales?’<br />‘Lagi<span style="font-style: italic;"> ga </span>ada pulsa’<br />‘Lha… Gajimu yang besar itu buat apa coba?’, mencoba bercanda.<br />Tapi hening. Ada sesuatu yang asing.<br />‘Kok lama <span style="font-style: italic;">ga</span> telepon?’, pertanyaan.<br />‘Hmmm… Aku pengen ngomong sesuatu?’<br />Ada yang tak biasa.<br />‘Apa?’<br />Tepat setelah itu, sebilah pisau tajam tiba-tiba merajam. Menusuk tepat di dada kiri. Sebelum sempat berteriak, pisau itu sudah ditarik lagi untuk bersarang di ulu hati. Terakhir kali, logam berkilat itu berakhir di pangkal tenggorokan. Memutus pangkal lidah yang terkulai lemah. Entahlah. Aku tak ingat apakah ketika itu ada darah. Tak sempat aku tanya, ‘Kenapa?’, dunia gelap seketika.<br /><br /><br /><br />***<br /><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Casablanca, 9 Januari 2011</span><br />* Foto karya Navid Baraty (dicuri dari <a href="http://www.photographyserved.com/gallery/Rain/549726">sini</a>)</span></div>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-54479652905095237212011-01-08T16:45:00.003+07:002011-01-08T16:50:52.583+07:00Muhammad – muhammad<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXAc5AAD5DsU4qpquK_v10BoYxN4PzHH7JRkXlLQv_rpKQtZ7zN9vBlW7hwh_1h5G4_BnyHyEUW92ZeQ1VDFosOfSJU88AFgbK2AhLIOA6E7_hHyHALf5QBlZamL7qfGNA_lKVLqv4KAcS/s1600/42afb13207f58d78018cf066b79b2798.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 266px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXAc5AAD5DsU4qpquK_v10BoYxN4PzHH7JRkXlLQv_rpKQtZ7zN9vBlW7hwh_1h5G4_BnyHyEUW92ZeQ1VDFosOfSJU88AFgbK2AhLIOA6E7_hHyHALf5QBlZamL7qfGNA_lKVLqv4KAcS/s400/42afb13207f58d78018cf066b79b2798.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5559750321744058530" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">‘<span style="font-style: italic;">Asu!!!</span>’, Muhammad membanting kartu. Wangi <span style="font-style: italic;">ciu</span> memburu. Sementara yang lain terbahak. Gelak menggelegak.<br />‘Mungkin memang belum rejekimu, Mad..’, lalu seteguk. Malam yang mabuk.<br />‘Iya, Mad.. Namanya saja hidup.. Ada yang menang pasti ada yang kalah..’, seorang kawan sok bijak. Sepasang cicak berdecak.<br />‘<span style="font-style: italic;">Cangkemmu!</span> Ini duit istriku! Besok makan apa coba?’, Muhammad setengah gila. <span style="font-style: italic;">Cleguk.. </span>otak beranak pinak. Alkohol bau menthol.<br />‘Lha tadi siapa yang ngajak maen kartu? Giliran kalah kok <span style="font-style: italic;">mecucu.</span>.’, tawa-tawa meledak. Muhammad menyambar sarung. Melangkah sambil terhuyung.<br />‘Lho, kemana? Ini <span style="font-style: italic;">tu</span> jadwal rondamu..’, Pak RT angkat suara.<br />‘<span style="font-style: italic;">Gathel!!</span> Aku mau <span style="font-style: italic;">ngeloni</span> Surti..’, Muhammad hilang. Kelam menerkam.<br /><br />***<br /><br /><span style="font-style: italic;">…See the stone set in your eyes... See the thorn twist in your side... I wait for you…</span><br /><a href="http://www.youtube.com/watch?v=XmSdTa9kaiQ">Bono</a> isi udara. Asap rokok merajalela.<br />‘Hidupmu tak cuma hari ini’, seorang kawan bicara.<br />Muhammad menenggak dari botolnya. Bir dingin yang ketiga, ‘Caranya yang tak bisa kulupa’<br />Kafe setengah gelap. Asap bikin pengap. Di luar gerimis. Tapi Muhammad tak merasa manis.<br />‘Sampai kapan kau akan begini?’<br />Muhammad meredup, ‘Sampai kapan kau akan hidup?’<br />Malam kian tenggelam. Luka lebam-lebam. Inikah jahanam?<br /><br />***<br /><br />Kotak itu bernama TV. Semua isinya<span style="font-style: italic;"> tai</span>. Seperti malam ini. Kuis SMS tolol presenter <span style="font-style: italic;">bahenol</span>.<br />‘Sudahlah, Yang…’, Adam berusaha meredam. Apartemen malam-malam.<br />Muhammad ingin menjerit. Hatinya sakit.<br />‘Sudah apanya?’, Muhammad menatap cowoknya, ‘Papah tau hubungan kita. Aku tak lagi dianggap anaknya’, mata menelaga. Setitik air tiba-tiba.<br />Adam diam saja. Memencet remote ala kadarnya. Siaran bola. Berita. Dialog politik tai kuda. Film Hollywood isi celana.<br />‘Kita ke luar negeri. Kita menikah di sana’<br />Muhammad berdiri. Menuju kamar mandi, ‘Itu solusi?’<br /><br />***<br /><br />‘Ceraikan aku’, Khadijah pelan.<br />Muhammad tercekat. Redup 10 watt menatap.<br />‘Kenapa?’<br />Gonggongan anjing di luar sana. Menelusup lewat jendela.<br />Khadijah menatap suaminya, ‘Kenapa? Cuma perempuan tolol yang rela dimadu’<br />Muhammad terkesiap, ‘Jaga mulutmu, Bu.. Kanjeng Nabi itu dulu..’<br />‘<span style="font-style: italic;">Tai asu</span>. Telan semua ayat-mu’, Khadijah memotong, ‘Ceraikan aku’<br />Di luar gelap melaknat. Perempuan memilih murtad.<br /><br /><br /><br /><span style="font-size:85%;"><br /><span style="font-style: italic;">Casablanca, 8 Januari 2011</span><br />* Foto karya Onetreeink (dicuri dari <a href="http://www.photographyserved.com/gallery/Feels-like-Home/808735">sini</a>)</span></div>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3055336215751368236.post-29180056089878381622011-01-04T17:14:00.002+07:002011-01-04T17:23:33.323+07:00Sinatra dan Kitab yang Takkan Pernah Selesai Dibaca<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPyU7X3TrkyqZeARfVuPy9NlAt5eN2c8leQlh8ZVRV46xzMJghVhy6lvDPJxJCoG5nv2QT1bMyy7tSBUajPiT_AbiC-hs-OmysupK1KkFKtOHhONr6hTG5HTdDLAaRzgFXYRD0F_FPW6ff/s1600/77689e9893c8a8cc01e781fb99f4f09b.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 267px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPyU7X3TrkyqZeARfVuPy9NlAt5eN2c8leQlh8ZVRV46xzMJghVhy6lvDPJxJCoG5nv2QT1bMyy7tSBUajPiT_AbiC-hs-OmysupK1KkFKtOHhONr6hTG5HTdDLAaRzgFXYRD0F_FPW6ff/s400/77689e9893c8a8cc01e781fb99f4f09b.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5558274278226043778" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Serak Sinatra di telinga. <span style="font-style: italic;">…And now, the end is near.. And so I face the final curtain.. My friends, I'll say it clear.. I'll state my case, of which I'm certain…</span> Tut tut tut.. Lagi-lagi. Tak kau angkat lagi.<br /><br />Ah. Malam makin hening sekarang. Angin tak lagi kencang. Tapi kenapa telpeonku tak kau angkat? Apakah di tempatmu; <span style="font-style: italic;">di manapun dirimu sekarang</span>; ada yang sedang sekarat? Semoga saja tidak. Karena ini kan hari Sabtu. Bukankah poliklinik rumah sakit negeri tak buka di akhir minggu?<br />‘Tapi UGD kan buka 24 jam?’, kubayangkan kau membantahku.<br />Ah iya, kau memang selalu lebih cerdas dibanding aku.<br /><br /><span style="font-style: italic;">By the way</span>, kenapa <a href="http://www.youtube.com/watch?v=Aht9hcDFyVw">My Way</a>? Tapi ah, sudahlah. Tak perlu kau jawab.<br />‘Lagu itu berarti bagiku’, pasti jawabanmu begitu. Seperti jawaban siapapun yang pernah mendengarnya dengan telinga dan jiwa. Sakral, kalau bahasaku begitu. Seperti adzan yang menelusup di awan yang bergumpal-gumpal.<br />‘Ha? Kau bandingkan Sinatra dengan muadzin?’, kau pasti seketika mencecarku. Dan sebelum aku sempat menjelaskan, kau pasti kembali menyerang, ‘Lirik lagu dan panggilan untuk sembahyang?’.<br />Dan kemudian kita akan terlibat sebuah perdebatan yang tak berujung. Mengutip dalil-dalil, petikan syair, filsuf ini, filsuf itu, ayat ini, kitab itu, dan ketika kita sama-sama lelah karena tak ada yang mau mengalah, kaupun berucap, ‘Gimana kalo secangkir kopi?’.<br />Dan selesai. Diskusi kita usai. Hanya ada wangi kopi dan Indomie yang membawa cerita-cerita dari negeri jauh tak bernama.<br /><br />Kau tahu, hening yang meng<span style="font-style: italic;">anjing</span> ini benar-benar bikin pusing. Apakah kau sedang mandi tadi? Tapi bukankah kau bisa mengirimkan sms, sekadar mengatakan hal itu kalau memang benar begitu? Atau kau tak mendengar hape-mu berdering? Ah, <span style="font-style: italic;">berdering</span>? Sepertinya kosakata itu sudah seharusnya tak dipakai lagi saat ini. Mungkin ada baiknya jika aku memilih kata ‘berbunyi’ atau ‘bersuara’. Bukankah hape sekarang tak lagi ber-kring kring kring? Tidak lagi seperti pesawat telepon era 70-an yang angka-angkanya harus diputar ketika kita ingin menghubungi seseorang di seberang, seperti yang sering kita lihat di film-film lawas James Bond dan Warkop DKI?<br /><br />Tapi sebentar. Jika tidak berdering kring kring kring, seperti apa bunyi hape-mu ketika aku berusaha menghubungi nomermu? Sinatra juga-kah? Ah, pasti iya. <a href="http://www.youtube.com/watch?v=5C5twY6f-rU">Fly Me to The Moon</a> pastinya. <span style="font-style: italic;">…Fly me to the moon… Let me play among the stars… Let me see what spring is like on a-Jupiter and Mars…</span> Karena aku tahu pasti, itu lagu favoritmu. Dari dulu. Ya ya ya… Terbang ke bulan. Gimana kira-kira rasanya? Sayang Louis Armstrong sudah mati. Jadi tak mungkin bisa ditanyai lagi.<br />‘Neil Armstrong!’, kau membantah.<br />‘Aaahhh, cuma beda dikit. Sama-sama Armstrong. Toh <a href="http://www.youtube.com/watch?v=8y3_kH9nYcA">What a Wonderful World</a> jauh lebih merdu dibanding cerita tentang heroisme astronot Amerika beserta Apollo 11-nya’.<br />Lalu kau tertawa. Dan seperti biasanya, sepasang cekung itu tiba-tiba ada tanpa aba-aba. (<span style="font-style: italic;">Asal kau tahu, aku menyukainya. Mengingatkanku akan lembah di dunia antah berantah dalam dongeng ibuku ketika aku masih kecil dulu. Tempat yang seringkali kuangankan ketika aku dipaksa tidur siang. Wangi rumput dan titik embun. Dulu di mimpiku. Sekarang di pipimu</span>)<br /><br />Tapi, siapa bisa memastikan kalau dering hape-mu memang Sinatra? Tapi bukan ST12 kan pastinya? Perempuan sepertimu tak mungkin berselera busuk seperti itu. Atau jangan-jangan kau pasang <span style="font-style: italic;">ringtone</span> khusus untuk menyaring telepon dari nomerku? Ah, betapa layak dikasihaninya diriku jika memang begitu. Dan lagi apa alasannya coba. Kau sedang tak ingin pusing-pusing berdiskusi denganku? Hmmm… mungkin saja. Banyak kawan-kawanku yang memilih cepat-cepat pulang ketika kami tengah berbincang.<br />‘Capek ngobrol denganmu’, katanya, ‘Bikin mati muda’.<br /><br />Ah, tapi tidak kok. Aku janji, tema pembicaraan kita nanti adalah sesuatu yang sangat sederhana. Aku janji tak akan ada perbincangan yang membuat kening kita berkerut <span style="font-style: italic;">mawut</span>. Tak ada obrolan tentang busuknya negeri ini, korup-nya orang-orang parlemen, jahanamnya belantara kota, terlebih, apa itu Tuhan, di mana kebenaran, dan tema-tema lainnya yang akan membuat wajah kita tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Kita hanya akan berbincang tentang: berapa harga sandal Swallow yang warna hijau di pasar baru, kenapa sekarang jarang ada orang membeli kaset bajakan, apa gambar seprai ranjang tidurmu waktu kecil dulu, kamu kalau memakai sepatu kanan dulu atau kiri dulu. Cuma tema-tema semacam itu.<br /><br />Atau mungkin kau memang sekadar benar-benar tak dengar. Tapi bukankah hapemu bisa bergetar? Jika kau taruh di atas meja, pasti hape itu akan bergerak-gerak dengan suara 'drdrdrdrdrdrdrdr' sambil berputar-putar.<br />‘Drdrdrdrdrdr?’, kau bertanya.<br />Dan aku cuma bisa garuk-garuk kepala. Iya ya? Suara getaran hape itu kalau ditulis gimana ya? Benarkah 'drdrdrdrdrdr'? Ah, apa yang kita dengar kadang memang tak selalu bisa kita visualkan. Suara orang tertawa misalnya. Kalau aku jujur saja lebih suka menulisnya 'hahahaha'. Atau 'hehehehe'. Tapi toh ada juga yang menuliskannya 'wkwkwkwkwk'. Bahkan 'xixixixixi. Haghaghaghag. Kekekekeke'. Lalu siapa yang benar coba? Aku? Mereka? Semua? Atau malah; <span style="font-style: italic;">jangan-jangan</span>; tak ada? Oh iya, lalu bagaimana suara getar hapemu itu ketika aku meneleponmu? Brrrrrrrrr? Ah, malah seperti orang kedinginan.<br /><br />Atau jangan-jangan hapemu tidak kau taruh di meja, tapi kau kantongi di saku celana? Lho, tapi bukankah dengan begitu getarannya justru terasa? Atau kau sedang di dalam bis kota? Ya ya ya, tak aman memang mengangkat hape di tempat umum seperti itu. Tapi kau mau kemana coba? Sekarang sudah jam 1. Tadi kutelpon dirimu jam 12.15. Pergi dinihari begini memang mau menjemput pagi? Bukankah jam-jam segini lebih nyaman jika kau rebahkan tubuhmu di ranjang? Memasrahkan hidup dalam kekuasaan malam?<br /><br />Apa mungkin memang kau sedang benar-benar tak ingin diganggu, karena asik <span style="font-style: italic;">chatting</span> dengan lelaki-mu. <span style="font-style: italic;">Yang mana</span>? Mana aku tahu. Aku bilang kan <span style="font-style: italic;">mungkin</span>. Yang namanya kemungkinan kan akan selalu ada di dunia, betapapun sedikit prosentasenya.<br />‘Kamu itu tak terlalu pintar ya?’, kubayangkan kau mendorong pelan dahiku.<br />Ya, mungkin memang aku yang terlalu bodoh untuk melakukan sesuatu yang lain.<br />‘Maksudnya?’<br />Ya, karena menurutku di dunia ini tak ada yang lebih mudah untuk dilakukan seorang pria, ketimbang jatuh cinta padamu.<br />‘Lho?’, wajahmu pasti bingung sesaat, untuk kemudian meledak terbahak, ‘Kamu mabuk?’, pasti pertanyaan itu.<br />Tapi, ah sudahlah. Tertawalah. Kau memang satu-satunya kitab yang tak akan pernah sanggup aku khatamkan. Bertemu denganmu membuatku tiba-tiba merasa sangat-sangat tua sekaligus kembali seperti remaja.<br /><br />Ah, pagi datang sebentar lagi. Tapi kenapa teleponku tak kau angkat tadi? Padahal ada konser Jazz bagus besok Minggu. Dan aku ingin mengajakmu.<br /><br /><br />***<br /><br />Lelaki itu selesai membaca kembali apa yang sudah ditulisnya. Kepulan asap rokok menari-nari di depan layar laptop. ‘Sedikit picisan’, menyesap kopi yang sudah lama dingin, ‘Tapi siapa tahu ada redaktur media bodoh yang mau memuat di koran-nya. Lumayan, untuk beli susu si Bumi’. Ah, Bumi? Lelaki itu beranjak dari kursi lalu menuju pintu warna biru. Di celahnya dia temukan seorang perempuan dan juga bidadari kecilnya pulas dalam pelukan impian.<br />‘Itu Bumi. Dan itu ibunya. Kitab yang sudah kuselesaikan bahkan ketika baru akan kubuka sampulnya’.<br />Lelaki itu menghampiri jendela yang terbuka. Gerimis di luar sama sekali tak berwarna. Hanya hitam yang terlihat kejam.<br />‘Tuhan, apakah ini airmata-Mu atau justru <span style="font-style: italic;">muncratan</span> liur-Mu? Kau sedang terluka atau justru terbahak di atas sana?’.<br />Sayup, bedug subuh ditabuh. Adzan berkejaran. Sinatra merayap pelan.<br /><span style="font-style: italic;">…<a href="http://www.youtube.com/watch?v=KIiUqfxFttM">That's life</a>, that's what all the people say… You're riding high in April, Shot down in May… But I know I'm gonna change that tune… When I'm back on top, back on top in June…</span><br /><br /><br /><br />***<br /><br /><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Casablanca, 3 Januari 2011</span><br />* Foto : Tatiana Mikhina</span></div>Sang Lintang Lananghttp://www.blogger.com/profile/13480779145934857943noreply@blogger.com0