Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Nurul dan Sejumlah Keganjilan*

Judul Buku: Semusim, dan Semusim Lagi
Penulis: Andina Dwifatma
Editor: Hetih Rusli
Isi: 232 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 8 April 2013

***
 
Satu hal yang ingin saya katakan di awal sebelum saya bicara panjang lebar: bahwa membaca novel Semusim, dan Semusim Lagi (selanjutnya akan disebut: Semusim) karya Andina Dwifatma mengingatkan saya pada banyak hal. Salah satunya adalah pada novel Misteri Soliter karya Jostein Gaarder. Memang tidak persis sama dan bahkan ada banyak hal yang berbeda, tapi kemunculan Sobron (ikan mas koki yang bisa bicara itu) membawa ingatan saya akan kartu-kartu remi yang hidup di novel tersebut. Setidaknya: ada semangat surealisme yang serupa.

Sementara di sisi lain, entah sebuah kebetulan atau memang sesuatu yang disengaja, alur pembuka Semusim ini juga memiliki kemiripan dengan novel Jostein yang lain, yaitu Dunia Sophie: di mana pada suatu hari seorang gadis remaja menerima sepucuk surat misterius. Jika di Dunia Sophie, sang gadis menerima sepucuk surat yang berisikan sebuah pertanyaan, “Siapa kamu?” sementara tokoh di Semusim menerima sepucuk surat dari seseorang yang mengaku sebagai ayahnya.

Adegan di rumah sakit jiwa juga mengingatkan saya pada novel Veronika Decides to Die karya Paulo Coelho, di mana sang tokoh utama diberi berbagai macam obat yang tak perlu hingga keadaannya justru semakin memburuk dan pada suatu ketika melihat pasien lain yang sedang disetrum oleh petugas.

Lalu, apa yang salah? Tidak ada. Saya cuma mau bilang, bahwa novel ini mengingatkan saya pada banyak hal, termasuk pada seorang kawan sekelas saya waktu SMA yang gemar menyendiri dan tak suka bergaul dengan banyak orang. Ketika itu, sementara gadis-gadis lain suka membaca majalah remaja semacam Aneka Yess! atau Kawanku, kawan perempuan saya itu lebih suka membaca majalah Misteri dan Liberty. Mungkin, dia memang tidak benar-benar memiliki masalah kejiwaan seperti tokoh ‘aku’ di novel Semusim, tapi setidaknya (saat itu) saya dan kawan-kawan yang lain menganggapnya begitu. Untuk itulah, mulai dari sekarang, saya (secara semena-mena dan tanpa persetujuan penulis) akan menyebut tokoh ‘aku’ dengan nama kawan saya itu: Nurul.

Tentu saja tindakan kurang ajar ini boleh digugat. Namun, saya terinspirasi sang tokoh ‘aku’ di novel Semusim yang gemar mengganti nama orang lain yang dirasanya kurang menarik atau menyematkan nama sesukanya ke orang yang tidak dia kenal. Lihat saja bagaimana dia menyebut ayahnya sebagai ‘Joe’, hanya karena nama sang ayah ternyata tidak sekeren yang dia bayangkan, sementara semua lelaki hebat dan keren yang diketahuinya (pasti) bernama Joe (hlm. 58). Juga, bagaimana dia menyebut seorang polisi wanita dengan nama ‘Maria’, karena perempuan itu memiliki wajah sedih seperti ibu yang anaknya disalib orang (hlm. 146). Toh, kata Barthes: ketika sebuah teks terlahir, maka sang pengarang sudah ‘mati’, bukan?

Secara garis besar, ide dasar novel Semusim ini terbilang sederhana: yaitu tentang kondisi kejiwaan seorang remaja perempuan yang tak pernah mengenal ayahnya sejak kecil. Namun, berkat kepiawaian penulis dalam bertutur dan memainkan alur, ide dasar yang sebenarnya sederhana itu menjelma sebuah kisah yang menarik dan lumayan menyenangkan untuk diikuti.

Diceritakan di novel Semusim, saat mempersiapkan diri untuk memulai kuliah di jurusan Sejarah di sebuah universitas swasta, Nurul menerima sebuah surat dari seseorang yang mengaku sebagai ayahnya. Memenuhi undangan sang ayah, dia meninggalkan rumah ibunya untuk kemudian tinggal di sebuah rumah yang dipersiapkan ayahnya di kota S. Di kota tersebut, Nurul bertemu sejumlah hal baru yang mengubah hidupnya, mulai dari jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan seorang mahasiswa bernama Muara, hingga bertemu seekor ikan mas koki yang bisa bicara.

Secara asyik, Andina memasukkan fakta-fakta di dunia nyata yang jarang diketahui orang menjadi bagian dari isi cerita. Lihat saja halaman 24 yang membahas tentang larangan berambut gondrong bagi para lelaki yang pernah diberlakukan pemerintah Indonesia pada tahun ‘70-an. Juga, bagaimana Andina menyisipkan referensi tentang buku atau musik bagus di dalam kisahnya. Menurut saya, itu menyenangkan, tapi seperti hal-hal lain yang ada di dunia: tak ada kesenangan yang sempurna.

Novel dan pembacanya ibarat sepasang kekasih yang menjalin hubungan cinta. Dalam sebuah hubungan, satu atau dua kesalahan kecil tentu bisa dimaklumi dan bahkan dianggap sebagai semacam bumbu penyedap. Namun, jika kesalahan-kesalahan kecil itu muncul terlalu sering, tentu saja tak sehat untuk masa depan kedua belah pihak. Begitu juga yang terjadi ketika saya membaca novel Semusim ini.

Sebelum bicara lebih lanjut, mungkin perlu dijelaskan bahwa apa yang saya sampaikan sama sekali bukan didasari keinginan untuk mencari-cari kesalahan. Bahwa semua yang nanti akan saya kemukakan adalah murni apa yang saya temukan. Saya harap kita semua bisa bersepakat, bahwa mencari dan menemukan adalah dua proses yang sama sekali berbeda.

Di halaman 42, Andina menulis:

Satu hal paling lucu tentang orang dewasa adalah: kau bisa mengatakan hal paling konyol atau kebohongan paling musykil dan mereka tidak akan tertawa, bahkan memercayai apa yang kau katakan, selama kau bicara dengan gaya yang teramat meyakinkan.

Tokoh Nurul di novel ini mungkin benar, tapi sepertinya justru Andina yang lupa: bahwa yang memiliki sifat ‘lucu’ semacam itu sesungguhnya bukan hanya ‘orang dewasa’, tapi juga ‘pembaca’. Sebagai penulis, siapa pun punya hak mutlak untuk berbohong sesuka hati, asalkan ia tampil meyakinkan. Salah satu contoh penggambaran yang tidak meyakinkan adalah yang tertulis di halaman 43, di mana Nurul menceritakan bagaimana pertemuan pertamanya dengan JJ Henri, seorang karyawan sekaligus kawan dekat sang ayah:

Mobil yang dikendarai JJ Henri adalah Peugeot berwarna biru tua. Aku selalu suka mobil Peugeot karena mungil dan punya lampu depan seperti mata binatang, sehingga dengan plat mobil yang terletak di tengah-tengah bemper, ia seperti kumbang besar yang sedang nyengir.

Begini. Penulis kisah fiksi itu tak ubahnya tukang kibul. Ia boleh ngibul sesuka hati dengan menceritakan kisah yang paling absurd atau paling surealis, tapi (sekali lagi) intinya hanya satu: ia harus tetap meyakinkan, agar pembaca-pembacanya tersihir dan percaya dengan kibulannya. Sementara itu, yang saya temukan dalam kalimat-kalimat yang saya kutip tadi, tidak mencerminkan teori itu.

Sebagai produsen mobil, Peugeot berdiri sejak 1882 di Prancis. Sejak kelahirannya, tentu sudah berbagai jenis dan model mobil ini yang dilempar ke pasaran. Karena itu, jujur saja saya sedikit bingung: mobil Peugeot jenis apa yang sesungguhnya dikendarai JJ Henri—yang konon ‘mungil dan punya lampu depan seperti mata binatang’? Kebetulan saya bukan penggemar otomotif dan satu-satunya mobil Peugeot yang pernah saya tebengi adalah Peugeot 305 milik seorang kawan, yang menurut saya tidak lebih mungil jika dibanding mobil-mobil merek lain. Bahkan ketika saya nekat mencari-cari referensi di Google, ternyata saya tidak pernah menemukan alasan bahwa ‘sepasang lampu depan mobil Peugeot lebih tampak menyerupai mata binatang’ atau ‘lebih tampak seperti kumbang yang sedang nyengir’ dibanding mobil lain.

Tentu saja sebenarnya hal ini bisa diselamatkan andai Andina lebih detail dan spesifik dalam menyebut jenis dan tipe mobil yang dimaksud, atau memilih jenis mobil lain yang lebih memiliki karakter khas, seperti Cooper atau Morris yang memang berukuran mungil, atau Mercedes-Benz SLS AMG yang memiliki pintu layaknya sepasang sayap rajawali. Namun, tidak. Andina memilih mobil Peugeot berwarna biru tua. Itu saja.

Mungkin hal ini memang terdengar remeh dan sederhana. Namun, wajib diingat, bahwa tugas seorang penulis adalah terus-terusan memikat hati pembaca. Seorang pembaca punya kewenangan mutlak. Begitu dia merasa kecewa dan sadar sedang dikibuli dengan cara yang tidak meyakinkan, selalu terbuka kemungkinan dia akan menutup buku dan tak melanjutkan proses pembacaan. Padahal, kita sama-sama tahu, tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang penulis ketimbang sebuah karya yang tidak dibaca habis.

Menulislah buruk, lalu jadikan bagus saat proses penyuntingan. Saya pernah mendengar petuah ini dari seorang penulis handal (yang tidak saya ingat namanya). Jika kita pernah berusaha melahirkan sebuah karya tulisan, kita akan tahu bahwa ini adalah petuah yang sungguh bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ketika kita sudah berniat untuk melahirkan sebuah tulisan bagus sejak awal mulai menulis, hampir bisa dipastikan bahwa tulisan bagus yang kita gadang-gadang itu hanya akan berhenti di pikiran dan tak akan pernah tercipta. Sebaliknya, jika kita nekat menulis tanpa pernah benar-benar memikirkan baik atau buruk, tulisan itu akan sungguh-sungguh bisa dibaca (meski mungkin buruk) dan selanjutnya bisa diperbaiki menjadi tulisan bagus (dengan penyuntingan yang bisa saja dilakukan berkali-kali). Lalu, kapan sebuah proses penyuntingan itu harus dihentikan? Adalah saat segala sesuatunya sudah tampak sempurna dan tak ada lagi celah yang bisa membuat pembaca tak yakin akan kisah yang kita ceritakan.

Secara membabi buta saya menuduh bahwa Andina memiliki masalah dengan persoalan kapan seharusnya berhenti menyunting, hingga akhirnya hal-hal remeh yang seharusnya bisa diperbaiki hanya dengan menambahkan atau menghapus atau mengganti satu kata dengan kata lainnya, justru menjadi pengganggu yang tak perlu. Salah satu contohnya adalah yang tertulis di halaman 44:

Setelah meletakkan tas punggung di jok belakang dengan hati-hati, aku duduk di kursi penumpang dan memasang sabuk pengaman. JJ Henri memasukkan sekeping CD dalam stereo mobilnya. Sebentar kemudian terdengar alunan musik blues dan seorang kulit hitam menyanyi dengan nada memilukan:

Beberapa tahun lalu, sempat muncul kontroversi terkait metode aktivasi otak tengah, sebuah pelatihan berbiaya mahal yang dikhususkan bagi anak-anak kaum mampu. Dalam pelatihan yang belakangan terbukti penuh tipuan itu, anak-anak diajari teknik mencium warna: sebuah ilmu tingkat tinggi yang konon diadopsi dari kemampuan lumba-lumba (yang sebenarnya andaikan benar-benar bisa dipelajari manusia, tak pernah saya pahami apa fungsinya di kehidupan nyata). Dengan mata tertutup, sang anak yang sudah diaktifkan kemampuan otak tengahnya (yang konon secara medis, ‘otak tengah’ sendiri juga sekadar mitos) diharuskan bisa menyebutkan warna dari sebuah kertas yang ditempelkan di depan hidungnya. Dan rupanya, si Nurul di novel ini juga memiliki kemampuan yang kurang lebih sama: melihat suara. Dia bisa tahu apakah seorang penyanyi itu berkulit hitam atau tidak hitam hanya dengan mendengar suaranya. Mungkin saja hal ini bisa dibantah dengan pernyataan bahwa: mayoritas penyanyi blues adalah berkulit hitam atau orang kulit hitam punya karakter suara yang khas. Namun, tentu saja bantahan itu hanya sia-sia belaka.

Sebenarnya saya memiliki sekian catatan tentang hal remeh-temeh yang bisa saya permasalahkan di sini. Salah satunya adalah inkonsistensi kondisi sel di kantor polisi yang sempit berjeruji dan berisi sejumlah benda, termasuk di antaranya kasur tipis dan bantal yang belum-belum sudah menguarkan bau apak (hlm. 151). Sebuah kasur tipis, ditulis begitu. Namun, tanpa diduga, dalam penjelasan-penjelasan sesudahnya (salah satunya di hlm. 158), disebut bahwa di dalam sel itu ada sebuah dipan (benda yang tidak pernah ada dalam penjelasan sebelumnya).

Belum lagi perkara metafora yang terkadang terdengar berlebihan. Lihat saja yang tertulis di halaman 107:

Kepalaku berat dan mataku berkunang-kunang. Rasanya seperti ada rombongan gajah berlari-lari di dahiku.

Atau yang tertulis di halaman 116:

Kepalaku terasa sakit seperti ditusuk-tusuk dengan garpu panas.

Bahwa tak pernah ada batasan yang pasti terkait pemakaian metafora, itu benar. Dan mungkin banyak di antara kita yang pernah merasakan pening yang sungguh keterlaluan. Namun, menurut saya, dahi yang diinjak-injak sekumpulan gajah atau kepala yang ditusuk-tusuk dengan garpu panas sepertinya bukan perumpamaan yang tepat untuk kondisi sakit kepala (dan bahkan terdengar agak terlalu mengerikan). Namun, tentu saja saya tidak akan berlarut-larut dengan mengetengahkan kesalahan-kesalahan kecil semacam itu. Sekali lagi, saya tidak mau disebut-sebut sedang mencari-cari kesalahan orang lain: meski, jujur saja, saya sebenarnya mendapatkan sedikit kebahagiaan ketika melakukan itu.

Beruntung, kesalahan-kesalahan remeh itu diselamatkan dengan cara bertutur yang asyik. Andina sudah tidak memiliki masalah dengan hal teknik bercerita atau mengatur alur. Hal itu cukup membantu, membuat saya sebagai pembaca tak begitu menganggap serius kesalahan-kesalahan kecil yang sudah saya sebutkan tadi. Meski begitu, menurut saya ada satu lubang besar hingga agak sulit untuk ditambal dengan apa pun, yaitu penokohan sang tokoh utama sendiri.

Nurul di novel ini adalah seorang gadis berusia 17 tahun yang sejak kecil memendam banyak tanda tanya di otaknya. Disebutkan bahwa dia adalah seseorang yang begitu ingin tahu tentang sejarah benda-benda dan awal mula segala sesuatu. Konon, ada sesuatu tentang sejarah yang selalu menarik minatnya (yang akhirnya membawanya untuk mendaftar ke jurusan Sejarah di sebuah universitas swasta). Ketika kecil, setiap kali menemukan benda-benda baru, maka yang akan muncul pertama di otaknya adalah: siapa yang pertama kali menemukan dan memberinya nama?

Seperti yang dia ungkapkan di halaman 10, bagaimana ketika dia berkenalan dengan benda bulat dengan gagang di pinggirnya dan bisa dipakai untuk minum (yang kemudian dia kenal sebagai gelas), maka yang muncul di otaknya adalah: siapa yang pertama kali memiliki ide untuk membuat gelas dan bagaimana ide itu datang? (Sekadar catatan: sebenarnya saya lebih mengenal alat minum yang disebut tadi, yang konon ada gagangnya itu, sebagai cangkir. Namun, sudahlah, mungkin Nurul dan saya memang dibesarkan dalam dua budaya yang sama sekali berbeda.) Juga, bagaimana Nurul kecil yang tak begitu berminat ketika diajak bermain petak umpet. Menurutnya petak umpet itu sia-sia semata, sebelum kita mengetahui siapa yang pertama kali memiliki ide tentang permainan tersebut.

Nah, di sinilah saya menemukan sebuah lubang yang agak mengganggu. Adalah sesuatu yang menarik bagi saya, ketika ada seseorang yang demikian kritis dan dipenuhi rasa ingin tahu tentang sejarah benda-benda dan awal mula segala sesuatu, tetapi di sisi lain justru abai terhadap sejarahnya sendiri. Di halaman 20 dikatakan:

Seumur hidup aku hanya tinggal bersama ibuku, berpura-pura bahwa kata ‘Ayah’, ‘Bapak’, dan sejenisnya tidak ada dalam kamus, dan aku merasa baik-baik saja.’

Seperti yang saya bilang, ini adalah sesuatu yang menarik (atau lebih tepatnya: janggal).

Descartes pernah bilang: cogito, ergo sum—aku berpikir, maka aku ada. Gagasan tentang aku-diri-ego itu jugalah yang melandasi ajaran Buddha tentang vipassanā, praktik menyadari pikiran untuk mencapai kondisi lepas dari penderitaan-annata-tanpa aku. Artinya adalah, bahwa sesungguhnya eksistensi diri itu berangkat dari pikiran. Segala sesuatu itu menjadi ‘ada’ ketika pikiran bergerak, dan sebaliknya: menjadi ‘tidak ada’ ketika pikiran berhenti. Ketika pikiran manusia mulai bergerak, maka yang kali pertama muncul adalah konsep ‘aku’—untuk kemudian membuat sebuah dinding tinggi yang membatasinya dengan ‘bukan aku’. Seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri, ‘aku’ yang lahir dari pikiran itu membuat sebuah pertanyaan pertama dan utama: siapa aku—dari mana kemunculanku? Hal ini bisa dibilang sebagai pikiran yang mempertanyakan pikiran. Untuk itulah, adalah sesuatu yang agak ganjil ketika tokoh Nurul bersedia repot-repot mempertanyakan sejarah benda-benda dan hal remeh yang ‘bukan aku’ semacam gelas dan permainan petak umpet, tetapi di lain sisi justru sama sekali tak mempertanyakan tentang ‘aku’: siapa sebenarnya ayahku, atau pertanyaan yang lebih besar: dari mana kemunculanku?

Apakah Nurul seorang religius atau tidak religius itu bukan sesuatu yang penting untuk dijawab. Yang jadi pertanyaan adalah: bagaimana bisa seorang Nurul yang terlahir dengan kapasitas otak berlebih untuk mempertanyakan asal muasal segala hal, justru sama sekali tidak mempertanyakan asal muasal tentang keberadaan dirinya sebagai manusia. Di halaman 187 hanya dijelaskan secara singkat, bagaimana Nurul cuma menggeleng ketika ditanya apa agamanya dan mengatakan bahwa ibunya tak pernah mengajarinya tentang Tuhan sehingga dia hanya belajar sendiri dari kitab suci. Tak ada penjelasan lebih lanjut tentang fase itu—tak ada bocoran kenapa dia akhirnya hanya percaya Tuhan kadang-kadang. Di titik inilah, saya merasakan suatu ketidakwajaran yang lumayan mengganggu.

Sejumlah pertanyaan yang sepertinya akan lebih baik jika dijawab ternyata juga dibiarkan mengambang begitu saja hingga akhir cerita. Alasan kenapa ayah dan ibu tokoh Nurul berpisah, misalnya. Atau berapa sebenarnya usia Nurul ketika Joe meninggalkannya? Tiga bulan atau 1,5 tahun? Lalu, apa hubungan novel ini dengan puisi Surat Kertas Hijau karya Sitor Situmorang yang ditulis di sampul belakang?

Jika ada yang bertanya kepada saya tentang novel ini, saya akan menjawabnya secara jujur: saya suka (meski sebenarnya tak pernah benar-benar membuat saya jatuh cinta). Ibarat sebuah bangunan rumah, novel ini dibuat dari bahan-bahan yang bermutu, dengan teknik pengerjaan yang mumpuni, dan desain yang indah. Namun, sayang, ada kekurangtelitian yang menyebabkan sejumlah paku masih menonjol di beberapa bagian sementara beberapa bagian lainnya justru lupa untuk dipaku. Cat yang kurang rata dan berlepotan juga tampak di beberapa sudut kamar, sementara ruangan utama yang seharusnya diberi jendela yang cukup lebar justru hanya diberi ventilasi kecil, hingga akhirnya agak terlalu gelap dan pengap. Namun, secara keseluruhan, rumah ini lumayan menyenangkan untuk dihuni. Sekarang masalahnya, tinggal bagaimana kita pintar-pintar memilih kawan serumah. Begitu saja.


Rawamangun, 29 September 2014

*Ditulis sebagai pemantik diskusi novel “Semusim, dan Semusim Lagi” karya Andina Dwifatma yang digelar oleh Para Penggerutu, Sarekat Pembenci Karya Buruk, dan Jumpa Lagi Book Club pada 30 September 2014.

Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #11




Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #11



Hingga pada waktunya kau akan menyadari bahwa dirimu sedang berada di kondisi yang seperti ini: kau dikuasai keinginan untuk memeluk yang sedemikian membuncah. Kepalamu serupa bola yang dipompa sekuat tenaga: penuh darah dan rindu pecah. Dalam fase ini, segala sesuatu di sekelilingmu akan tampak sebagai bajingan yang layak untuk dimusnahkan. Kau akan melihat orang-orang yang berada di sekitarmu sebagai ancaman. Kau menyadari sepenuhnya bahwa kau sedang tidak baik-baik saja, namun kau tahu bahwa kehidupan juga seperti itu. Kau dan dunia seperti sepasang saudara tiri yang sama-sama memiliki kekuatan sama besar untuk saling membenci dan menelikung dan meracuni. Ada semacam keinginan untuk menyakiti yang tak habis-habis dan selalu terisi ulang. Kau mulai gemar mengutuk segala sesuatu yang berada di sekitarmu: termasuk kelahiranmu. Kau muak dengan dirimu yang tak sanggup melakukan apa-apa, bahkan untuk sekadar menghadapi semuanya seperti apa adanya. Kau bubur tajin yang lumer di cawan plastik. Kau serdadu rendahan yang gagal mempertahankan garis pertahanan. Kau bayi yang meringkuk di sudut kamar: rindu akan tetek ibu yang akan melemparkanmu ke tidur yang lelap dan mimpi yang lenyap. Kau nabi yang selalu gagal meyakinkan umat. Kau sampah kasta terendah yang tak layak berada di manapun. Kau malaikat yang dikhianati Tuhan. Kau serpihan pasir besi: terseret ke sana kemari oleh medan magnet ganjil yang belum pernah kau temui. Kau badut tua yang tak lagi sanggup memancing tawa. Kau tak lebih dari cinta yang pelan-pelan: diam dan jauh dari bising jalanan.


Utan Kayu, 23 Oktober 2013

Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #10



"Satu-satunya yang mungkin dilakukan kaum buruh untuk melawan kejahatan korporat adalah dengan bekerja seenaknya," kau memonyongkan bibirmu yang selalu tampak ranum dan merah dan kenyal. Sementara segaris bulan sabit mengintip di celah langit. Kau dan aku dan wangi kopi tak henti-henti menghitung kerlip kunang di beranda.
"Maksudmu?"
"Kau tahu, kemenangan sejati kapitalisme adalah ketika lahir barisan pekerja berdedikasi: mereka yang bekerja dengan penuh pengorbanan demi secuil karir dan bonus tahunan dan kenaikan gaji. Mereka yang bersepakat bahwa tujuan hidup manusia hanyalah satu: mencari uang."

Ada derik jangkrik di tengah kegelapan. Sementara dingin angin membawa aroma purba yang sudah kita kenal sejak lama, sejak kita belum mengenal kata-kata.
"Dulu, penjajahan dilakukan dengan praktik kerja paksa semacam rodi atau romusha. Tapi sekarang, penjajahan dilakukan secara lebih sederhana. Alih-alih berontak, para korban justru tertawa-tawa dengan bangganya. Kaum buruh dipaksa memeras keringat hingga tetes terakhir dengan upah yang sebenarnya tak seberapa dibanding pendapatan perusahaan. Setelah itu mereka dibujuk dirayu oleh televisi dan majalah dan internet dan semacamnya agar dengan rela hati membelanjakan hasil keringatnya untuk sesuatu yang sebenarnya tak begitu mereka butuhkan untuk hidup: Apple, BlackbBerry, Honda, Calvin Klein, Starbucks, dan sebagainya dan sebagainya. Dan sekali lagi, siapa yang menang? Korporat! Bangsat bukan?"

Kau tak pernah tahu karena aku tak pernah memberi tahu: kau selalu lucu ketika sedang memaki seperti itu. Tentu saja aku tak menertawakan pemikiranmu. Aku hanya berpikir bahwa makian itu tak seharusnya keluar dari bibirmu.
"Satu hal lagi, mereka yang gemar mengepalkan tangan kiri menggelorakan perlawanan namun masih suka menghisap rokok pabrikan sebenarnya adalah omong kosong tak berguna. Mereka adalah individu tolol yang dengan sukarela menyerahkan diri menjadi mangsa empuk kapitalisme."
"Lho, kok bisa?"
"Jelas. Industri tembakau adalah salah satu industri terjahat di muka bumi. Ketika tak mendapat tempat di negara maju, mereka akan mencari negara miskin sebagai pasar. Menyebarkan propaganda di kalangan muda bahwa merokok itu keren, jantan, dewasa, dan sebagainya dan sebagainya. Mereka menjadi semakin kaya dan berpesta pora dari racun yang mereka jual kepada jelata. Bla bla bla..."

Aku sudah tak bisa lagi sungguh-sungguh mendengar apa yang kau katakan. Aku hanya mencium wangi shampo yang meruap dari rambutmu dan melihat bibirmu yang tak henti bergerak-gerak. Aku tahu bahwa malam masih jauh dari selesai. Dan aku benar-benar tak ingin ini semua usai.


Pulo Gadung, 18 Oktober 2013

Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #9


Tak usah tertawa. Aku berani taruhan, jika dirimu berada di posisinya kau pasti juga akan melakukan hal yang sama: suka memperumit hal-hal yang sesungguhnya sederhana. Kau tak akan seketika menyebut kata "mata" untuk apa yang sedari kecil kau kenal sebagai mata. Kau mungkin akan menyebutnya sebagai: sepasang sesuatu serupa permata yang bisa kau gunakan untuk melihat dan merekam segala macam keindahan dan kebusukan kehidupan. Atau mungkin: butir hitam putih yang tampak lunak namun terkadang bisa setajam belati di mana dengan keduanya kau bisa mengintip segala yang ingin kau intip.

Begitu juga untuk menyebut hal-hal lain seperti merah, telinga, balon, kerikil, dan segala sesuatu yang sebenarnya kau tahu sudah memiliki nama yang lebih ringkas dan mudah dimengerti. Tanpa kau sadari, kau akan seketika gemar menggunakan rumus yang sama untuk menilai semua yang kau temui dengan kalimat-kalimat janggal yang terdengar sukar.

Kau tahu: cinta memang seperti itu. Dia sungguh asu. Kau yang biasanya selalu saja menemukan kedamaian dalam tidur terpaksa harus menanggalkan itu semua. Kau tak lagi menemukan jenak dalam dengkur atau pun jaga. Kau sadar sepenuhnya bahwa kau harus hidup lebih lama, namun di saat yang sama kau kesulitan untuk menelan segala macam jenis makanan.

Hingga pada suatu titik, kau sudah tak mungkin lagi untuk menyebut apa yang menderamu itu sebagai "cinta". Kau pasti akan menyebutnya dengan kalimat berbelit rumit yang sungguh panjang lebar seperti ini: sebuah gelisah yang tak habis-habis serupa debur yang terus berdebar bagai rindu seorang anak pada hangat dan lembap selangkangan ibunya yang mana perasaan itu sanggup membuat siapa saja yang mengalaminya akan dengan mudah melakukan sesuatu yang sebelumnya tak pernah dia mimpikan dan bayangkan. Tak berhenti sampai di situ, kau mungkin masih akan melanjutkannya dengan barisan kalimat lain yang jika disatukan pasti akan mengalahkan tebal kitab-kitab suci karya para nabi baik yang asli maupun yang palsu. Begitulah. Kau tahu: dia sungguh asu.



Utan Kayu, 12 Oktober 2013

Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #8


Tak usah kau tanyakan bagaimana aku bisa membayangkan semuanya dengan sangat-sangat nyata. Saat itu, segores sinar matahari pertama menusuk masuk di sesela gorden jendela kamar kita. Garis cahaya mencipta terang gelap di salah satu sudut dahimu: tempat bulu-bulu halus bersetia menanti kecup di ujung pagi. Sementara sisa hujan yang menguar tak henti menampar-nampar kesadaran yang kuyup usai persetubuhan semalaman. Kubayangkan rombongan codot di luar berputar-putar sebentar untuk kemudian meluncur mencari jalan pulang, bersembunyi mencari ruang gelap yang pengap: sebuah tempat di mana segala sesuatunya selalu mampat.

"Kenapa seorang komunis selalu berwajah murung?" kau menyurukkan wajahmu ke ketiakku. Sementara selimut tebal yang sedari malam menutupi tubuh telanjang kita masih saja menebarkan hangat yang sama. Menyimpan wangi tubuhmu dengan caranya yang sempurna: serupa kukusan yang menyekap uap lembab.
"Mungkin karena mereka tak pernah benar-benar yakin akan kemenangan."
Lalu kita menangkap suara anak-anak ayam yang berceloteh di sudut halaman depan. Kau dan aku selalu saja tak pernah sependapat, siapa di antara mereka yang akan menemukan cacing pertama di pojok kolam: tempat di mana dirimu menanam  warna-warni bunga yang tiap hari kau sirami dengan segelas cinta.

"Apakah seorang komunis pernah benar-benar meyakini sesuatu?" kau terus memeluk sambil mendongakkan kepala untuk kemudian menatap kedua mataku lekat-lekat. Ada setitik keringat yang mengembun di sudut alis. Ah, andai kau pernah benar-benar berkaca: betapa kau akan menemukan sekumpulan kunang-kunang yang tak pernah lelah beterbangan. Binar yang selalu saja sanggup membuat hantu-hantu tak henti gemetar.
"Aku hanya tahu apa yang sungguh aku yakini."
"Apa itu?"
Tak ada lagi perbincangan setelahnya. Karena yang terjadi kemudian adalah ini: bibir kita perlahan mendekat untuk kemudian bersilumat. Kau sempat mendesis perlahan untuk mengulang kembali pertanyaanmu. Namun kita sama-sama paham, kau tak pernah benar-benar membutuhkan jawaban. Seperti halnya kita yang sudah lama tak butuh Tuhan.


Utan Kayu, 10 Oktober 2013

Tentang Cinta yang Membusuk di Lagu-lagu #7


Tentu saja kau boleh membayangkan suasana yang sedikit lebih dramatis:
Barisan petir bersikilat. Mengerjap di sebalik gorden yang cabik dimakan ngengat. Ibu memeluk kami di sudut ruang; aku yang belum genap sepuluh tahun dan adikku yang masih menetek sehari lebih dari lima kali. Sementara ayah berdiri gagah menghadap jendela. Janggut panjangnya sedikit berkibar sedang tangan kanan memegang tongkat kasti, serupa Musashi yang bersiap menyambut serangan pertama Arima Kihei.

Tapi seingatku, suasananya jauh lebih sederhana dari itu:
Hanya semacam pagi dan wangi kopi dan hujan yang tak juga kunjung berhenti. Tempias yang menjilati kaca jendela mengaburkan pandangan ke arah taman di sudut halaman depan. Ayah membaca koran bekas yang ditemukannya entah di mana. Adikku sudah tidur lagi usai dimandikan dan diguyur minyak telon dan dibedaki sekenanya. Sementara ibu; yang kuingat benar tampak anggun dengan gaun bebunga warna hijau limau; mulai menumpahkan kata-kata seperti biasanya. Kelas filsafat ringan yang harus kucerna bersama nasi goreng cabai hijau pedas buatannya.

"Ingat, kita tak mungkin kehilangan sesuatu yang tak pernah kita miliki," katanya sambil tak henti merajut entah apa. Mungkin sweter untuk adikku atau mungkin kerudung yang akan dikenakannya ketika jalan-jalan pagi ke pasar. Jemari itu tampak lincah memainkan dua jarum yang terbungkus benang wol warna ungu. "Cobalah hanya mempertahankan sesuatu yang memang harus dipertahankan. Menjaga sesuatu yang memang layak untuk dijaga."

Aku masih diam sambil membayangkan, betapa surga diciptakan bagi mereka manusia-manusia terpuji: termasuk mereka yang memilih sembunyi di balik selimut ketika hujan di pagi hari. Kau tahu, ibuku tentu bukan malaikat. Tapi dia adalah manusia paling lugas dan apa adanya sedunia. Dia akan mengatakan bahwa dia suka ketika dia benar-benar menyukai sesuatu. Dan sebaliknya, dia akan serta merta mengatakan benci jika dia memang membenci sesuatu itu.

Hujan masih saja menetes seperti ingus yang bandel ketika tiba-tiba ibu menghentikan rajutannya untuk kemudian menatap mataku dalam-dalam. Seketika aku berhenti mengunyah, berusaha mencerna arti tatapan yang hingga kini kadang masih singgah dalam mimpi-mimpi murungku, "Hidup bukan sekadar tentang seberapa banyak yang bisa kita kumpulkan. Tapi terkadang juga bagaimana cara kita melepas ikatan."

Di titik itu, aku mengambil keputusan: usai kuhabiskan susu cokelat hangat yang tinggal separuh gelas, aku akan kembali ke kamar. Menarik selimut untuk melupakan kalimat-kalimat ibu. Tentu saja aku tahu dan percaya sepenuhnya, bahwa menjadi tua adalah sesuatu yang sulit. Tapi sumpah mati, ketika itu umurku baru sepuluh tahun. Seperti halnya kematian, kerumitan pasti akan datang: tepat pada waktunya.

"Kau lelaki. Kau harus belajar kapan waktu yang tepat untuk beranjak pergi," kuliah ibu belum berhenti.


Utan Kayu, 13 Juli 2013
 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent