Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Nurul dan Sejumlah Keganjilan*

Judul Buku: Semusim, dan Semusim Lagi
Penulis: Andina Dwifatma
Editor: Hetih Rusli
Isi: 232 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 8 April 2013

***
 
Satu hal yang ingin saya katakan di awal sebelum saya bicara panjang lebar: bahwa membaca novel Semusim, dan Semusim Lagi (selanjutnya akan disebut: Semusim) karya Andina Dwifatma mengingatkan saya pada banyak hal. Salah satunya adalah pada novel Misteri Soliter karya Jostein Gaarder. Memang tidak persis sama dan bahkan ada banyak hal yang berbeda, tapi kemunculan Sobron (ikan mas koki yang bisa bicara itu) membawa ingatan saya akan kartu-kartu remi yang hidup di novel tersebut. Setidaknya: ada semangat surealisme yang serupa.

Sementara di sisi lain, entah sebuah kebetulan atau memang sesuatu yang disengaja, alur pembuka Semusim ini juga memiliki kemiripan dengan novel Jostein yang lain, yaitu Dunia Sophie: di mana pada suatu hari seorang gadis remaja menerima sepucuk surat misterius. Jika di Dunia Sophie, sang gadis menerima sepucuk surat yang berisikan sebuah pertanyaan, “Siapa kamu?” sementara tokoh di Semusim menerima sepucuk surat dari seseorang yang mengaku sebagai ayahnya.

Adegan di rumah sakit jiwa juga mengingatkan saya pada novel Veronika Decides to Die karya Paulo Coelho, di mana sang tokoh utama diberi berbagai macam obat yang tak perlu hingga keadaannya justru semakin memburuk dan pada suatu ketika melihat pasien lain yang sedang disetrum oleh petugas.

Lalu, apa yang salah? Tidak ada. Saya cuma mau bilang, bahwa novel ini mengingatkan saya pada banyak hal, termasuk pada seorang kawan sekelas saya waktu SMA yang gemar menyendiri dan tak suka bergaul dengan banyak orang. Ketika itu, sementara gadis-gadis lain suka membaca majalah remaja semacam Aneka Yess! atau Kawanku, kawan perempuan saya itu lebih suka membaca majalah Misteri dan Liberty. Mungkin, dia memang tidak benar-benar memiliki masalah kejiwaan seperti tokoh ‘aku’ di novel Semusim, tapi setidaknya (saat itu) saya dan kawan-kawan yang lain menganggapnya begitu. Untuk itulah, mulai dari sekarang, saya (secara semena-mena dan tanpa persetujuan penulis) akan menyebut tokoh ‘aku’ dengan nama kawan saya itu: Nurul.

Tentu saja tindakan kurang ajar ini boleh digugat. Namun, saya terinspirasi sang tokoh ‘aku’ di novel Semusim yang gemar mengganti nama orang lain yang dirasanya kurang menarik atau menyematkan nama sesukanya ke orang yang tidak dia kenal. Lihat saja bagaimana dia menyebut ayahnya sebagai ‘Joe’, hanya karena nama sang ayah ternyata tidak sekeren yang dia bayangkan, sementara semua lelaki hebat dan keren yang diketahuinya (pasti) bernama Joe (hlm. 58). Juga, bagaimana dia menyebut seorang polisi wanita dengan nama ‘Maria’, karena perempuan itu memiliki wajah sedih seperti ibu yang anaknya disalib orang (hlm. 146). Toh, kata Barthes: ketika sebuah teks terlahir, maka sang pengarang sudah ‘mati’, bukan?

Secara garis besar, ide dasar novel Semusim ini terbilang sederhana: yaitu tentang kondisi kejiwaan seorang remaja perempuan yang tak pernah mengenal ayahnya sejak kecil. Namun, berkat kepiawaian penulis dalam bertutur dan memainkan alur, ide dasar yang sebenarnya sederhana itu menjelma sebuah kisah yang menarik dan lumayan menyenangkan untuk diikuti.

Diceritakan di novel Semusim, saat mempersiapkan diri untuk memulai kuliah di jurusan Sejarah di sebuah universitas swasta, Nurul menerima sebuah surat dari seseorang yang mengaku sebagai ayahnya. Memenuhi undangan sang ayah, dia meninggalkan rumah ibunya untuk kemudian tinggal di sebuah rumah yang dipersiapkan ayahnya di kota S. Di kota tersebut, Nurul bertemu sejumlah hal baru yang mengubah hidupnya, mulai dari jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan seorang mahasiswa bernama Muara, hingga bertemu seekor ikan mas koki yang bisa bicara.

Secara asyik, Andina memasukkan fakta-fakta di dunia nyata yang jarang diketahui orang menjadi bagian dari isi cerita. Lihat saja halaman 24 yang membahas tentang larangan berambut gondrong bagi para lelaki yang pernah diberlakukan pemerintah Indonesia pada tahun ‘70-an. Juga, bagaimana Andina menyisipkan referensi tentang buku atau musik bagus di dalam kisahnya. Menurut saya, itu menyenangkan, tapi seperti hal-hal lain yang ada di dunia: tak ada kesenangan yang sempurna.

Novel dan pembacanya ibarat sepasang kekasih yang menjalin hubungan cinta. Dalam sebuah hubungan, satu atau dua kesalahan kecil tentu bisa dimaklumi dan bahkan dianggap sebagai semacam bumbu penyedap. Namun, jika kesalahan-kesalahan kecil itu muncul terlalu sering, tentu saja tak sehat untuk masa depan kedua belah pihak. Begitu juga yang terjadi ketika saya membaca novel Semusim ini.

Sebelum bicara lebih lanjut, mungkin perlu dijelaskan bahwa apa yang saya sampaikan sama sekali bukan didasari keinginan untuk mencari-cari kesalahan. Bahwa semua yang nanti akan saya kemukakan adalah murni apa yang saya temukan. Saya harap kita semua bisa bersepakat, bahwa mencari dan menemukan adalah dua proses yang sama sekali berbeda.

Di halaman 42, Andina menulis:

Satu hal paling lucu tentang orang dewasa adalah: kau bisa mengatakan hal paling konyol atau kebohongan paling musykil dan mereka tidak akan tertawa, bahkan memercayai apa yang kau katakan, selama kau bicara dengan gaya yang teramat meyakinkan.

Tokoh Nurul di novel ini mungkin benar, tapi sepertinya justru Andina yang lupa: bahwa yang memiliki sifat ‘lucu’ semacam itu sesungguhnya bukan hanya ‘orang dewasa’, tapi juga ‘pembaca’. Sebagai penulis, siapa pun punya hak mutlak untuk berbohong sesuka hati, asalkan ia tampil meyakinkan. Salah satu contoh penggambaran yang tidak meyakinkan adalah yang tertulis di halaman 43, di mana Nurul menceritakan bagaimana pertemuan pertamanya dengan JJ Henri, seorang karyawan sekaligus kawan dekat sang ayah:

Mobil yang dikendarai JJ Henri adalah Peugeot berwarna biru tua. Aku selalu suka mobil Peugeot karena mungil dan punya lampu depan seperti mata binatang, sehingga dengan plat mobil yang terletak di tengah-tengah bemper, ia seperti kumbang besar yang sedang nyengir.

Begini. Penulis kisah fiksi itu tak ubahnya tukang kibul. Ia boleh ngibul sesuka hati dengan menceritakan kisah yang paling absurd atau paling surealis, tapi (sekali lagi) intinya hanya satu: ia harus tetap meyakinkan, agar pembaca-pembacanya tersihir dan percaya dengan kibulannya. Sementara itu, yang saya temukan dalam kalimat-kalimat yang saya kutip tadi, tidak mencerminkan teori itu.

Sebagai produsen mobil, Peugeot berdiri sejak 1882 di Prancis. Sejak kelahirannya, tentu sudah berbagai jenis dan model mobil ini yang dilempar ke pasaran. Karena itu, jujur saja saya sedikit bingung: mobil Peugeot jenis apa yang sesungguhnya dikendarai JJ Henri—yang konon ‘mungil dan punya lampu depan seperti mata binatang’? Kebetulan saya bukan penggemar otomotif dan satu-satunya mobil Peugeot yang pernah saya tebengi adalah Peugeot 305 milik seorang kawan, yang menurut saya tidak lebih mungil jika dibanding mobil-mobil merek lain. Bahkan ketika saya nekat mencari-cari referensi di Google, ternyata saya tidak pernah menemukan alasan bahwa ‘sepasang lampu depan mobil Peugeot lebih tampak menyerupai mata binatang’ atau ‘lebih tampak seperti kumbang yang sedang nyengir’ dibanding mobil lain.

Tentu saja sebenarnya hal ini bisa diselamatkan andai Andina lebih detail dan spesifik dalam menyebut jenis dan tipe mobil yang dimaksud, atau memilih jenis mobil lain yang lebih memiliki karakter khas, seperti Cooper atau Morris yang memang berukuran mungil, atau Mercedes-Benz SLS AMG yang memiliki pintu layaknya sepasang sayap rajawali. Namun, tidak. Andina memilih mobil Peugeot berwarna biru tua. Itu saja.

Mungkin hal ini memang terdengar remeh dan sederhana. Namun, wajib diingat, bahwa tugas seorang penulis adalah terus-terusan memikat hati pembaca. Seorang pembaca punya kewenangan mutlak. Begitu dia merasa kecewa dan sadar sedang dikibuli dengan cara yang tidak meyakinkan, selalu terbuka kemungkinan dia akan menutup buku dan tak melanjutkan proses pembacaan. Padahal, kita sama-sama tahu, tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang penulis ketimbang sebuah karya yang tidak dibaca habis.

Menulislah buruk, lalu jadikan bagus saat proses penyuntingan. Saya pernah mendengar petuah ini dari seorang penulis handal (yang tidak saya ingat namanya). Jika kita pernah berusaha melahirkan sebuah karya tulisan, kita akan tahu bahwa ini adalah petuah yang sungguh bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ketika kita sudah berniat untuk melahirkan sebuah tulisan bagus sejak awal mulai menulis, hampir bisa dipastikan bahwa tulisan bagus yang kita gadang-gadang itu hanya akan berhenti di pikiran dan tak akan pernah tercipta. Sebaliknya, jika kita nekat menulis tanpa pernah benar-benar memikirkan baik atau buruk, tulisan itu akan sungguh-sungguh bisa dibaca (meski mungkin buruk) dan selanjutnya bisa diperbaiki menjadi tulisan bagus (dengan penyuntingan yang bisa saja dilakukan berkali-kali). Lalu, kapan sebuah proses penyuntingan itu harus dihentikan? Adalah saat segala sesuatunya sudah tampak sempurna dan tak ada lagi celah yang bisa membuat pembaca tak yakin akan kisah yang kita ceritakan.

Secara membabi buta saya menuduh bahwa Andina memiliki masalah dengan persoalan kapan seharusnya berhenti menyunting, hingga akhirnya hal-hal remeh yang seharusnya bisa diperbaiki hanya dengan menambahkan atau menghapus atau mengganti satu kata dengan kata lainnya, justru menjadi pengganggu yang tak perlu. Salah satu contohnya adalah yang tertulis di halaman 44:

Setelah meletakkan tas punggung di jok belakang dengan hati-hati, aku duduk di kursi penumpang dan memasang sabuk pengaman. JJ Henri memasukkan sekeping CD dalam stereo mobilnya. Sebentar kemudian terdengar alunan musik blues dan seorang kulit hitam menyanyi dengan nada memilukan:

Beberapa tahun lalu, sempat muncul kontroversi terkait metode aktivasi otak tengah, sebuah pelatihan berbiaya mahal yang dikhususkan bagi anak-anak kaum mampu. Dalam pelatihan yang belakangan terbukti penuh tipuan itu, anak-anak diajari teknik mencium warna: sebuah ilmu tingkat tinggi yang konon diadopsi dari kemampuan lumba-lumba (yang sebenarnya andaikan benar-benar bisa dipelajari manusia, tak pernah saya pahami apa fungsinya di kehidupan nyata). Dengan mata tertutup, sang anak yang sudah diaktifkan kemampuan otak tengahnya (yang konon secara medis, ‘otak tengah’ sendiri juga sekadar mitos) diharuskan bisa menyebutkan warna dari sebuah kertas yang ditempelkan di depan hidungnya. Dan rupanya, si Nurul di novel ini juga memiliki kemampuan yang kurang lebih sama: melihat suara. Dia bisa tahu apakah seorang penyanyi itu berkulit hitam atau tidak hitam hanya dengan mendengar suaranya. Mungkin saja hal ini bisa dibantah dengan pernyataan bahwa: mayoritas penyanyi blues adalah berkulit hitam atau orang kulit hitam punya karakter suara yang khas. Namun, tentu saja bantahan itu hanya sia-sia belaka.

Sebenarnya saya memiliki sekian catatan tentang hal remeh-temeh yang bisa saya permasalahkan di sini. Salah satunya adalah inkonsistensi kondisi sel di kantor polisi yang sempit berjeruji dan berisi sejumlah benda, termasuk di antaranya kasur tipis dan bantal yang belum-belum sudah menguarkan bau apak (hlm. 151). Sebuah kasur tipis, ditulis begitu. Namun, tanpa diduga, dalam penjelasan-penjelasan sesudahnya (salah satunya di hlm. 158), disebut bahwa di dalam sel itu ada sebuah dipan (benda yang tidak pernah ada dalam penjelasan sebelumnya).

Belum lagi perkara metafora yang terkadang terdengar berlebihan. Lihat saja yang tertulis di halaman 107:

Kepalaku berat dan mataku berkunang-kunang. Rasanya seperti ada rombongan gajah berlari-lari di dahiku.

Atau yang tertulis di halaman 116:

Kepalaku terasa sakit seperti ditusuk-tusuk dengan garpu panas.

Bahwa tak pernah ada batasan yang pasti terkait pemakaian metafora, itu benar. Dan mungkin banyak di antara kita yang pernah merasakan pening yang sungguh keterlaluan. Namun, menurut saya, dahi yang diinjak-injak sekumpulan gajah atau kepala yang ditusuk-tusuk dengan garpu panas sepertinya bukan perumpamaan yang tepat untuk kondisi sakit kepala (dan bahkan terdengar agak terlalu mengerikan). Namun, tentu saja saya tidak akan berlarut-larut dengan mengetengahkan kesalahan-kesalahan kecil semacam itu. Sekali lagi, saya tidak mau disebut-sebut sedang mencari-cari kesalahan orang lain: meski, jujur saja, saya sebenarnya mendapatkan sedikit kebahagiaan ketika melakukan itu.

Beruntung, kesalahan-kesalahan remeh itu diselamatkan dengan cara bertutur yang asyik. Andina sudah tidak memiliki masalah dengan hal teknik bercerita atau mengatur alur. Hal itu cukup membantu, membuat saya sebagai pembaca tak begitu menganggap serius kesalahan-kesalahan kecil yang sudah saya sebutkan tadi. Meski begitu, menurut saya ada satu lubang besar hingga agak sulit untuk ditambal dengan apa pun, yaitu penokohan sang tokoh utama sendiri.

Nurul di novel ini adalah seorang gadis berusia 17 tahun yang sejak kecil memendam banyak tanda tanya di otaknya. Disebutkan bahwa dia adalah seseorang yang begitu ingin tahu tentang sejarah benda-benda dan awal mula segala sesuatu. Konon, ada sesuatu tentang sejarah yang selalu menarik minatnya (yang akhirnya membawanya untuk mendaftar ke jurusan Sejarah di sebuah universitas swasta). Ketika kecil, setiap kali menemukan benda-benda baru, maka yang akan muncul pertama di otaknya adalah: siapa yang pertama kali menemukan dan memberinya nama?

Seperti yang dia ungkapkan di halaman 10, bagaimana ketika dia berkenalan dengan benda bulat dengan gagang di pinggirnya dan bisa dipakai untuk minum (yang kemudian dia kenal sebagai gelas), maka yang muncul di otaknya adalah: siapa yang pertama kali memiliki ide untuk membuat gelas dan bagaimana ide itu datang? (Sekadar catatan: sebenarnya saya lebih mengenal alat minum yang disebut tadi, yang konon ada gagangnya itu, sebagai cangkir. Namun, sudahlah, mungkin Nurul dan saya memang dibesarkan dalam dua budaya yang sama sekali berbeda.) Juga, bagaimana Nurul kecil yang tak begitu berminat ketika diajak bermain petak umpet. Menurutnya petak umpet itu sia-sia semata, sebelum kita mengetahui siapa yang pertama kali memiliki ide tentang permainan tersebut.

Nah, di sinilah saya menemukan sebuah lubang yang agak mengganggu. Adalah sesuatu yang menarik bagi saya, ketika ada seseorang yang demikian kritis dan dipenuhi rasa ingin tahu tentang sejarah benda-benda dan awal mula segala sesuatu, tetapi di sisi lain justru abai terhadap sejarahnya sendiri. Di halaman 20 dikatakan:

Seumur hidup aku hanya tinggal bersama ibuku, berpura-pura bahwa kata ‘Ayah’, ‘Bapak’, dan sejenisnya tidak ada dalam kamus, dan aku merasa baik-baik saja.’

Seperti yang saya bilang, ini adalah sesuatu yang menarik (atau lebih tepatnya: janggal).

Descartes pernah bilang: cogito, ergo sum—aku berpikir, maka aku ada. Gagasan tentang aku-diri-ego itu jugalah yang melandasi ajaran Buddha tentang vipassanā, praktik menyadari pikiran untuk mencapai kondisi lepas dari penderitaan-annata-tanpa aku. Artinya adalah, bahwa sesungguhnya eksistensi diri itu berangkat dari pikiran. Segala sesuatu itu menjadi ‘ada’ ketika pikiran bergerak, dan sebaliknya: menjadi ‘tidak ada’ ketika pikiran berhenti. Ketika pikiran manusia mulai bergerak, maka yang kali pertama muncul adalah konsep ‘aku’—untuk kemudian membuat sebuah dinding tinggi yang membatasinya dengan ‘bukan aku’. Seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri, ‘aku’ yang lahir dari pikiran itu membuat sebuah pertanyaan pertama dan utama: siapa aku—dari mana kemunculanku? Hal ini bisa dibilang sebagai pikiran yang mempertanyakan pikiran. Untuk itulah, adalah sesuatu yang agak ganjil ketika tokoh Nurul bersedia repot-repot mempertanyakan sejarah benda-benda dan hal remeh yang ‘bukan aku’ semacam gelas dan permainan petak umpet, tetapi di lain sisi justru sama sekali tak mempertanyakan tentang ‘aku’: siapa sebenarnya ayahku, atau pertanyaan yang lebih besar: dari mana kemunculanku?

Apakah Nurul seorang religius atau tidak religius itu bukan sesuatu yang penting untuk dijawab. Yang jadi pertanyaan adalah: bagaimana bisa seorang Nurul yang terlahir dengan kapasitas otak berlebih untuk mempertanyakan asal muasal segala hal, justru sama sekali tidak mempertanyakan asal muasal tentang keberadaan dirinya sebagai manusia. Di halaman 187 hanya dijelaskan secara singkat, bagaimana Nurul cuma menggeleng ketika ditanya apa agamanya dan mengatakan bahwa ibunya tak pernah mengajarinya tentang Tuhan sehingga dia hanya belajar sendiri dari kitab suci. Tak ada penjelasan lebih lanjut tentang fase itu—tak ada bocoran kenapa dia akhirnya hanya percaya Tuhan kadang-kadang. Di titik inilah, saya merasakan suatu ketidakwajaran yang lumayan mengganggu.

Sejumlah pertanyaan yang sepertinya akan lebih baik jika dijawab ternyata juga dibiarkan mengambang begitu saja hingga akhir cerita. Alasan kenapa ayah dan ibu tokoh Nurul berpisah, misalnya. Atau berapa sebenarnya usia Nurul ketika Joe meninggalkannya? Tiga bulan atau 1,5 tahun? Lalu, apa hubungan novel ini dengan puisi Surat Kertas Hijau karya Sitor Situmorang yang ditulis di sampul belakang?

Jika ada yang bertanya kepada saya tentang novel ini, saya akan menjawabnya secara jujur: saya suka (meski sebenarnya tak pernah benar-benar membuat saya jatuh cinta). Ibarat sebuah bangunan rumah, novel ini dibuat dari bahan-bahan yang bermutu, dengan teknik pengerjaan yang mumpuni, dan desain yang indah. Namun, sayang, ada kekurangtelitian yang menyebabkan sejumlah paku masih menonjol di beberapa bagian sementara beberapa bagian lainnya justru lupa untuk dipaku. Cat yang kurang rata dan berlepotan juga tampak di beberapa sudut kamar, sementara ruangan utama yang seharusnya diberi jendela yang cukup lebar justru hanya diberi ventilasi kecil, hingga akhirnya agak terlalu gelap dan pengap. Namun, secara keseluruhan, rumah ini lumayan menyenangkan untuk dihuni. Sekarang masalahnya, tinggal bagaimana kita pintar-pintar memilih kawan serumah. Begitu saja.


Rawamangun, 29 September 2014

*Ditulis sebagai pemantik diskusi novel “Semusim, dan Semusim Lagi” karya Andina Dwifatma yang digelar oleh Para Penggerutu, Sarekat Pembenci Karya Buruk, dan Jumpa Lagi Book Club pada 30 September 2014.

1 komentar:

  1. Terekam mengatakan...
     


    It's Another great article from you. Imagine what it would look like in the form of a clothes, puzzle and calendar.
    Thanks

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent