Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Nurul dan Sejumlah Keganjilan*

Judul Buku: Semusim, dan Semusim Lagi
Penulis: Andina Dwifatma
Editor: Hetih Rusli
Isi: 232 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 8 April 2013

***
 
Satu hal yang ingin saya katakan di awal sebelum saya bicara panjang lebar: bahwa membaca novel Semusim, dan Semusim Lagi (selanjutnya akan disebut: Semusim) karya Andina Dwifatma mengingatkan saya pada banyak hal. Salah satunya adalah pada novel Misteri Soliter karya Jostein Gaarder. Memang tidak persis sama dan bahkan ada banyak hal yang berbeda, tapi kemunculan Sobron (ikan mas koki yang bisa bicara itu) membawa ingatan saya akan kartu-kartu remi yang hidup di novel tersebut. Setidaknya: ada semangat surealisme yang serupa.

Sementara di sisi lain, entah sebuah kebetulan atau memang sesuatu yang disengaja, alur pembuka Semusim ini juga memiliki kemiripan dengan novel Jostein yang lain, yaitu Dunia Sophie: di mana pada suatu hari seorang gadis remaja menerima sepucuk surat misterius. Jika di Dunia Sophie, sang gadis menerima sepucuk surat yang berisikan sebuah pertanyaan, “Siapa kamu?” sementara tokoh di Semusim menerima sepucuk surat dari seseorang yang mengaku sebagai ayahnya.

Adegan di rumah sakit jiwa juga mengingatkan saya pada novel Veronika Decides to Die karya Paulo Coelho, di mana sang tokoh utama diberi berbagai macam obat yang tak perlu hingga keadaannya justru semakin memburuk dan pada suatu ketika melihat pasien lain yang sedang disetrum oleh petugas.

Lalu, apa yang salah? Tidak ada. Saya cuma mau bilang, bahwa novel ini mengingatkan saya pada banyak hal, termasuk pada seorang kawan sekelas saya waktu SMA yang gemar menyendiri dan tak suka bergaul dengan banyak orang. Ketika itu, sementara gadis-gadis lain suka membaca majalah remaja semacam Aneka Yess! atau Kawanku, kawan perempuan saya itu lebih suka membaca majalah Misteri dan Liberty. Mungkin, dia memang tidak benar-benar memiliki masalah kejiwaan seperti tokoh ‘aku’ di novel Semusim, tapi setidaknya (saat itu) saya dan kawan-kawan yang lain menganggapnya begitu. Untuk itulah, mulai dari sekarang, saya (secara semena-mena dan tanpa persetujuan penulis) akan menyebut tokoh ‘aku’ dengan nama kawan saya itu: Nurul.

Tentu saja tindakan kurang ajar ini boleh digugat. Namun, saya terinspirasi sang tokoh ‘aku’ di novel Semusim yang gemar mengganti nama orang lain yang dirasanya kurang menarik atau menyematkan nama sesukanya ke orang yang tidak dia kenal. Lihat saja bagaimana dia menyebut ayahnya sebagai ‘Joe’, hanya karena nama sang ayah ternyata tidak sekeren yang dia bayangkan, sementara semua lelaki hebat dan keren yang diketahuinya (pasti) bernama Joe (hlm. 58). Juga, bagaimana dia menyebut seorang polisi wanita dengan nama ‘Maria’, karena perempuan itu memiliki wajah sedih seperti ibu yang anaknya disalib orang (hlm. 146). Toh, kata Barthes: ketika sebuah teks terlahir, maka sang pengarang sudah ‘mati’, bukan?

Secara garis besar, ide dasar novel Semusim ini terbilang sederhana: yaitu tentang kondisi kejiwaan seorang remaja perempuan yang tak pernah mengenal ayahnya sejak kecil. Namun, berkat kepiawaian penulis dalam bertutur dan memainkan alur, ide dasar yang sebenarnya sederhana itu menjelma sebuah kisah yang menarik dan lumayan menyenangkan untuk diikuti.

Diceritakan di novel Semusim, saat mempersiapkan diri untuk memulai kuliah di jurusan Sejarah di sebuah universitas swasta, Nurul menerima sebuah surat dari seseorang yang mengaku sebagai ayahnya. Memenuhi undangan sang ayah, dia meninggalkan rumah ibunya untuk kemudian tinggal di sebuah rumah yang dipersiapkan ayahnya di kota S. Di kota tersebut, Nurul bertemu sejumlah hal baru yang mengubah hidupnya, mulai dari jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan seorang mahasiswa bernama Muara, hingga bertemu seekor ikan mas koki yang bisa bicara.

Secara asyik, Andina memasukkan fakta-fakta di dunia nyata yang jarang diketahui orang menjadi bagian dari isi cerita. Lihat saja halaman 24 yang membahas tentang larangan berambut gondrong bagi para lelaki yang pernah diberlakukan pemerintah Indonesia pada tahun ‘70-an. Juga, bagaimana Andina menyisipkan referensi tentang buku atau musik bagus di dalam kisahnya. Menurut saya, itu menyenangkan, tapi seperti hal-hal lain yang ada di dunia: tak ada kesenangan yang sempurna.

Novel dan pembacanya ibarat sepasang kekasih yang menjalin hubungan cinta. Dalam sebuah hubungan, satu atau dua kesalahan kecil tentu bisa dimaklumi dan bahkan dianggap sebagai semacam bumbu penyedap. Namun, jika kesalahan-kesalahan kecil itu muncul terlalu sering, tentu saja tak sehat untuk masa depan kedua belah pihak. Begitu juga yang terjadi ketika saya membaca novel Semusim ini.

Sebelum bicara lebih lanjut, mungkin perlu dijelaskan bahwa apa yang saya sampaikan sama sekali bukan didasari keinginan untuk mencari-cari kesalahan. Bahwa semua yang nanti akan saya kemukakan adalah murni apa yang saya temukan. Saya harap kita semua bisa bersepakat, bahwa mencari dan menemukan adalah dua proses yang sama sekali berbeda.

Di halaman 42, Andina menulis:

Satu hal paling lucu tentang orang dewasa adalah: kau bisa mengatakan hal paling konyol atau kebohongan paling musykil dan mereka tidak akan tertawa, bahkan memercayai apa yang kau katakan, selama kau bicara dengan gaya yang teramat meyakinkan.

Tokoh Nurul di novel ini mungkin benar, tapi sepertinya justru Andina yang lupa: bahwa yang memiliki sifat ‘lucu’ semacam itu sesungguhnya bukan hanya ‘orang dewasa’, tapi juga ‘pembaca’. Sebagai penulis, siapa pun punya hak mutlak untuk berbohong sesuka hati, asalkan ia tampil meyakinkan. Salah satu contoh penggambaran yang tidak meyakinkan adalah yang tertulis di halaman 43, di mana Nurul menceritakan bagaimana pertemuan pertamanya dengan JJ Henri, seorang karyawan sekaligus kawan dekat sang ayah:

Mobil yang dikendarai JJ Henri adalah Peugeot berwarna biru tua. Aku selalu suka mobil Peugeot karena mungil dan punya lampu depan seperti mata binatang, sehingga dengan plat mobil yang terletak di tengah-tengah bemper, ia seperti kumbang besar yang sedang nyengir.

Begini. Penulis kisah fiksi itu tak ubahnya tukang kibul. Ia boleh ngibul sesuka hati dengan menceritakan kisah yang paling absurd atau paling surealis, tapi (sekali lagi) intinya hanya satu: ia harus tetap meyakinkan, agar pembaca-pembacanya tersihir dan percaya dengan kibulannya. Sementara itu, yang saya temukan dalam kalimat-kalimat yang saya kutip tadi, tidak mencerminkan teori itu.

Sebagai produsen mobil, Peugeot berdiri sejak 1882 di Prancis. Sejak kelahirannya, tentu sudah berbagai jenis dan model mobil ini yang dilempar ke pasaran. Karena itu, jujur saja saya sedikit bingung: mobil Peugeot jenis apa yang sesungguhnya dikendarai JJ Henri—yang konon ‘mungil dan punya lampu depan seperti mata binatang’? Kebetulan saya bukan penggemar otomotif dan satu-satunya mobil Peugeot yang pernah saya tebengi adalah Peugeot 305 milik seorang kawan, yang menurut saya tidak lebih mungil jika dibanding mobil-mobil merek lain. Bahkan ketika saya nekat mencari-cari referensi di Google, ternyata saya tidak pernah menemukan alasan bahwa ‘sepasang lampu depan mobil Peugeot lebih tampak menyerupai mata binatang’ atau ‘lebih tampak seperti kumbang yang sedang nyengir’ dibanding mobil lain.

Tentu saja sebenarnya hal ini bisa diselamatkan andai Andina lebih detail dan spesifik dalam menyebut jenis dan tipe mobil yang dimaksud, atau memilih jenis mobil lain yang lebih memiliki karakter khas, seperti Cooper atau Morris yang memang berukuran mungil, atau Mercedes-Benz SLS AMG yang memiliki pintu layaknya sepasang sayap rajawali. Namun, tidak. Andina memilih mobil Peugeot berwarna biru tua. Itu saja.

Mungkin hal ini memang terdengar remeh dan sederhana. Namun, wajib diingat, bahwa tugas seorang penulis adalah terus-terusan memikat hati pembaca. Seorang pembaca punya kewenangan mutlak. Begitu dia merasa kecewa dan sadar sedang dikibuli dengan cara yang tidak meyakinkan, selalu terbuka kemungkinan dia akan menutup buku dan tak melanjutkan proses pembacaan. Padahal, kita sama-sama tahu, tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang penulis ketimbang sebuah karya yang tidak dibaca habis.

Menulislah buruk, lalu jadikan bagus saat proses penyuntingan. Saya pernah mendengar petuah ini dari seorang penulis handal (yang tidak saya ingat namanya). Jika kita pernah berusaha melahirkan sebuah karya tulisan, kita akan tahu bahwa ini adalah petuah yang sungguh bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ketika kita sudah berniat untuk melahirkan sebuah tulisan bagus sejak awal mulai menulis, hampir bisa dipastikan bahwa tulisan bagus yang kita gadang-gadang itu hanya akan berhenti di pikiran dan tak akan pernah tercipta. Sebaliknya, jika kita nekat menulis tanpa pernah benar-benar memikirkan baik atau buruk, tulisan itu akan sungguh-sungguh bisa dibaca (meski mungkin buruk) dan selanjutnya bisa diperbaiki menjadi tulisan bagus (dengan penyuntingan yang bisa saja dilakukan berkali-kali). Lalu, kapan sebuah proses penyuntingan itu harus dihentikan? Adalah saat segala sesuatunya sudah tampak sempurna dan tak ada lagi celah yang bisa membuat pembaca tak yakin akan kisah yang kita ceritakan.

Secara membabi buta saya menuduh bahwa Andina memiliki masalah dengan persoalan kapan seharusnya berhenti menyunting, hingga akhirnya hal-hal remeh yang seharusnya bisa diperbaiki hanya dengan menambahkan atau menghapus atau mengganti satu kata dengan kata lainnya, justru menjadi pengganggu yang tak perlu. Salah satu contohnya adalah yang tertulis di halaman 44:

Setelah meletakkan tas punggung di jok belakang dengan hati-hati, aku duduk di kursi penumpang dan memasang sabuk pengaman. JJ Henri memasukkan sekeping CD dalam stereo mobilnya. Sebentar kemudian terdengar alunan musik blues dan seorang kulit hitam menyanyi dengan nada memilukan:

Beberapa tahun lalu, sempat muncul kontroversi terkait metode aktivasi otak tengah, sebuah pelatihan berbiaya mahal yang dikhususkan bagi anak-anak kaum mampu. Dalam pelatihan yang belakangan terbukti penuh tipuan itu, anak-anak diajari teknik mencium warna: sebuah ilmu tingkat tinggi yang konon diadopsi dari kemampuan lumba-lumba (yang sebenarnya andaikan benar-benar bisa dipelajari manusia, tak pernah saya pahami apa fungsinya di kehidupan nyata). Dengan mata tertutup, sang anak yang sudah diaktifkan kemampuan otak tengahnya (yang konon secara medis, ‘otak tengah’ sendiri juga sekadar mitos) diharuskan bisa menyebutkan warna dari sebuah kertas yang ditempelkan di depan hidungnya. Dan rupanya, si Nurul di novel ini juga memiliki kemampuan yang kurang lebih sama: melihat suara. Dia bisa tahu apakah seorang penyanyi itu berkulit hitam atau tidak hitam hanya dengan mendengar suaranya. Mungkin saja hal ini bisa dibantah dengan pernyataan bahwa: mayoritas penyanyi blues adalah berkulit hitam atau orang kulit hitam punya karakter suara yang khas. Namun, tentu saja bantahan itu hanya sia-sia belaka.

Sebenarnya saya memiliki sekian catatan tentang hal remeh-temeh yang bisa saya permasalahkan di sini. Salah satunya adalah inkonsistensi kondisi sel di kantor polisi yang sempit berjeruji dan berisi sejumlah benda, termasuk di antaranya kasur tipis dan bantal yang belum-belum sudah menguarkan bau apak (hlm. 151). Sebuah kasur tipis, ditulis begitu. Namun, tanpa diduga, dalam penjelasan-penjelasan sesudahnya (salah satunya di hlm. 158), disebut bahwa di dalam sel itu ada sebuah dipan (benda yang tidak pernah ada dalam penjelasan sebelumnya).

Belum lagi perkara metafora yang terkadang terdengar berlebihan. Lihat saja yang tertulis di halaman 107:

Kepalaku berat dan mataku berkunang-kunang. Rasanya seperti ada rombongan gajah berlari-lari di dahiku.

Atau yang tertulis di halaman 116:

Kepalaku terasa sakit seperti ditusuk-tusuk dengan garpu panas.

Bahwa tak pernah ada batasan yang pasti terkait pemakaian metafora, itu benar. Dan mungkin banyak di antara kita yang pernah merasakan pening yang sungguh keterlaluan. Namun, menurut saya, dahi yang diinjak-injak sekumpulan gajah atau kepala yang ditusuk-tusuk dengan garpu panas sepertinya bukan perumpamaan yang tepat untuk kondisi sakit kepala (dan bahkan terdengar agak terlalu mengerikan). Namun, tentu saja saya tidak akan berlarut-larut dengan mengetengahkan kesalahan-kesalahan kecil semacam itu. Sekali lagi, saya tidak mau disebut-sebut sedang mencari-cari kesalahan orang lain: meski, jujur saja, saya sebenarnya mendapatkan sedikit kebahagiaan ketika melakukan itu.

Beruntung, kesalahan-kesalahan remeh itu diselamatkan dengan cara bertutur yang asyik. Andina sudah tidak memiliki masalah dengan hal teknik bercerita atau mengatur alur. Hal itu cukup membantu, membuat saya sebagai pembaca tak begitu menganggap serius kesalahan-kesalahan kecil yang sudah saya sebutkan tadi. Meski begitu, menurut saya ada satu lubang besar hingga agak sulit untuk ditambal dengan apa pun, yaitu penokohan sang tokoh utama sendiri.

Nurul di novel ini adalah seorang gadis berusia 17 tahun yang sejak kecil memendam banyak tanda tanya di otaknya. Disebutkan bahwa dia adalah seseorang yang begitu ingin tahu tentang sejarah benda-benda dan awal mula segala sesuatu. Konon, ada sesuatu tentang sejarah yang selalu menarik minatnya (yang akhirnya membawanya untuk mendaftar ke jurusan Sejarah di sebuah universitas swasta). Ketika kecil, setiap kali menemukan benda-benda baru, maka yang akan muncul pertama di otaknya adalah: siapa yang pertama kali menemukan dan memberinya nama?

Seperti yang dia ungkapkan di halaman 10, bagaimana ketika dia berkenalan dengan benda bulat dengan gagang di pinggirnya dan bisa dipakai untuk minum (yang kemudian dia kenal sebagai gelas), maka yang muncul di otaknya adalah: siapa yang pertama kali memiliki ide untuk membuat gelas dan bagaimana ide itu datang? (Sekadar catatan: sebenarnya saya lebih mengenal alat minum yang disebut tadi, yang konon ada gagangnya itu, sebagai cangkir. Namun, sudahlah, mungkin Nurul dan saya memang dibesarkan dalam dua budaya yang sama sekali berbeda.) Juga, bagaimana Nurul kecil yang tak begitu berminat ketika diajak bermain petak umpet. Menurutnya petak umpet itu sia-sia semata, sebelum kita mengetahui siapa yang pertama kali memiliki ide tentang permainan tersebut.

Nah, di sinilah saya menemukan sebuah lubang yang agak mengganggu. Adalah sesuatu yang menarik bagi saya, ketika ada seseorang yang demikian kritis dan dipenuhi rasa ingin tahu tentang sejarah benda-benda dan awal mula segala sesuatu, tetapi di sisi lain justru abai terhadap sejarahnya sendiri. Di halaman 20 dikatakan:

Seumur hidup aku hanya tinggal bersama ibuku, berpura-pura bahwa kata ‘Ayah’, ‘Bapak’, dan sejenisnya tidak ada dalam kamus, dan aku merasa baik-baik saja.’

Seperti yang saya bilang, ini adalah sesuatu yang menarik (atau lebih tepatnya: janggal).

Descartes pernah bilang: cogito, ergo sum—aku berpikir, maka aku ada. Gagasan tentang aku-diri-ego itu jugalah yang melandasi ajaran Buddha tentang vipassanā, praktik menyadari pikiran untuk mencapai kondisi lepas dari penderitaan-annata-tanpa aku. Artinya adalah, bahwa sesungguhnya eksistensi diri itu berangkat dari pikiran. Segala sesuatu itu menjadi ‘ada’ ketika pikiran bergerak, dan sebaliknya: menjadi ‘tidak ada’ ketika pikiran berhenti. Ketika pikiran manusia mulai bergerak, maka yang kali pertama muncul adalah konsep ‘aku’—untuk kemudian membuat sebuah dinding tinggi yang membatasinya dengan ‘bukan aku’. Seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri, ‘aku’ yang lahir dari pikiran itu membuat sebuah pertanyaan pertama dan utama: siapa aku—dari mana kemunculanku? Hal ini bisa dibilang sebagai pikiran yang mempertanyakan pikiran. Untuk itulah, adalah sesuatu yang agak ganjil ketika tokoh Nurul bersedia repot-repot mempertanyakan sejarah benda-benda dan hal remeh yang ‘bukan aku’ semacam gelas dan permainan petak umpet, tetapi di lain sisi justru sama sekali tak mempertanyakan tentang ‘aku’: siapa sebenarnya ayahku, atau pertanyaan yang lebih besar: dari mana kemunculanku?

Apakah Nurul seorang religius atau tidak religius itu bukan sesuatu yang penting untuk dijawab. Yang jadi pertanyaan adalah: bagaimana bisa seorang Nurul yang terlahir dengan kapasitas otak berlebih untuk mempertanyakan asal muasal segala hal, justru sama sekali tidak mempertanyakan asal muasal tentang keberadaan dirinya sebagai manusia. Di halaman 187 hanya dijelaskan secara singkat, bagaimana Nurul cuma menggeleng ketika ditanya apa agamanya dan mengatakan bahwa ibunya tak pernah mengajarinya tentang Tuhan sehingga dia hanya belajar sendiri dari kitab suci. Tak ada penjelasan lebih lanjut tentang fase itu—tak ada bocoran kenapa dia akhirnya hanya percaya Tuhan kadang-kadang. Di titik inilah, saya merasakan suatu ketidakwajaran yang lumayan mengganggu.

Sejumlah pertanyaan yang sepertinya akan lebih baik jika dijawab ternyata juga dibiarkan mengambang begitu saja hingga akhir cerita. Alasan kenapa ayah dan ibu tokoh Nurul berpisah, misalnya. Atau berapa sebenarnya usia Nurul ketika Joe meninggalkannya? Tiga bulan atau 1,5 tahun? Lalu, apa hubungan novel ini dengan puisi Surat Kertas Hijau karya Sitor Situmorang yang ditulis di sampul belakang?

Jika ada yang bertanya kepada saya tentang novel ini, saya akan menjawabnya secara jujur: saya suka (meski sebenarnya tak pernah benar-benar membuat saya jatuh cinta). Ibarat sebuah bangunan rumah, novel ini dibuat dari bahan-bahan yang bermutu, dengan teknik pengerjaan yang mumpuni, dan desain yang indah. Namun, sayang, ada kekurangtelitian yang menyebabkan sejumlah paku masih menonjol di beberapa bagian sementara beberapa bagian lainnya justru lupa untuk dipaku. Cat yang kurang rata dan berlepotan juga tampak di beberapa sudut kamar, sementara ruangan utama yang seharusnya diberi jendela yang cukup lebar justru hanya diberi ventilasi kecil, hingga akhirnya agak terlalu gelap dan pengap. Namun, secara keseluruhan, rumah ini lumayan menyenangkan untuk dihuni. Sekarang masalahnya, tinggal bagaimana kita pintar-pintar memilih kawan serumah. Begitu saja.


Rawamangun, 29 September 2014

*Ditulis sebagai pemantik diskusi novel “Semusim, dan Semusim Lagi” karya Andina Dwifatma yang digelar oleh Para Penggerutu, Sarekat Pembenci Karya Buruk, dan Jumpa Lagi Book Club pada 30 September 2014.

Taiisme



Gombal mukiyo!’, kawan saya muntab. Seorang ibu muda yang berprofesi sebagai abdi negara di salah satu departemen milik negeri ini. Baru beberapa bulan yang lalu dia manak (baca: melahirkan anak). Seorang anak lelaki yang (konon kalo disimpulkan dari status-status heboh di akun jejaring sosialnya) cukup lucu.

Begini ceritanya. Siang tadi dia mengantar anak pertamanya itu untuk imunisasi. Dan tak lama setelah itu di beranda akun FB-nya dia menemukan link sebuah artikel yang diposting seorang teman, Imunisasi = Tipu Muslihat Yahudi Menghancurkan Umat Lain. Sebuah artikel sampah dari seseorang yang (merasa) kalah.

Sebenarnya bukan isi artikel copas dari kaskus itu yang bikin kawan saya ngamuk-ngamuk. Tapi siapa yang memposting link itu. Temannya kawan saya itu juga PNS. Begitu juga suaminya. Dan konon keduanya adalah anggota (atau minimal simpatisan) dari satu organisasi multinasional yang setiap hari menggembar-gemborkan jaman keemasan kekhalifahan dan sangat anti terhadap apapun yang berbau demokrasi (baca: HTI).

Di titik inilah penonton mulai tergelak. Seseorang yang tiap hari tak henti menghujat demokrasi sebagai tai, tapi membelikan susu anaknya, membeli sabun untuk mencuci pakaiannya, membeli mie ayam, celana dalam, daster dan menghidupi segala keperluan keluarganya dari gaji bulanan sebagai seorang abdi dari negara yang (secara de jure) menjunjung tinggi azas demokrasi? Lha ini namanya what the hell atau what the fuck?

Di jaman kini, ideologi menjadi sesuatu yang tak penting lagi. Begitu kata seorang kawan. Tak heran, di jalanan bisa saja kita melihat seorang penjual bakso mengenakan kaos PDIP sementara di gerobaknya tertempel stiker PKS & Golkar. Sesuatu yang sepertinya sulit kita temukan di masyarakat politik yang masih menjunjung tinggi arti ideologi seperti Thailand, misalnya. Atau mungkin juga di Indonesia dekade 60-an. Sebuah masa di mana ideologi bukanlah sesuatu yang main-main. Di mana kiri adalah berarti kiri. Kanan adalah kanan. Komunis, nasionalis atau agamis.

Tahun 65 saya belum ada. Tapi dari yang bisa kita baca dari catatan-catatan yang ada (catatan Gie salah satunya), ketika itu masing-masing mahasiswa (atau rakyat pada umumnya) benar-benar menyadari perannya sebagai agen politik dari ideologi yang mereka imani. Tapi sekarang? Tai kuda dengan itu semua. Ideologi-ideologi besar sudah pecah tak tentu arah. Terlalu banyak varian. Sementara masyarakat juga semakin pragmatis. Seseorang yang mengenakan kaos PKS di jalanan belum tentu mengimani ide-ide yang diusung partai itu.

Lalu jika kondisinya seperti ini, sebenarnya pihak mana yang bisa dikatakan menang? Entahlah. Yang jelas, pada akhirnya kita memang akan kembali pada hukum yang biasa. Mulut bisa saja mengaku Agamis. Bahkan Komunis. Tapi perut tetap saja Kapitalis. Begitu..

***

Casablanca, 3 Juli 2011

Indonesia dan Hal-Hal Tak Dewasa yang Menyertainya


3-0 untuk Malaysia. Indonesia teriak seketika. Bla bla bla bla bla bla!!! Laser-lah, serbuk gatal-lah, petasan beracun-lah, tai kuda-lah.. Banyak yang menyumpah. Serapah-serapah. Sampah.

Dalam pertandingan, peperangan, pertempuran, kejuaraan dan bahkan dalam hidup, konsekuensinya itu cuma dua. Kalo tidak kalah ya menang. Kalo tak siap menghadapi salah satunya, buat apa maju ke lapangan?
‘Lha tapi kan bisa juga seri?’
‘Lha opo sampeyan sufi?’
Yang bisa seri dalam kehidupan itu cuma segelintir orang yang benar-benar tercerahkan. Budha, Jalaluddin Rumi, Siti Jenar dan mereka-mereka yang mampu mengeja kata Tuhan dengan benar. Masa kita yang ngakunya manusiawi tapi seringkali mengedepankan naluri ini mau akhir pertandingan yang seri? Tai.

Mencari kambing hitam itu paling gampang. Tak perlu keluar duit dan tenaga, tinggal pilih mana yang layak dipersalahkan, tunjuk, selesai. Indonesia kalah, harusnya sudah. Namanya juga permainan. Tapi wong ya sudah tradisi, tak afdol rasanya kalo tidak mendayu-dayu sendu menyanyikan lagunya Exist, mencari sebab serta mencari alasan... Mencari-cari apa yang bisa disalahkan.

Trus kalo masyarakat kita tidak pernah mau belajar untuk menjadi ksatria dan menerima kekalahan dengan lapang dada, apa ya mungkin Indonesia akan bisa menjadi pemain yang diperhitungkan di dunia? Kedengarannya kok utopis ya? Tiba-tiba saya ingat Jepang. Seppuku. Harakiri. Sebuah tindakan berani untuk mempertahankan harga diri. Masyarakat kita mana berani? Jangankan mati. Mengaku kalah dan salah saja tak pernah. Coba, kapan kita dengar permintaan maaf atas kasus HAM di Aceh, Papua, penjajahan Timtim, pembunuhan Munir, hilangnya Wiji Thukul, pembantaian ’65, dan sebagainya-dan sebagainya.

‘Kamu itu ga nasionalis ya? Yang lain itu mati-matian membela Timnas kita!’, seorang kawan bicara.
Dan saya cuma tertawa. Bagi saya nasionalisme itu cukup sederhana. Yaitu jauh-jauh merantau ke Jakarta, melepaskan semua kenyamanan kampung halaman untuk memasrahkan diri pada kebusukan asap knalpot ibukota dan keruwetan jalanan yang jahanam, agar saya bisa membuat ibu saya di rumah tersenyum bangga, bisa punya uang untuk membawanya berobat ke rumah sakit, dan bisa memperbaiki rumah milik keluarga. Bukan jauh-jauh datang ke Jakarta untuk antri tiket di Stadion GBK dan ketika tak kebagian ngamuk-ngamuk, mengeroyok salah satu panitia yang tidak tahu apa-apa yang cuma berusaha nyari duit buat anak istrinya, terus mendobrak pintu stadion lalu merusak apa-apa yang ada di depannya.

Bukan pula sekedar ngopi di sudut taman budaya, sibuk berretorika, ngalor ngidul berwacana, berdialektika tai kuda, menyalahkan pemerintahan yang memang sudah tak terselamatkan atas semua keruwetan, lalu klepas klepus menghisap Dji Sam Soe sampai mampus. Bukan juga cuma duduk diam di depan layar TV, mengkritisi segala isi berita atas semakin parahnya dunia, merasa seakan-akan semua beban dunia ditimpakan Tuhan di pundaknya, lalu berkicau di Twitter, Facebook, dan jejaring sosial di dunia maya yang lainnya, mengomentari semua yang ada tapi tak pernah ada usaha apa-apa demi memperjuangkan kehidupan yang lebih baik; bahkan untuk dirinya sendiri; tiap hari cuma sibuk mengkritik sampai jadi trending topic. Jangkrik.
‘Nasionalisme itu gerakan, Bung... Bukan sekedar filsafat…’

Natal kemarin saya dipaksa malu mengaku Islam oleh statement MUI dan segelintir umat yang meneriaki sebuah Misa Natal yang saya saksikan di layar TV. Dan sekarang saya dipaksa malu (lagi) untuk mengaku sebagai orang Indonesia gara-gara ketidakksatriaan kita atas kekalahan. Njuk piye? Apa saya harus ganti agama dan pindah warga negara sekarang juga? Entahlah. Satu-satunya pikiran menyenangkan adalah membayangkan kalo Anarki Nusantara-nya ES Ito itu benar-benar nyata dan meluluhlantakkan semua yang ada. Anarki. Tak ada hierarki. Tak ada apa-apa. Cuma manusia. Bukankah daripada menjadi tua tapi tak dewasa lebih baik menjadi bayi lagi? Jika kecewa dan terluka tinggal meratap, ‘Yaowooohhh… Ampuni kami yaowoooohhhh….’. Ah sudahlah. Sudah pagi. Waktunya tahajud, minum bir dingin dan Tolak Angin.



***


Casablanca, 27 Desember 2010

Tentang Natal dan Ulama-Ulama Bebal



...Klo bikin status tu g usah yg mslh agama,jjr aj aq sbg orang muslim ngrasa tersinggung ma status n komen temenmu tentang adzan subuh...


Duengggg!!! Sebuah pesan dari seorang kawan. Siang-siang. Dan saya cuma garuk-garuk kepala. Kok bisa ya?

Sebelumnya saya memang nulis sebuah status di akun FB,

...Kalo simbol Natal di mall2 dianggap berlebihan, trus gimana dengan simbol2 Lebaran? Ulama kok bodoh...
(Kalo ga bodoh ya ga jadi ulama)

Lalu sebuah komentar singgah,

...kalo suara lagu puji-pujian di HKBP itu berisik, trus gimana dg suara puji-pujian dan adzan di subuh buta? (toleransi itu bukan telo yg tinggal dikunyah trus tercerna dg sendirinya di perut, nggak usah pake mikir) :P...

Dan selang sekian detik, pesan itu mampir di inbox saya.

Facebook itu ranah publik. Apa yang kita tulis di situ nantinya tidak hanya dibaca orang-orang yang kita tuju. Tapi semua. Dunia. Saya cukup paham hal itu. Karena itulah, seseorang harus siap mempertanggungjawabkan apapun yang dilakukan di situ kepada massa. Begitu juga halnya dengan saya. Karena sebagai manusia yang syukur alhamdulillah punya otak (meski kecil dan sudah mulai berkeriput), saya berusaha untuk tak pernah lupa melakukan filterisasi sebelum mengungkapkan sesuatu di situ.

...silahkan tersinggung. itu hak anda. dan tidak usah terlalu repot mendikte apa yang harus saya lakukan. terima kasih...

Kita manusia merdeka. Sejak lahir ceprot manusia sudah diikat norma-norma dan segala sesuatu yang membelenggu. Saya pikir tak ada gunanya menambah belenggu itu. Kawan saya berhak tersinggung dengan kalimat saya. Seperti halnya saya yang juga berhak tersinggung dengan ulah Noordin N. Tot dan jaringannya yang hobi membunuh orang-orang tak berdosa dan membuat banyak umat Islam yang memilih menundukkan kepala sambil bergumam pelan, ‘Islam’, ketika ditanya apa agamanya. Malu mengakui ajaran nabi yang dipercayai? Sungguh tai.

Semua berawal dari Natal dan MUI. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba lembaga tertinggi umat Islam ini mengeluarkan statement konyol bin tolol.

...Simbol-simbol Natal di beberapa mal, hotel, tempat rekreasi, dan tempat-tempat bisnis lainnya itu berlebihan, dan kepada para pengelolanya agar arif dan peka menjaga perasaan umat beragama...

Sekali lagi kumpulan ulama ini berpikiran seperti anak TK. Yang takut dan curiga akan ada anak lain yang merebut permen miliknya. Mungkin saya tak akan peduli kalo yang bicara seperti ini Om Rizieq pimpinan preman-preman bersurban itu. Tapi ini MUI. Majelis Ulama Indonesia. Lembaga tertinggi umat Islam yang (harusnya) suci?

Coba bayangkan, betapa bodohnya masyarakat kita jika para kyai haji ini menganggap bahwa umat di negeri ini merasa terganggu dengan Santa Claus dan pohon cemara sintetis yang berkeliaran di mall-mall dan pusat perbelanjaan? Kenapa sih mereka tak pernah angkat suara untuk membahas keberadaan terorisme di tubuh Islam tapi malah sibuk main haram-haraman? Bahkan mengurusi perayaan umat agama lain? Jika memang berpikir cerdas dan mencoba adil, kenapa mereka diam saja ketika tiap Ramadhan tiba stasiun TV kita gila-gilaan mengeksplorasinya? Ustadz-ustadz ganteng berkeliaran, gambar-gambar ketupat berseliweran, musik timur tengah riuh gaduh, band menye-menye keluarkan album religi, dan sebagainya dan sebagainya. Belum lagi diskon belanja gede-gedean yang menggiurkan, memaksa masyarakat kita memasrahkan diri dalam karnaval akbar bernama kapitalisme global. What the hell, Mr. Kyai? Itukah Ramadhan?

Jujur saja saya tak cukup mengerti, kenapa kawan saya tersinggung dengan status saya itu. Karena pesan balasan yang saya kirimkan sampai detik ini dicueki. Begitu juga, dia tak mampir di wall saya untuk terlibat dalam diskusi terbuka. Karena itulah saya cuma bisa mengira-ira, dia mungkin menganggap bahwa saya (dan kawan-kawan lain yang terlibat diskusi itu) adalah seorang Nasrani yang muak dengan MUI. Bukan. Sama sekali bukan. Meski ada kawan yang bilang wajah saya semenderita Isa (waktu disalib, katanya), saya tak pernah sekalipun berpikir untuk mengimaninya. Apa ga boleh, kalo seorang lelaki memberi masukan kepada perempuan yang dicintainya untuk mengoleskan lipstick merah muda di bibirnya, ‘Biar lebih cantik’, katanya. Sah-sah saja to? Lha wong cinta kok?

Menurut saya pribadi, hangar bingar Natal memang berpotensi menyesatkan. Gemerlap Santa dan pohon-pohon cemara itu sama sekali tak merepresentasikan kelahiran Isa. Seperti kita tahu, bayi Yesus dipercayai umat Nasrani lahir dari rahim Perawan Maria di sebuah kandang domba di Betlehem. Dalam kesunyian, kesendirian, dan penderitaan. Malam yang kudus. Lalu spirit Yesus semacam apa yang bisa dipetik dari riuh rendah perayaan gila-gilaan yang kita saksikan belakangan?
‘Lho, brarti MUI bener dong?’, seorang kawan menodong.
Dlondong!!
Perayaan Natal semacam ini tak jauh beda dengan Ramadhan kita. Siang berlapar-lapar puasa sambil menikmati khotbah-khotbah religi dari ustadz-ustadz funky di layar TV, tapi begitu Maghrib tiba banyak yang berbondong-bondong ke Starbucks, Mc' D, dan KFC untuk berbuka dan melancarkan aksi balas dendam. Disusul dengan menghabiskan isi dompet berbelanja baju dan celana yang akan dikenakan ketika Lebaran tiba. Gesek gesek gesek. Pulang-pulang tangan dipenuhi tas belanja. Tai kuda. ‘Pengendalian dirinya dimana?’

Toleransi. Itu masalahnya. Sejak kecil kita sudah didoktrin tentang apa itu eksklusivitas.

...Agama di dalam pengajaran sekolah, adalah soal lama dan terus-menerus persoalan sulit...

begitu Ki Hajar Dewantara pernah bilang.
‘Yang Islam di ruang ini. Yang Kristen disitu. Yang Katholik di sana. Lalu yang Hindu. Juga yang Budha’.
Mungkin memang inilah salah satu faktor yang membuat masyarakat kita terkotak-kotak. Melahirkan diskriminasi dan kesaligcurigaan. Agama bukan matematika. Di mana lima kali lima seluruh dunia sepakat untuk menjawabnya duapuluhlima. Agama itu bicara tentang kebenaran sekaligus ketidakpastian. Benar tapi tak pasti. Lha siapa coba yang bisa membuktikan kalo akhirat itu benar-benar ada?

Karena itulah, saling mencurigai semacam itu sepertinya sudah tak penting lagi. Sekarang tak ada salahnya jika kita mulai mencoba untuk berpikir, bagaimana cara terbaik untuk menghadapi hidup yang seperti pelangi ini. Warna warni. Bersama-sama belajar mengeja kata toleransi dengan lafal yang benar. Masalah siapa yang salah dan siapa yang lebih salah, apakah surga atau neraka yang akan kita temui nanti ketika sudah mati, serahkan saja sama Ahlinya. Saya pikir; meski guyonannya kadang berlebihan; Tuhan itu ga sebodoh yang sering kita pikirkan.

Selamat Natal. Damai di bumi damai di hati.
Sadhu.. sadhu.. sadhu..


***

Casablanca, 24 Desember 2010
* Foto: AP Photo/ Bela Szandelszky

Islam Cerdas vs Islam Tolol

; yang tercatat dari In the Name of God



‘(Umat) Islam itu ada dua. (Umat) Islam cerdas dan (umat) Islam tolol’, kata saya suatu waktu.
‘Matamu’, seorang kawan mencak-mencak, ‘Islam itu rahmatan lil 'alamin. Itu artinya orang yang sudah masuk Islam berarti sudah dapet pencerahan. Mereka manusia-manusia pilihan’.
Duenggg!!! Baru saya sadar kalo saya bicara dengan manusia batu. Asu.

Saya bicara begitu bukan berarti melecehkan. Tapi (menurut saya) memang begitu. Ada umat muslim cerdas yang beriman dengan mengedepankan kedamaian, tapi ada juga yang beriman sambil terus memelihara permusuhan. Teks-teks Qur’an diimani secara gebyah uyah. Ditelan mentah-mentah. Teks dipisahkan dengan konteks. Ayat perang jaman jahiliyah diimplementasikan ketika Blackberry sudah jadi mainan bocah.

‘Jadi kamu menganggap Qur’an cuma berlaku di jaman nabi dulu?!’
Wassyaahh.. Malah saya difitnah. Saya tidak bermaksud mengatakan itu. Saya cuma pengen bilang, beragama itu tidak harus dengan cara ‘berkacamata kuda’. Menganggap yang kita imani itu benar tentu wajar. Tapi kalo terus mengatakan ‘iman yang lain’ salah kaprah? Wallaahh…

Tema besar itulah yang diangkat dalam In the Name of God. Ide menarik kalo saya kata. Terlebih di negeri ini, Indonesia Jenaka Raya. Sebuah negeri dimana seringkali dijumpai preman-preman bersorban berkeliaran di jalanan. Dimana teriakan ‘Allahuakbar’ bukan lagi diartikan sebagai puja-puji terhadap Tuhan, melainkan dianggap sama dengan tabuhan genderang perang. Negeri di mana banyak generasi muda yang bersedia dengan lapang dada meledakkan dirinya di hotel bintang lima untuk dapat akses instan menuju surga.

Cerita bermula dari sepasang kakak beradik yang berprofesi sebagai musisi di Lahore, Pakistan. Mansoor (Shan) dan Sarmad (Fawad Khan). Masalah bermula ketika pesta penyambutan tahun baru 2000. Panggung musik keduanya diserang kawanan bersorban yang meneriakkan takbir. Melihat hal itu, sang adik, Sarmad, merasa penasaran. ‘Kenapa?’, batinnya bertanya. Tapi sayang, Sarmad mencari jawaban di tempat yang ‘salah’. Akibat dari rasa ingin tahu berlebihan dan jiwa yang masih labil, Sarman dicuci otak oleh seorang ulama garis keras Taliban bernama Maulana Tahiri (Rasheed Naz). ‘Nabi Muhammad membenci lagu dan musik’, katanya. Sejak itulah Sarmad meninggalkan alat musik dan mulai menumbuhkan janggut dan cambang.

Sepeninggal Sarmad, mansoor terbang ke Chocago, AS, untuk belajar musik. Di tengah-tengah masa belajar (dan percintaannya dengan Janie -Austin Marie Sayre-), dua pesawat menabrak gedung kembar WTC. ‘Buuummmm!!!’, 11 September 2001. Islam lalu dimusuhi. Akibat ulah tetangga yang berprasangka buruk, Mansoor dalam situasi yang tidak menguntungkan. Agen CIA menciduknya dan melemparkan tuduhan dia terlibat dengan Osama dan Al Qaeda.

Sementara itu ada lagi tokoh Mariam (Iman Ali). Gadis London keturunan Pakistan ini dikawinkan paksa oleh ayahnya. Semua bermula karena sang ayah tidak setuju Mariam menikah dengan lelaki kulit putih non muslim. Sang ayah merasa, jika tidak menikahkan anaknya dengan pria muslim maka ia telah menodai agamanya sendiri. Karena itulah, sang ayah lalu mengawinkan Mariam dengan Sarmad yang sudah menjadi pejuang Taliban di perbatasan Pakistan dan Afghanistan.

Kisah-kisah itu berkelindan dalam film yang berdurasi hampir tiga jam. Tema menarik, sekali lagi saya kata. Tapi jujur saja, alurnya membosankan. Selama pertunjukan nyaris tak ada pergolakan yang memancing keingintahuan. Butuh tenaga ekstra untuk bisa menikmati film ini hingga tuntas. Alur yang sedemikian lambat, ditambah lagi dengan acting para pemain yang tidak spesial (kata lain untuk mengatakan: kaku), membuat beberapa penonton sesekali terlihat asik dengan Blackberry-nya ketimbang mengikuti alur cerita.

Film ini mengingatkan saya dengan produk dalam negeri yang dibintangi Dian Sastro dan Nicholas Saputra. 3 Doa 3 Cinta. Film inipun mengangkat tema yang sama. Islam cerdas vs Islam tolol. Setting cerita di sebuah pesantren di Yogyakarta. Tiga sahabat. Terorisme. Islam. Amerika. Tema itulah yang menjadi acuannya. Tapi hasilnya? Sama. Tidak (begitu) istimewa.

Tapi bagaimanapun, saya sama sekali tak merasa rugi menyisihkan sedikit waktu, tenaga, dan biaya untuk bisa menikmati film ini. Karena bagaimanapun banyak yang bisa kita ambil dari sini. Kalimat-kalimat pedas berseliweran. Mungkin bisa saja memerahkan kuping sebagian orang.
‘Percayalah, aku akan mengutukmu di alam baka. Orang yang punya banyak waktu untuk sholat tapi tak punya waktu untuk membela mereka yang benar’, kata Mariam kepada seorang ulama liberal yang (awalnya) tidak bersedia membantunya di pengadilan.
‘Saya bisa membaca tulisan Arab. Tapi tidak tahu artinya. Di Pakistan itu biasa’, kata Mansoor kepada agen CIA yang menyiksanya. Sentilan-sentilan halus bagi mereka yang seringkali terjebak pada iman yang cuma permukaan.

Akhir kata, buat anda yang punya waktu luang dan uang cobalah untuk menikmati film ini. Kecuali kalo anda adalah salah satu dari pengikut Taliban yang menganggap bahwa XXI, 21, Cineplex, bioskop, atau bahkan film adalah produk kafir Amerika yang hukumnya haram. Kalo memang begitu, saya sarankan anda sebaiknya memutuskan mati sekarang saja. ‘Surga’ sudah menunggu anda di sana. Begitu saja.


***


Casablanca, 13 November 2010

Merapi dan Pikiran-Pikiran

‘Lha kemarin-kemarin itu pada kemana? Kenapa baru sekarang ketika ada bencana tiba-tiba mengaku saudara? Ubyang-ubyung kirim nasi bungkus, ngamen penggalangan dana, dan sebagainya dan sebagainya’, pertanyaan tak penting melengking nyaring. Gonggongan anjing.

Negeri kita digulung bencana. Wasior, Mentawai, Merapi. Alam tunjukkan kekuatan. Mayat-mayat bergelimpangan. Dan lalu orang-orang baik bermunculan. Wajar saya kira. Karena bagaimanapun manusia bukan sembarang binatang. Kita primata bernurani. Masih punya hati.

Tapi yang mengherankan, di tengah anyir darah dan nyawa yang sedemikian murah kok ya masih ada orang yang sempat-sempatnya sibuk mendebat dengan dalil-dalil filsafat. Berlagak sok budayawan. Nongkrong di sudut taman budaya sambil mengumbar kata-kata & berdialektika. Curiga kepada mereka yang memilih untuk 'bekerja'.
‘Berbuat baik kok temporary’, nyinyir.
‘Niat membantu kok sibuk mempublikasi’, anyir.
‘Niat membantu itu dari dulu-dulu’, mencibir.
Lalu klepuss.. Dji Sam Soe menggumpal di udara. Srupuuuttt… Kopi kental tanpa gula. Tai kuda tanpa kepala.

Memang tak tertutup kemungkinan, ada di antara mereka yang terlibat huru-hara bencana itu cuma ngikut arus saja. Membantu pengungsi biar tampak peduli. Sibuk berdoa di febuk karna trend-nya memang begitu. Berangkat jadi relawan sembari dirasuki arwah Narcissus. Update status biar keliatan heroik. Berpikir bahwa foto profil yang memperlihatkan potret diri yang tertutup masker di tengah jalan berselimut debu itu terlihat gagah. Seperti halnya mereka yang mengaku kiri dengan cara selalu pake kaos Tan Malaka & Guevara. Poto jepret.. Upload via BB.. Trus nunggu comment-comment dan acungan jempol berseliweran. Sekali lagi, mungkin memang ada yang seperti itu. Tapi apa trus cuma nyacat dan nyocot* di kedai kopi jauh lebih baik dari itu semua?

Hidup itu proses. Bukan hasil jadi. Secara pribadi saya percaya itu. Tak mungkin orang laer ceprot langsung menjadi manusia yang ‘sempurna’, yang peduli dengan kanan kiri, yang mengerti mana yang baik dan tidak, yang toleran terhadap sesama, yang bisa bicara fasih tentang apa itu kapitalisme global, dan sebagainya dan sebagainya.

Jadi bisa dikata, kalau ada orang-orang yang ‘baru bergerak sekarang dan tidak dari dulu-dulu’ itu kemungkinan mereka sedang berproses. Mereka sedang dalam perjalanan menuju. Menuju menjadi sesuatu yang lebih baik dari kemarin, dari yang awalnya tak peduli menjadi peduli, dari yang mulanya buta menjadi tidak buta, dari yang kemarin tuli menjadi tidak tuli, dari yang bla bla bla menjadi bla bla bla… Aaassshhh sudahlah, tak penting mikir mereka yang tak penting. Selamat bekerja.



***



Casablanca, 7 November 2010

* mencela dan berkoar-koar

** Foto: ANTARA/ Wihdan Hidayat


Narasi Panjang Soal Ganyang-Ganyangan

‘Ganyang malaysia!!’, seseorang teriak di telinga.
‘Tai kuda. Ga da kerjaan apa?’.
‘Nasionalisme bro…’, kata dia. Weks? Nasionalisme? Lagi?
‘Kita harus mempertahankan harga diri bangsa kita. Bla bla bla… Indonesia itu bangsa yang besar.. Bla bla bla.. Sementara apa itu Malaysia.. Bla bla bla…’
‘Hallah… Entut berut..’, sebatang rokok saya selipkan di mulut.

Sebagian Indonesia belakangan panas. Biasa.., soal Malaysia. Ada bakar-bakaran bendera. Ada aksi lempar kotoran manusia.
‘Nasionalisme! Nasionalisme!’, mantra itu bergema di mana-mana. Di jalanan Jakarta, di warung kopi, di angkringan, di fesbuk, di twitter, di mana-mana pokoknya. Tiba-tiba banyak orang semangat perang, ‘Ganyang!!’, teriaknya garang, ‘Kami siap angkat parang!’. Ckckckck.. Kasihan Tuhan.. Sudah repot-repot ngasih akal buat masing-masing manusia, kok malah diterlantarkan.

‘Malaysia kenapa?’, saya tanya.
‘Mereka sudah memasuki wilayah NKRI tanpa izin! Sudah gitu mereka malah menangkap petugas kita! Apa ga bajingan itu namanya?!’, kawan saya semangat sekali.
‘Lha ada buktinya ga kalo itu masuk wilayah kita? Ada saksi yang netral?’, saya tanya lagi.
Diam sebentar, ‘Pokoknya itu wilayah kita!’.

Naaa… ini masalahnya. Ga ada saksi dan ga ada bukti. Masing-masing pihak saling klaim kalo itu masuk wilayah mereka. Petugas Indonesia mengaku nelayan Malaysia masuk wilayah kita. Sementara petugas Malaysia bilang sebaliknya. Masing-masing dari mereka menjadi saksi, tersangka, sekaligus jaksa. Apa ya mungkin sebuah proses pengadilan kok pihak yang menuntut itu juga dituntut, sekaligus menjadi orang yang menguatkan/ meringankan tuntutan?

Presumption of Innocence. Azas praduga tak bersalah. Harusnya kita sebagai manusia yang ngerti hukum harus menjunjung itu. Jangan langsung main hakim sendiri, ketuk palu kalo Malaysia itu pihak yang asu. Kan ya tolol kalo kita membela petugas kita semata karena mereka warga Indonesia. Sementara pihak yang berseberangan justru mengatakan petugas kita yang salah, petugas kita sering melakukan pungli ke nelayan-nelayan Malaysia, dsb dsb. Apa ada yang berani menjamin 100% pernyataan itu salah? Lihat saja di sekeliling kita, polisi, satpol PP, atau siapapun mereka yang diseragami negara dengan gampangnya memeras saudaranya sendiri sesama orang Indonesia, apalagi orang negara lain? Pernyataan mereka logis ta?

‘Mereka sudah mencuri budaya kita!’, ada lagi suara.‘Oh ya? Kalo Malaysia itu maling budaya, maka Indonesia itu mbahnya maling..’, kata saya.‘Lho?! Kok bisa?!’‘Lha sampeyan pikir Ramayana & Mahabharata itu produk mana? Sementara selama ini kita maen klaim kalo wayang itu budaya leluhur produksi Jawa? Budaya itu sesuatu yang berjalan.. Berproses.. Bukan barang mati hasil jadi…’

Seseorang berak di pinggir jalan, ‘Kau gila?’
‘Ini tai untuk mereka!’, Wallahh.. Kadang cinta memang seperti obat tetes mata yang sudah kadaluarsa. Bisa bikin buta.
‘Mereka itu habis manis sepah dibuang! Dulu mereka import guru-guru dari Indonesia! Sekarang berani kurang ajar! Pengkhianat!’
We?? Ga pernah belajar PSPB apa? Kalo tindakan seperti itu dituduh pengkhianat, lha terus negara kita ini disebut apa? Soekarno dulu juga belajar di sekolahan-sekolahan produk Belanda, Europeesche Lagere School, Hoogere Burger School, juga Technische Hoge School. Hatta juga, bahkan kuliah di Nederland Handelshogeschool. Sjahrir? Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, Leiden. Tan Malaka? Sama saja. Dan apa balasan Bapak-Bapak Negara itu untuk Belanda? Memimpin pemberontakan! Membebaskan jerat penjajahan! Itu fakta.

‘Kemerdekaan Indonesia itu hasil perjuangan! Kita mengusir Belanda! Sementara mereka?! Ini bambu runcingku! Mana senapanmu?!’, seseorang menyala-nyala.Ckckck… Mungkin dia terlalu sering menonton film perang produksi dalam negeri. Di mana dunia tak lebih dari dua kubu yang saling berseberangan. Hitam dan putih. Abu-abu? Ah, mana disebut di situ. R.E. Elson dalam ‘The Idea of Indonesia’ - A History (Cambridge University Press – 2008) menulis, ‘Dalam sekejap mata kolonialisme Belanda dan sesungguhnya seluruh basis moral kekuasaan Belanda berakhir dengan kemenangan total Jepang dan mempesonakan dalam bulan Maret 1942’. Artinya apa? Artinya Belanda meninggalkan negeri ini karena kalah dengan Jepang. Tanpa mengesampingkan kegigihan perjuangan prajurit-prajurit kita, fakta itulah yang nyata. Belanda bukan kalah dengan bambu runcing kita. Belanda kalah oleh Jepang yang datang mengaku sebagai saudara tua.

‘Tapi kita menang bertempur lawan Jepang!’, Weks? Salah lagi. Buku sejarah bilang, bom atom sekutu yang membuat Kaisar Hirohito menunduk kalah. Menyerah. Kita cuma mengambil moment ketika pemerintahan sedang kosong kala itu. ‘Tapi pasukan kita itu gagah berani!’, itu lain soal. Kemarahan yang sudah mendarah daging setelah ditindas selama sekian abad tentu mampu menjelma menjadi kemarahan yang luar biasa. Saya juga percaya. Tapi soal ‘menang kalah’ itu yang sepertinya harus kita kritisi lagi. Percayalah, sejarah negeri ini tidak seheroik yang kita baca di komik-komik. Tapi bangsa ini bisa saja jadi besar kalo kita mau berpikir dan berusaha.

‘Ganyang malaysia!!!’, nyaring. Seseorang berdandan a la Soekarno. Oalaahhh… Bahkan ayat-ayat Al Qur’an saja harus dipahami sesuai konteks turunnya, apalagi ucapan Soekarno? Bayangkan kalo tidak, betapa tiap hari kita dihalalkan untuk menenggak darah mereka yang dianggap kafir. Berapa banyak ayat-ayat perang yang kita temui di Qur’an? Berserakan. Semua menyuruh kita mengangkat pedang atas nama keyakinan.

‘Nasionalisme!’, kata itu lagi. ‘Nasionalisme adalah proyeksi kejiwaan dari semangat rendah diri dalam sikap kolonial antara penjajah dan kaum terjajah’, begitu kata Sjahrazad a.k.a Soetan Sjahrir dalam Indonesische Overpeinzingen (1945). Kita itu sebenernya kalah sama Malaysia. Kita yang lebih dulu merdeka, tapi justru rakyat kita yang jadi babu di sana.

‘Kita tarik TKI dan TKW kita!’
Wong edan!! Emangnya dia siap ngasih makan anak dan keluarga para pekerja itu? Warga kita rela jadi babu di sana, itu adalah potret kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Kalo ada pilihan, tentu mereka juga memilih untuk bekerja di negeri sendiri. Tapi mau gimana lagi? Di negeri sendiri manusia berserakan. Sarjana tak kurang-kurang jumlahnya. Pilihannya? Ya ke Malaysia. Kalo mereka ditarik pulang, trus gimana perut mereka dan juga keluarganya? Ngomong kok ngawur.

‘Indonesia itu berangkat dari sesuatu yang besar! Dari Sabang sampai Merauke! Suatu saat pasti akan menjadi kiblat peradaban dunia!’, Hallah. Utopis. Apa ga ada hal lain yang bisa dibanggakan selain luas wilayah? Kok kaya Prancis pas era kolonialisme, yang seringkali mengagung-agungkan diri melalui pemetaan daerah teritorial yang membentang dari Dunkirk di Pantai Utara Prancis sampai Tamanraset, di Sahara Selatan, Aljazair. Ukuran kok dijadikan jaminan. Kaya Mak Erot.. :))

‘Jika nasionalisme dan patriotisme rakyat sedang menggebu, biarkan saja’, kata Machiavelli. Dulu. Kenapa dia bilang begitu? Karena dengan itulah rakyat bisa diikat. Ada musuh bersama yang layak untuk dilawan. Saya masih ingat adegan dalam Armageddon, di mana umat berbagai agama di belahan dunia masing-masing berdoa menurut caranya. Di masjid, di gereja, di Sinagog.. ahh.. adegan itu begitu syahdu. Tak ada perpecahan di antara mereka. Tak ada peperangan. Kenapa? Karena ada musuh bersama. Apa? Asteroid yang sedang menuju bumi. Sementara di kasus kita, tokoh antagonis yang (konon) layak dimusuhi adalah Malaysia. Tapi apakah nasionalisme selalu bisa dihalalkan karena urusan praktis itu?

‘Ganyang! Ganyang! Ganyang!’, sekelompok manusia melakukan sweeping. Apa mereka ga punya kerjaan ya? Saya bertanya-tanya. Dan baru sadar, kalo Indonesia itu gudangnya pengangguran. Dan sayapun mulai berpikir, bahwa mungkin sebenarnya mereka itu adalah manusia-manusia yang putus asa. Hidup di negeri busuk, di mana korupsi menggerogoti semua lini, di mana Menkominfo cuma sibuk ngurusi situs porno, Menag secara ngawur mengecap label sesat kepada kelompok-kelompok minoritas, pembela tuhan berkeliling bawa pentungan sok pahlawan, DPR sibuk memperjuangkan gedung baru dengan fasilitas spa dan kolam renang, dll dll. Mereka muak dengan itu semua. Tapi tak cukup punya nyali untuk bunuh diri. Kenapa? Karena mereka bukan siapa-siapa yang jika mati dengan cara biasa tetap bukan apa-apa. Sementara jika Indonesia perang melawan Malaysia dan mereka ikut serta, ada kemungkinan mereka akan dikenang sebagai pahlawan. Selain itu, jika pemerintah mencanangkan wajib militer berarti akan ada yang menanggung kebutuhan perut mereka. Siapa? Negara.

‘Merdekaaa!!’, masih saja ada suara-suara. Kemacetan tak terelakkan. Klakson-klakson berbunyi. Media tayangkan mereka. Kompor semua. He3.. Pada ga sadar kalo dipanas-panasi. Latihan perang rutin TNI dikait-kaitkan dengan persiapan invasi, artikel panjang tentang perbandingan kekuatan perang masing-masing negara, berita tentang TKI yang siap dihukum mati, dsb. He he he.. mbok ya ditanggapi wajar saja, kalo memang jualan narkoba trus divonis mati di sana ya apa anehnya? Orang kita juga sering memvonis mati warga asing yang berani jualan narkoba di sini kok. Waspada juga, jangan-jangan ini cuma permainan politik. Kemarahan rakyat atas kegagalan negara digunakan oleh mereka yang berkepentingan untuk menggoyang kekuasaan? Siapa? Ah, sebaiknya tak usah sebut nama.

Jadi gimana dong? Ya sudah. Buat apa kita teriak-teriak perang? Warga di Israel dan Palestina sana, juga di Pakistan dan India, tiap hari berdoa biar perang cepat usai. Sementara kita malah bersiap menjemputnya. Dipikir perang itu cuma kaya tawuran antar SMP apa? Kalo semisal jadi perang, gimana nasib TKI kita di sana? Dipulangkan? Trus gimana ekonomi keluarganya? Kalo malah dijadikan tawanan perang? Kita tahu, negara penghasilannya dari pajak dan devisa. Kalo kita perang, mana ada negara yang mau berinvestasi ke sini? Mana ada juga turis yang mau wisata ke negeri ini? Sudahlah, daripada merelakan diri dipanas-panasi, mending masing-masing menjalani perannya dengan baik. Yang guru ya mendidik murid yang baik, yang polisi ya mengayomi masyarakat dengan baik, yang arsitek ya membangun gedung yang tidak merusak lingkungan, yang produser TV ya menciptakan tayangan yang mencerdaskan masyarakat, dsb dsb. Saya pikir itu jauh lebih nasionalis. Kalo semua menjalankan perannya secara baik, saya yakin ga bakal ada yang namanya warga kita yang mbabu di negeri tetangga.



***



Casablanca, 2 September 2010
*Tulisan lama tentang nasionalisme juga ada di sini

Belajar Pesimis dari Muhammad

Selesai?? Anjing!! Melengking. Serapah menyumpah. Dan jaripun kembali mencari. Mata menyusur. Siapa tahu ada yang terlewati. Halaman depan, tengah, belakang. Nol besar. Memang tak ada. Cerita tentang Kashva memang cuma segitu adanya. Gila!!

Begitulah akhir cerita. Novel Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan yang hari-hari belakangan menemani saya, akhirnya selesai terbaca. Cuma satu kata yang ada: Kecewa. Ceritanya jelek? Sseorang kawan bertanya. Bukan. Lalu kenapa? Tak selesai. Tak usai.

Jadi begini. Secara garis besar, novel ini bercerita tentang (sepenggal) perjalanan hidup Sang Nabi ketika awal kelahiran Islam. Namun selain itu, Tasaro GK, sang pengarang, juga meramunya dengan kisah perjalanan Kashva, seorang cendekiawan muda Persia yang tertarik dengan ramalan kitab-kitab kuno tentang kedatangan nabi baru. Kashva adalah seorang intelektual yang berpikiran terbuka. Meski dia seorang pengikut Zardusht, dia sangat-sangat terbuka dengan agama-agama lain. ‘Mengetahui bagaimana agama-agama lain menerjemahkan bahasa Tuhan adalah sebuah proses yang mengasah otakmu, tidak selalu harus berakhir dengan pertukaran keimananmu’, kalimat-kalimat indah semacam inilah yang berserak di lembar-lembar novel ini.

Menurut saya pribadi, kisah Kashva-lah yang membuat novel ini jauh dari membosankan. Cerita nabi kalah menarik? Bukan begitu. Cuma kan kalo kisah nabi kita secara garis besar sudah tau sedikit kronologinya. Termasuk gimana ending dari Perang Badar, Perang Uhud, takluknya Madinah, dsb. Tapi kalo Kashva? Dia murni fiksi. Petualangannya meninggalkan Kuil Sistan di Persia, lalu tinggal di Gathas, lari ke perbatasan lalu mendaki menuju Tibet, menjadi tamasya imajinasi yang sungguh menyenangkan. Ditambah lagi dengan kalimat-kalimat puitis yang syahdu, cerita tentang pencarian dan ‘Sang Tercari’ ini menjadi sesuatu yang (pada awalnya saya kira) sempurna.

Bagaimana tidak, di tiap-tiap halaman kita akan dituntun untuk menyusuri ramalan kitab-kitab kuno tentang kedatangan nabi baru. Seorang Maitreya , begitu yang ada di ajaran Budha. Astvat-ereta, kitab Zardusht menyebut-nyebutnya. Juga yang di Kuntab Sukt disebut Mamah Rishi. Dia, yang juga sering diagung-agungkan Yohanes Pembabtis. Dia. Sang Himada. (Lalu apakah benar yang disebut-sebut dalam kitab-kitab ini adalah Muhammad? Wallahu’alam. Ini hubungannya dengan iman. Dan seperti halnya cinta, iman jarang-jarang butuh penjelasan)

Romantisme kisah cinta Kashva & Astu juga bumbu penyedap yang tak boleh diabaikan. Dimana mereka adalah korban-korban kondisi yang tak memungkinkan prosesi penyatuan adalah kisah tragis abadi yang tak habis-habis untuk selalu dieksplorasi.
‘Karena kupikir jika engkau bahagia, aku bisa rela’
Astu menoleh, rambutnya berkibaran. Wajahnya seperti puisi, 'Jadi, kau tidak pernah rela?'
'Aku sanggup hidup tanpa dirimu, bukan tanpa kenangan tentangmu.', jawab Kashva. Demikian Tasaro menceritakan cinta mereka. Romantis yang puitis. Namun tidak terjebak dalam kecengengan yang mendayu-dayu.

Tapi rupanya ekspektasi saya terlalu berlebihan. Saya terlalu berharap banyak terhadap novel ini. Dan endingnya ya itu tadi, serapah saya melengking ketika membaca kata ‘selesai’ di bagian belakang buku. Bukan apa-apa, saya cuma tak percaya saja. Bagaimana mungkin cerita yang belum selesai dipotong begitu saja?

Kisah Muhammad memang sudah usai. Madinah berhasil dikuasai. Tapi Kashva? Dia baru sampai di kaki Gunung Kailash, Tibet. Tak ada jawaban tentang siapa sebenarnya Biksu Tashidelek. Tak ada penjelasan tentang hubungan antara Mashya, pengawal Kashva, dengan Salman Al Farisi, pengikut sang nabi, yang sempat disinggung di halaman 182. Tak ada jawaban pasti tentang nasib Astu, Parkhida, dan penduduk Gathas. Juga kepastian nasib para penduduk perbatasan yang mereka tinggalkan dalam pertempuran. Dan semua itu cuma dijawab dengan adegan 'kebetulan', dimana tiba-tiba saja mereka bertemu Biksu Gyatso yang suka mengembara, dan ‘kebetulan’ baru saja kembali dari Persia. Karena itu dia bisa tahu bahwa kekuasaan Khosrou sudah tumbang, begitu juga nasib penduduk perbatasan, ‘hampir tak bersisa’, begitu katanya. Tak ada kelanjutan perjalanan Kashva. Cuma ada penutup seperti ini:

‘Menjelang petang, hari itu, rombongan Kashva berjalan lagi membelakangi arah terbitnya matahari. Ada perbedaan yang mencolok dibanding sebelum-sebelumnya. Kashva berjalan tegap dengan sorot mata yang misterius, dingin, dan berkuasa. Di depannya Vakhshur menjadi penunjuk arah yang teliti. Melihat tanda-tanda alam dan tak banyak bicara. Mashya kembali menjadi siapa dia yang dikenal orang-orang sebelumnya. Diam seribu bahasa. Menggendong Xerxes dalam kepatuhan seorang budak. Bedanya, kepala raksasanya menunduk. Seperti tengah menghitung pasir.
Matahari mencari jalan untuk pulang.’

Cuma itu. Cuma sampai di situ. Tak ada cerita tentang perjalanan mereka setelahnya. Tiba-tiba saja Kashva sudah berbincang dengan Elyas, sahabatnya, di pinggiran kota Madinah 8 tahun setelah Muhammad wafat. Tak ada cerita ketika rombongan Kashva di Cina (yang harusnya mereka lalui jika merujuk pada ‘Peta Perjalanan Jalur Kashva’ yang ada di halaman terakhir novel). Tak ada kelanjutan kisah Xerxes, bocah berpipi tembam, putra Astu yang dititipkan kepada Kashva. Juga Vakhshur, bocah kecil jago perang putra salah seorang penduduk perbatasan yang juga ikut dalam rombongannya. Begitu juga Mashya. Semuanya berhenti tak sempurna.

Tapi bagaimanapun, tak mungkin kita tak mendapatkan apa-apa dari apa yang kita lakukan. Selesai membaca novel ini, setidaknya saya mendapat satu pelajaran yang lumayan berharga. ‘Jangan terlalu berharap banyak terhadap akhir dari segala sesuatu’. Buku ini mengajari saya bagaimana caranya menjadi pesimis dengan cara yang sungguh-sungguh tidak manis.


***



Casablanca, 6 Agustus 2010

Sutradara atau Arsitek?

‘Allah sebenernya sudah nunjukin jalan yg terbaik buat aku.. Tapi jalan itu terputus sejak kamu pergi..’ (Kalimat Anissa kepada Khudori; Perempuan Berkalung Surban)



‘Salah milih bojo, cerai, terus mereka bilang INI SUDAH DIGARISKAN TUHAN. Salah jurusan kuliah, bilang INI TAKDIR TUHAN. Kehilangan HP terus mengamini, INI JALAN TERBAIK YANG DIBERIKAN TUHAN. Lebih konyol lagi langsung deh, ketika tertimpa penderitaan panjang berucap SEMUA AKAN INDAH PADA WAKTUNYA! Wakakakakak, glogok tenan!’, seorang kawan memaki-maki. Dan saya tertawa ngga brenti-brenti. Mengamini. ‘Lha iya to, manusia itu suka sekali dikasihani. Tapi kok ga sedikitpun mencoba empati sama Tuhan. Ga nyadar apa kalo Tuhan itu urusannya banyak. Malah terus-terusan dijadikan kambing hitam. Apa-apa takdir.. Apa-apa keputusan Gusti..’, saya-pun terpancing. Ikut mencak-mencak. Terus ngakak-ngakak.

’Takdir itu apa sih, Pak?’, seorang anak bertanya pada bapaknya. Dan sang bapak menjelaskan panjang lebar tentang qada dan qadhar. Secuil bab dari buku agama ketika dia duduk di sekolah dasar. ’Qada itu rumusan Tuhan yang bersifat pasti. Contohnya, semua makhluk itu pasti akan mati. Sementara qadhar itu rumusan yang lebih rinci. Misalnya, si makhluk A akan mati kapan dan di mana’. Dan si anak mengangguk-angguk.

Kapan dan dimanapun, perbincangan tentang takdir itu sesuatu yang sangat-sangat menarik. Gimana enggak, sejak jaman renaisans, aufklarung sampai era blackberry seperti saat ini, takdir masih saja sering diperdebatkan. Benarkah? Adakah? Dan sejauh ini tak ada satupun di antara mereka yang saling berdebat itu sanggup membuktikan argumen-argumennya. Perdebatan yang percuma? Belum tentu juga. Toh jika percuma sekalipun tak pernah ada salahnya bukan? Bukankah itu gunanya logika?

Baiklah. Daripada kepala kita senut-senut ngurusi sisminbakum atau kasus rekening bengkak jenderal-jenderal polisi itu, mari kita sedikit membincang tentang takdir (Toh sama-sama tak penting :)) Dan karena sejak kecil saya lebih dekat dengan dunia Islam, ya mohon dimaklumi kalo dasar-dasar obrolan saya juga dari sudut pandang Islam. Begini, konon konsep takdir sendiri sebenarnya belum ada ketika jaman Rasulullah. 'Pemikiran sesat' yg mengatakan bahwa segala sesuatu yg terjadi pada manusia sudah ditentukan Tuhan itu, baru ada pada jaman Khalifah II (Umar bin Khatab). Jadi ceritanya begini. Dulu ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat, dia digantikan putranya, Hasan bin Ali. Pengangkatan Hasan ini tidak disetujui sebagian umat ketika itu. Akhirnya umat islam pecah. Karena itulah Hasan memilih mengundurkan diri. Selanjutnya Hasan digantikan adiknya Husein bin Ali. Nah... Husein ini kemudian dibunuh Bani Ummayyah. Kemudian berkuasalah Muawiyah bin Abu Sufyan (Khalifah Umayyah I). Demi kepentingan politik, Muawiyah memberikan wacana kepada Umat Islam, bahwa terbunuhnya Husein itu SUDAH TAKDIR TUHAN. Husein tidak dibolehkan memerintah oleh Tuhan. Buktinya? Husein tewas. Itu artinya Husein tidak direstui Tuhan sebagai pemimpin umat Islam. Dengan kata lain, Bani Ummayah-lah yang diridhoi Tuhan.

Sejak itulah wacana takdir semakin berkembang. Segala sesuatu yang menimpa manusia selalu dikait-kaitkan dengan takdir. Cerai dengan pasangan? Takdir. Gagal lulus kuliah? Takdir. Kehilangan harta? Takdir. ’Sesungguhnya Tuhan telah mengadakan ukuran bagi tiap-tiap sesuatu (Q.S. 65:3)’. Ayat itulah yang seringkali dijadikan pembelaan beberapa dari mereka yang pasrah dengan kekalahan. Tapi benarkah (selalu) begitu?

Tuhan punya ukuran, mungkin memang iya. Matahari itu terbit dari timur, air laut itu asin, makhluk hidup itu pasti mati, bumi ber-revolusi sekali dalam setahun, mungkin itu memang sudah ’ukuran’ Tuhan. Semesta tak punya alasan untuk tidak mengikuti aturan itu. Sementara rezeki manusia, jodoh, lulus kuliah, dsb dsb? Tentu saja manusia punya kebebasan untuk mendapatkan itu semua. Semesta jelas beda dengan manusia. Semesta tak punya pilihan, sementara manusia punya kebebasan.

Michael Newman (Adam Sandler) sempat menggugat Morty si malaikat (Christopher Walken) dalam Click, ’Kenapa kau buat hidupku jadi begini?’. Michael marah karena remote universal pemberian Morty (dianggap) merusak hidupnya. Donna (Kate Beckinsale), istri Michael memilih menikah dengan lelaki lain. Michael-pun tak sempat mendatangi pemakaman ayahnya karena terlalu sibuk bekerja. Dan Morty-pun cuma tersenyum, ’Bukan aku yang merusak hidupmu. Kau sendiri yang melakukannya’. Begitulah. Remote yang bisa mengontrol segala sesuatu itu digunakan Michael secara sembarangan. Michael memilih sendiri apa yang ingin terjadi padanya dan menghindari apa yang tidak ingin dihadapinya. Semua pilihan itu ditentukan sendiri oleh Michael. Jika ternyata pilihan-pilihan itu membuat hidup Michael berantakan, kenapa dia harus menyalahkan Tuhan; yang dalam hal ini diwakili kaki tangan-Nya (/malaikat)?

Begitulah. Kita ini masing-masing sudah diberi remote universal yang bisa dipakai untuk menentukan jalan hidup kita sendiri. Hati, logika, tubuh, dan segala sesuatu yang kita punya, itu remote kita. Lalu kenapa tiap kali bertemu kegagalan beberapa di antara kita selalu berdiri di punggung Tuhan? Ini sudah jalanNya-lah, ini takdirNya-lah, ini keputusanNya-lah.. Jika kita manusia saja sudah sangat-sangat sibuk dengan urusan kita sendiri, apa kita tak pernah membayangkan, betapa sibuknya Tuhan jika harus mengurus segala sesuatu itu sendirian?

Tuhan itu sutradara. Bukan arsitek. Saya percaya itu. Saya bayangkan, Tuhan itu seperti sutradara teater yang membuka casting terbuka. Memberi kebebasan pilihan kepada calon aktor, mereka tertarik dengan peran apa. Lalu dalam casting itu Tuhan memberi penilaian, si A memang pantas dengan peran tentara. Karena si A ini posturnya tinggi besar dan berwajah brutal. Sementara si B, tak pantas dengan peran guru. Dia lebih cocok jadi penyair, karena wajahnya yang sendu dan suaranya yang merdu. Juga si C. Dia lebih layak jadi jurnalis saja. Karena perawakan dan gesture-nya lebih pantas untuk peran itu. Begitu juga ketika proses latihan. Tuhan akan membiarkan aktor-aktornya untuk eksplorasi akting mereka seliar mungkin. Baru jika dirasa tak cocok digunakan dalam pertunjukan, Tuhan akan memberi masukan, ’Sebaiknya begini... Jangan begitu... dsb’

Secara pribadi saya menolak konsep bahwa Tuhan itu arsitek yang menuliskan segala sesuatu rancangannya di atas kertas. Yang merasa sok tahu tentang bahan apa yang terbaik untuk sebuah rumah, bentuk jendela dan pintu untuk rumah itu, termasuk juga letak taman dan kolam ikan. Bukankah penghuni rumah juga punya hak untuk menentukan bentuk jendela yang mungkin akan membuatnya jauh lebih nyaman? Bukankah manusia juga punya hak untuk memilih dengan siapa dia akan menjalani sisa hidup dan beranak pinak? Lalu apakah ketika kita menjatuhkan sebuah pilihan, apakah hal itu melulu keputusan Tuhan? Tentu saja tidak. Itu pilihan kita. Yang (mungkin) direstui Tuhan. Tapi mungkin juga tidak.

Sampai di sini saya ingat Chris Gardner (Will Smith). Dalam salah satu adegan The Pursuit of Happynes, Chris bercerita kepada anaknya, Christopher (Jaden Christopher Syre Smith). Diceritakan ada seseorang yang mengapung-apung sendirian di tengah lautan. Tiba-tiba ada sebuah kapal yang menawarkan pertolongan. Namun orang itu menolaknya, dia bilang, ‘Tuhan akan menolongku’. Datanglah kapal kedua yang juga menawarkan bantuan, ‘Tuhan akan menolongku’. Jawaban yang sama. Akhirnya orang itu tenggelam, mati, dan masuk di surga. Di surga, orang itu menggugat Tuhan, ’Wahai Tuhan, kenapa Kau tidak menolongku?’. Dan Tuhan-pun menjawab, ’Siapa bilang Aku tak menolongmu? Aku sudah kirimkan dua kapal untukmu’.


***


Utan Kayu – Casablanca, 12 Juni 2010

Ketika Sajadah Terganti Blackberry

; Eksibisionisme Religiusitas Sebagai Upaya Memperjuangkan Eksistensi


Menarik. Sesuatu yang menarik ketika kita memperhatikan fenomena yang terjadi belakangan. Semakin hari semakin banyak saja do'a-do'a yang berseliweran di situs jejaring sosial (dalam hal ini Facebook). Kalimat semacam ‘Ya Allah.. Hanya kepada-Mu aku menuju.. Terima kasih untuk semua yang Kau beri untukku…’ atau ‘Bapa aku butuh bahu-Mu untuk menopang bebanku… Beri aku kekuatan untuk menghadapi hari ini..’ menjadi semacam menu wajib yang kita temui setiap hari. Inilah titik di mana kepercayaan ketemu materi. Tuhan ketemu teknologi. Seperti sepasang rel yang awalnya berjalan beriringan, tiba-tiba di satu waktu mengerucut… dan ... bertemu. Menyatu.

'Kenapa ya kira-kira?', seorang kawan bertanya. Menurut saya kemungkinannya hanya tiga. Pertama, mereka yang berdoa dengan cara itu mempunyai harapan agar orang lain tahu apa yang mereka inginkan. Kedua, mereka berharap orang lain tahu bahwa mereka adalah umat yang shaleh. Ketiga, mereka pikir Tuhan adalah pengangguran yang punya banyak waktu luang untuk membuka-buka acount FB, lalu membaca status yang ditulis manusia, untuk kemudian mengabulkannya. Atau kalau tidak, minimal jempol Tuhan teracung untuk status mereka, God Like It !!!'. Seorang kawan terbahak. Sementara yang lain memerah, 'Ngeliatnya positif aja bro...'. Lha?? Positif?? Kurang positif apa coba??

Baiklah. Mari kita telaah. Yang namanya situs jejaring sosial kan tidak sama dengan diary (oldschool nii... :)). Kalo diary itu kan yang baca kita sendiri, makanya banyak dijual diary yang berkunci (saya kurang tahu apakah di jaman serba transparan ini buku harian semacam itu masih tersedia di toko buku atau tidak). Tapi kalau situs jejaring sosial? Siapa saja bisa membacanya. Yang ada di sana adalah ketelanjangan. Lalu motivasi apalagi selain 'agar orang lain tahu sesuatu yang kita pikirkan / rasakan' ketika kita menuliskan sesuatu di sana? Termasuk juga do'a-do'a tadi? (Ah, jadi teringat si Narcissus yang dikutuk untuk mencintai bayangannya sendiri)

'Aku juga muak dengan status-status alay kayak gitu... Caper...', seorang kawan lantang berkata. Dan giliran saya yang terbahak. Menyadari bahwa dia benar. Situs pertemanan ini sudah menjelma menjadi situs per-caper-an. Semua orang (termasuk saya tentu saja :) berebut untuk menjadi pusat perhatian. Ingin diperhatikan. Tapi tak cukup berani untuk telanjang (Tak seperti Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari). Di titik inilah saya tiba-tiba ingat Sartre. ‘L'existence précède l'essence’, katanya. ‘Eksistensi mendahului esensi’. Ajaran Descartes untuk berpikir-pun tak penting lagi. Yang ada cuma Updato Statuso Ergo Sum. Saya update status maka saya ada.

Saya masih ingat benar pengalaman masa kecil dulu dengan almarhumah nenek saya. Suatu malam, secara tak sengaja saya masuk ke kamar beliau yang gelap. Jengkerik mengerik di luar kamar. Di samping nyala lentera yang berkedip-kedip (saya tinggal di pelosok desa yang ketika itu belum terjamah listrik), saya temukan beliau mengenakan mukena putih pudar terduduk di atas sajadah kumal. Mata terpejam (samar terlihat sesuatu yang berkilat di sana, serupa tetes hujan), sementara jemari memetik butir tasbih. Bibir tuanya yang berkeriput komat kamit mengucap sesuatu. Subhanallah subhanallah subhanallah…. mungkin kira-kira begitu. Di atas sajadah kuning kumal, nenek saya menikmati sunyi. Berdoa. Tiada siapa-siapa. Hanya dia. Dan Tuhan (tentu saja).

Sementara beberapa waktu yang lalu, saya duduk di sebuah gerai Mc Donalds bersama seorang kawan. Autisme yang diakibatkan oleh teknologi telah menjangkiti kami. Meski berdua di tempat yang sama, tiada kata-kata. Hanya suara cetak cetik keypad yang mengisi udara. ‘Ya Allah, beri aku kekuatan untuk menghadapi semua ini. Hanya Kau yang mampu mengerti aku…’, status terbaru kawan saya muncul di wall. Dan saya tersenyum. Teringat cara almarhumah nenek saya berdo'a. Sunyi, sepi, dan sendiri. Tak ada satupun di dunia ini yang tahu apa yang ketika itu nenek saya harapkan. Selain Tuhan. Sementara do'a kawan saya? Dilakukan di riuh gerai Mc D, dengan backsound musik sember entah band apa namanya, dan yang pasti: isi do’anya diketahui semua orang yang ada di friendlist-nya!!

'Orang berdo'a kok dilarang?', ada suara sumbang. Puji Tuhan! Saya menepuk jidat. Terkutuklah saya jika melakukan itu. Sumpah mati, saya sama sekali tidak melarang. Saya belum cukup gila untuk melakukan itu. Orang mau bunuh diri saja tidak akan saya larang (dengan catatan: dia melakukannya dengan penuh kesadaran), apalagi orang berdo'a. 'Berdo'a kan bisa di mana saja', suara yang lain lagi. 'Yup, anda benar'. Bisa di mana saja. Bisa dengan cara apa saja. Benar sekali. Dan saya juga sama sekali tidak menyalahkan cara berdo'a yang baru semacam itu. Kenapa? Pertama, saya menyadari tidak punya cukup kapabilitas untuk menjustifikasi sesuatu itu salah atau benar. Kedua, benar salah adalah sesuatu yang sangat-sangat relatif dan subyektif. Seperti yang dibilang Imam Syafi’i, ‘Pendapatku benar, tapi mungkin mengandung kesalahan. Sementara pendapat orang lain salah, tetapi mungkin mengandung kebenaran.'

'Jadi gimana nih? Disebut melarang ga mau.. disebut menyalahkan, juga gitu.. Maunya gimana?'. Ya ga gimana-gimana. Lha wong saya itu cuma iseng-iseng berpikir. 'Berpikirlah terus sampai kau mual anak muda...', kawan saya tertawa melihat saya nyaris muntah. 'He he he.. Saya itu cuma berusaha untuk tetap sadar di tengah arus yang berkelebat di sekeliling kita. Itu saja. Meski seringkali gagal juga, tapi apa salahnya berjuang untuk tidak menjadi satu di antara individu-individu pingsan yang hanyut dalam arus yang menggempur dunia sekitar kita? Terseret arus tanpa mengerti akan dibawa kemana?', Kawan saya diam. Angin sore membawa aroma kuburan. 'Terberkatilah mereka yang hanyut... Semoga Tuhan bersama mereka'.



***



Utan Kayu, 9 Juni 2010

Hot Pants, Tank Top, dan Che Guevara di Pentas Jazz

Baiklah. Mari sedikit membincang tentang Jazz. Jadi begini. Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan datang di Java Jazz Festival. Kebetulan kartu pers yang saya miliki memberi saya kesempatan untuk mendapatkan selembar tiket gratis. Daily pass hari pertama.

Hot pants, tank top , dan wajah-wajah ceria gadis belia menjadi pemandangan pertama yang saya temui di lokasi. 'Wow, jazz sekali...' , benak saya tertawa geli. Saya tak bisa membayangkan apa yang dirasakan budak-budak negro itu di surga sana. Yang dulu keringat, jeritan, darah, dan nanah-nya melahirkan musik yang kini disebut jazz ini. Mungkin gembira, bahagia, atau justru terhina. Saya tak cukup berani berkesimpulan.

'Kondisi sekarang tak lagi ditentukan oleh -isme, ideologi, atau state of mind, tapi oleh desire, nafsu dan keinginan mengkonsumsi', begitu kata Kenichi Ohmae . Begitulah. Seperti halnya Mc Donalds, begitu juga jazz. Lihat saja orang kita yang berbondong memesan paket nasi di Mc. D. Yang (mungkin) sebenarnya tidak 'menikmati' rasa sebenarnya dari makanan tadi, melainkan hanya sekedar mengkonsumsi 'citra'. Bahkan kemungkinan tak sedikit di antara mereka yang tak mengetahui bahwa di negeri sononya, Mc. D tak memproduksi makanan berbahan dasar nasi. Tapi apakah itupun perlu diketahui, ketika ternyata 'apapun' yang dijual sudah cukup membuat kita merasa sebagai warga dunia yang menikmati santapan global? Santapan manusia 'beradab'?

Pemikiran jahat semacam itu jugalah yang muncul di otak saya ketika melihat hot pants, tank top, dan gadis-gadis belia tadi. Saya tak cukup yakin bahwa adek-adek yang lucu dan imut-imut itu mengerti apa dan siapa sebenarnya jazz itu? Tapi ah sudahlah, apa pentingnya juga mereka tahu. Komodifikasi dan kapitalisme industri toh sudah cukup memberi penjelasan, bahwa tugas seni adalah menghibur. Itu saja. Art is entertainment. Tak lebih.

Dan karena belakangan saya sangat memanjakan otak saya, akhirnya saya memilih berhenti untuk memikirkan itu. Saya memilih menikmati tiket gratis yang saya miliki. Termasuk menikmati Direct from Vegas The Rat Pack with Ron King Big Band yang membawakan swing jazz dengan penuh energi. My Way, That's Life, New York New York, dan kawan-kawannya cukup berhasil menampar-nampar hati saya dengan sempurna.

Tapi ya gimana lagi, lha wong dasarnya otak saya itu susah diatur. Jadi mau tak mau sepanjang pertunjukan saya terus kepikiran dengan seorang mas-mas yang saya lihat waktu keluar dari pertunjukannya Syaharani. T-shirt hitam dengan gambar Che Guevara di punggungnya telah sukses membuat saya tersenyum getir. Jujur saja, ini bukan pertama kalinya saya melihat Che Guevara di tempat yang tidak semestinya . Tapi itu bukan berarti hal ini sudah menjadi biasa bagi saya. Jadi ya tetap saja saya tersenyum miris. Dan satu hal lagi yang membuat senyum saya malam itu lebih miris daripada biasanya, yaitu yang dipegang di tangan kiri mas-masnya itu. Tangan seorang cewek cantik dengan rambut sebahu . Bukan apa-apa sebenarnya, tapi gimana ga miris kalau malam itu saya datang ke acara itu sendirian. Bayangkan, sudah datang nonton Java Jazz sendiri, terus melihat pengikut Che Guevara yang menggandeng cewek cantik di tangan kiri. Bukankah itu sungguh sebuah kondisi yang memprihatinkan?? 'Padahal saya juga seorang sosialis...', benak saya berontak :(



***



Utan Kayu, 28 Maret 2010

Tentang Harapan

; Kenapa manusia membutuhkan Tuhan


Jadi begitu. Harapan. Manusia terdiri (dan berdiri ) dari itu. Tanpanya manusia tak lebih dari ilalang yang bergoyang-goyang. Gerak ke kanan tanpa paham kenapa harus kanan. Meliuk ke kiri tanpa ngerti ada apa dengan kiri.

Tidak semua manusia itu kuat. Bahkan Hitler sekalipun di ujung ajalnya menyebut nama Tuhan. 'Oh my God', bisiknya, 'Eva Braun', lanjutnya. Kenapa? Hitler butuh harapan. Hitler perlu pegangan. Dia paham dia akan mati. Dan dia butuh sesuatu agar dia bisa mati dengan nyaman. Dan sesuatu itu adalah Tuhan (dan istrinya).

Kruschev juga. Saat Sovyet pertama kali meluncurkan pesawat ruang angkasa dia berkata, 'Sudah kami jelajahi ruang angkasa, tak satu Tuhan pun kami temukan'. Tapi di depan Izrail, kalimat terakhir Hitler juga-lah yang akhirnya dia lafalkan. Pun juga dengan Antony Flew . Dia akhirnya memilih berpaling kepada Tuhan, ketika tak semua pertanyaan menemukan jawaban. 'Karena orang-orang sudah pasti terpengaruh oleh saya, saya ingin berusaha dan memperbaiki kerusakan besar yang mungkin telah saya lakukan', ikrarnya.

'sapa yang bisa jd tempat untuk menanyakan ini mau di bawa kemana, enaknya gimana, baiknya gmn, bagusnya gmn, biar ada pakem yang jelas...', seorang kawan melempar tanya. Di layar internet. 'Tuhan', seseorang menjawabnya. Begitulah. Ketika tiada lagi tempat bertanya, Tuhan adalah jawabnya. Kenapa? Karena manusia butuh sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Sesuatu yang diyakini bisa memberikan alternatif jawaban. Harus ada jawaban. 'Dialah Yang Awal dan Yang Akhir. Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 57:3)'

'Cedhak karo Gusti kui marai ayem (Dekat dengan Tuhan itu membuat hati tenang)', sebuah bisikan. Lembut. Sangat lembut. Begitulah. Manusia butuh ketenangan. Dan ketenangan itu ada ketika seseorang mempunyai harapan. Sekali lagi, manusia bukan rumput. Dan manusia tidak bisa menjadi rumput. Meski suatu waktu pasti menjadi tanah. Yang mungkin akan ditumbuhi ilalang.

Lalu bagaimana dengan atheisme? Tidak semua manusia sekuat itu. Tidak semua manusia berani memikul sendiri semua beban. Menciptakan, memelihara, dan menghegemoni kekuasaan atas harapan. Berarti manusia ber-Tuhan itu lemah? Semua manusia itu terlahir lemah. Dan semua ingin menjadi kuat. Karena itu mereka butuh nutrisi. Dan nutrisi itu tercipta dari sebuah ramuan kuno yang menjadikan harapan sebagai bahan.

Tepat di titik inilah, benar-benar ada atau benar-benar tidak adanya Tuhan menjadi satu pertanyaan yang tiba-tiba basi dan tak butuh jawaban. Bermakna atau tidak bermakna justru menjadi sesuatu yang jauh lebih penting. Oportunis? Sama sekali tidak. Makna sama sekali beda dengan guna. Antara yang spiritual dan yang material.

'Jadi kenapa manusia membiasakan diri untuk ber-Tuhan?', seorang guru agama bertanya di depan kelas. 'Karena manusia terpaksa harus punya harapan', jawab seorang murid di pojok belakang. Ya. Mungkin begitu. Semoga semester depan dia meraih ranking satu. 'Tuhan bersamamu..'

Rata Penuh

Utan Kayu 23 Des.09
 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent