Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Patung di Perempatan Jalan

; Tentang Lelaki yang Tak Beranjak dan Perempuan yang Membunuhnya



Siapa sebenarnya dia, Nek?’, gadis kecil mengerjap-ngerjap. 5 tahun usianya. Masih terbata berkata-kata. Sang nenek mengikuti telunjuk si bocah. Untuk kemudian menelan ludah. Senyum sekuntum. ‘Dia?’, nenek meyakinkan. Bocah itu mengangguk (Sumpah!! tak ada dosa di matanya. Jenaka seperti boneka. Pipi tembem mirip apem. Mungkin enak kalau dikunyah. Tapi pasti akan berdarah-darah)

Si nenek membenarkan letak duduknya. Kursi besi warna tua. Warna jelaga. Seperti senja yang biasanya, perempatan jalan itu banyak manusia. Menikmati dedaunan yang berguguran. Menikmati sunyi perasaan. Menikmati sepi hati. Menikmati waktu mati. Terlebih ketika matahari bergerak pelan mengecup bumi. Di sana. Di barat sana.

Siapa, Nek?’, bocah kecil mengulang tanya. Lollypop tergenggam di tangannya. Jilat jilat jilat.. lidahnya menjadi ungu. Seperti ulat. Lucu. ‘Itu cuma patung, Cah ayu’, nenek mengelus rambut si bocah. Mata bereka bersitatap. Ada secuil kekecewaan. Ketidakpercayaan.
Cuma?’, si bocah mengedipkan mata. Sumpah, dia bunga jelita. Sang nenek tersenyum. Menyadari bahwa cucunya terlahir dengan rasa penasaran yang berlebihan. Tak melulu menerima apapun jawaban yang diberikan. Sementara patung di seberang jalan masih tetap sama. Duduk dalam resah yang menunggu. Hitam kelam sewarna malam. Hujan, panas, dan segala ujian alam tak pernah sanggup menggesernya. Memindahkannya.

Semua berawal puluhan tahun yang lalu, Cah ayu…’, si bocah menatap neneknya. Penuh perhatian. Seakan tak ingin melewatkan sepatah katapun yang keluar dari bibir perempuan tua itu.
Dia lelaki yang menunggu..
Mata bocah itu menyipit. Tanda bahwa dia benar-benar tertarik dengan dongeng neneknya.
Pada suatu waktu, lelaki itu bukan sesuatu yang sendiri. Dia memiliki seorang kekasih. Bidadari surga, begitu sang lelaki memanggilnya’, sang nenek berhenti sampai di sini. Seakan mencari-cari kata yang tepat untuk melanjutkan kisahnya. Sepasang kekasih berjalan beriringan melewati patung legam itu. Melempar koin ke mangkuk kecil di depan seseorang yang bermain saxophone.

Lalu?’, dasar bocah. Selalu tak sabar.
Keduanya sudah bersama sekian lama. Pahit manis mereka rasa. Seperti sepasang sepatu. Tak mungkin kan cuma dipakai salah satu?’, selembar daun melayang lemah, kemudian sentuh tanah. Saxophone mengalun. Jazz purba tentang derita.
Pada suatu November yang hujan, sang perempuan berpamitan. Aku ingin bepergian, katanya. Kemana, lelaki bertanya. Perempuan diam saja. Berapa lama? Tak lama, jawabnya. Tak lebih dari dua belas bulan, kita ketemu lagi di sini. Si lelaki akhirnya menyetujui. Menurutnya, perpisahan sementara tak lebih dari penyaliban Isa. Pengorbanan demi sesuatu yang jauh lebih akbar. Penyatuan yang abadi’, Si bocah kini benar-benar tak peduli dengan lollypop-nya. Dongeng ini beda dengan yang biasanya, pikirnya. Tak seperti kisah cinderela dan sepatu kaca. Tak juga sama dengan kancil jail yang suka ngutil. Ini beda. Benar-benar tak serupa dengan dongeng pengantar tidur. Ini dongeng senja. Bukan dongeng ketika bumi benar-benar sudang gulita, Otak kecilnya berkata-kata.

Tapi seperti yang nenek selalu katakan padamu, Cah ayu. Waktu itu selalu abu-abu. Kadang sekutu kadang seteru. Dua belas bulan berjalan. Dan lelaki itu kembali di tempat ini. Mengenakan pakaian terindah yang dia miliki. Parfum terwangi yang mampu dia beli. Dan kau lihat bunga di tangannya itu? Itu bunga yang dia petik dari taman depan balai kota. Masih segar ketika dulu dia bawa’, sang nenek menghela nafas. Angin senja bawa berita, ‘Dunia sudah tuaaa… dunia sudah tuaa….’, berisik berbisik.

Si bocah duduk manis menunggu. Matanya menatap ibu mamanya itu.
Ketika takbir pertama adzan subuh terdengar, lelaki itu sudah berada di sini. Sejarah mencatat, binar mata tak pernah sanggup berdusta. Aku akan bertemu dengan kekasihku, hatinya berdentam-dentam. Membayangkan bidadari surganya yang jelita. Dengan gaun hitam muda, warna kesukaannya. Dan ini bunga untuknya, jiwanya bersorak serak.. bersorak serak..’. Pemain saxophone di seberang jalan memulai lagu baru. Kali ini agak lebih sendu.

Tapi cah ayu, ingatlah selalu, waktu itu selalu abu-abu. Kadang sekutu kadang seteru. Sampai malam menyerang, perempuan itu tak datang. Bahkan ketika bulan sabit mulai berkedip-kedip genit, ketika bintang-bintang melayang di awang-awang, perempuan itu tetap tak datang. Ah, mungkin esok pagi, lelaki itu menelan kekhawatirannya sendiri. Mungkin kapal yang dinaikinya datang terlambat. Tapi seberapa besar kemampuan kita membangun kenyataan? Keesokan harinya, sang kekasih tetap tak tampak. Wangi parfum sudah lak lagi semerbak. Sampai selimut malam mengelam, tak ada tanda-tanda kekasih hati akan datang. Ah mungkin besok, hatinya kembali bersuara. Tapi keesokannya terjadi hal yang sama. Begitu seterusnya. Begitu seterusnya. Sampai hari ini. Sampai lelaki itu membatu. Sampai bunga yang dulu segar itu kini kuyu dan layu’

Si bocah diam. Entah, apakah dia paham. Di kejauhan terlihat dua anak sebayanya berkejaran. Seperti malaikat-malaikat bersayap di taman surga. Bermain memperebutkan secuil permata. ‘Perempuan yang dusta’, tiba-tiba bibir kecil itu berkata, sebelum mengulum lollypop-nya. Si nenek tercekat. Tak menyangka dengan komentar cucunya. ‘Seharusnya dia datang. Dia sudah berjanji’, si bocah semakin menjadi. Menjilati lollypop di jemari. Sebaris angin datang bersamaan. Daun-daun berguguran. Melayang-layang. Tiada yang menopang.

Perlahan namun pasti, sebutir kristal mengental di mata sang nenek. Mata tua itu menunggu aba-aba untuk menjelma telaga. Dan di satu titik, ketegaran pecah. Sebutir air sentuh tanah. Jemari tua gemetaran. Tak sanggup tahan perasaan. ‘Aku memang pendusta, Cah ayu.. Aku memang begitu… Selalu…’, hatinya buka kartu. Saxophone makin mendayu. I can wait forever* terdengar syahdu.




***



* I can wait forever (Air Supply)
Utan Kayu, 26 Juni 2010

0 komentar:

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent