Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Ketika Sajadah Terganti Blackberry

; Eksibisionisme Religiusitas Sebagai Upaya Memperjuangkan Eksistensi


Menarik. Sesuatu yang menarik ketika kita memperhatikan fenomena yang terjadi belakangan. Semakin hari semakin banyak saja do'a-do'a yang berseliweran di situs jejaring sosial (dalam hal ini Facebook). Kalimat semacam ‘Ya Allah.. Hanya kepada-Mu aku menuju.. Terima kasih untuk semua yang Kau beri untukku…’ atau ‘Bapa aku butuh bahu-Mu untuk menopang bebanku… Beri aku kekuatan untuk menghadapi hari ini..’ menjadi semacam menu wajib yang kita temui setiap hari. Inilah titik di mana kepercayaan ketemu materi. Tuhan ketemu teknologi. Seperti sepasang rel yang awalnya berjalan beriringan, tiba-tiba di satu waktu mengerucut… dan ... bertemu. Menyatu.

'Kenapa ya kira-kira?', seorang kawan bertanya. Menurut saya kemungkinannya hanya tiga. Pertama, mereka yang berdoa dengan cara itu mempunyai harapan agar orang lain tahu apa yang mereka inginkan. Kedua, mereka berharap orang lain tahu bahwa mereka adalah umat yang shaleh. Ketiga, mereka pikir Tuhan adalah pengangguran yang punya banyak waktu luang untuk membuka-buka acount FB, lalu membaca status yang ditulis manusia, untuk kemudian mengabulkannya. Atau kalau tidak, minimal jempol Tuhan teracung untuk status mereka, God Like It !!!'. Seorang kawan terbahak. Sementara yang lain memerah, 'Ngeliatnya positif aja bro...'. Lha?? Positif?? Kurang positif apa coba??

Baiklah. Mari kita telaah. Yang namanya situs jejaring sosial kan tidak sama dengan diary (oldschool nii... :)). Kalo diary itu kan yang baca kita sendiri, makanya banyak dijual diary yang berkunci (saya kurang tahu apakah di jaman serba transparan ini buku harian semacam itu masih tersedia di toko buku atau tidak). Tapi kalau situs jejaring sosial? Siapa saja bisa membacanya. Yang ada di sana adalah ketelanjangan. Lalu motivasi apalagi selain 'agar orang lain tahu sesuatu yang kita pikirkan / rasakan' ketika kita menuliskan sesuatu di sana? Termasuk juga do'a-do'a tadi? (Ah, jadi teringat si Narcissus yang dikutuk untuk mencintai bayangannya sendiri)

'Aku juga muak dengan status-status alay kayak gitu... Caper...', seorang kawan lantang berkata. Dan giliran saya yang terbahak. Menyadari bahwa dia benar. Situs pertemanan ini sudah menjelma menjadi situs per-caper-an. Semua orang (termasuk saya tentu saja :) berebut untuk menjadi pusat perhatian. Ingin diperhatikan. Tapi tak cukup berani untuk telanjang (Tak seperti Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari). Di titik inilah saya tiba-tiba ingat Sartre. ‘L'existence précède l'essence’, katanya. ‘Eksistensi mendahului esensi’. Ajaran Descartes untuk berpikir-pun tak penting lagi. Yang ada cuma Updato Statuso Ergo Sum. Saya update status maka saya ada.

Saya masih ingat benar pengalaman masa kecil dulu dengan almarhumah nenek saya. Suatu malam, secara tak sengaja saya masuk ke kamar beliau yang gelap. Jengkerik mengerik di luar kamar. Di samping nyala lentera yang berkedip-kedip (saya tinggal di pelosok desa yang ketika itu belum terjamah listrik), saya temukan beliau mengenakan mukena putih pudar terduduk di atas sajadah kumal. Mata terpejam (samar terlihat sesuatu yang berkilat di sana, serupa tetes hujan), sementara jemari memetik butir tasbih. Bibir tuanya yang berkeriput komat kamit mengucap sesuatu. Subhanallah subhanallah subhanallah…. mungkin kira-kira begitu. Di atas sajadah kuning kumal, nenek saya menikmati sunyi. Berdoa. Tiada siapa-siapa. Hanya dia. Dan Tuhan (tentu saja).

Sementara beberapa waktu yang lalu, saya duduk di sebuah gerai Mc Donalds bersama seorang kawan. Autisme yang diakibatkan oleh teknologi telah menjangkiti kami. Meski berdua di tempat yang sama, tiada kata-kata. Hanya suara cetak cetik keypad yang mengisi udara. ‘Ya Allah, beri aku kekuatan untuk menghadapi semua ini. Hanya Kau yang mampu mengerti aku…’, status terbaru kawan saya muncul di wall. Dan saya tersenyum. Teringat cara almarhumah nenek saya berdo'a. Sunyi, sepi, dan sendiri. Tak ada satupun di dunia ini yang tahu apa yang ketika itu nenek saya harapkan. Selain Tuhan. Sementara do'a kawan saya? Dilakukan di riuh gerai Mc D, dengan backsound musik sember entah band apa namanya, dan yang pasti: isi do’anya diketahui semua orang yang ada di friendlist-nya!!

'Orang berdo'a kok dilarang?', ada suara sumbang. Puji Tuhan! Saya menepuk jidat. Terkutuklah saya jika melakukan itu. Sumpah mati, saya sama sekali tidak melarang. Saya belum cukup gila untuk melakukan itu. Orang mau bunuh diri saja tidak akan saya larang (dengan catatan: dia melakukannya dengan penuh kesadaran), apalagi orang berdo'a. 'Berdo'a kan bisa di mana saja', suara yang lain lagi. 'Yup, anda benar'. Bisa di mana saja. Bisa dengan cara apa saja. Benar sekali. Dan saya juga sama sekali tidak menyalahkan cara berdo'a yang baru semacam itu. Kenapa? Pertama, saya menyadari tidak punya cukup kapabilitas untuk menjustifikasi sesuatu itu salah atau benar. Kedua, benar salah adalah sesuatu yang sangat-sangat relatif dan subyektif. Seperti yang dibilang Imam Syafi’i, ‘Pendapatku benar, tapi mungkin mengandung kesalahan. Sementara pendapat orang lain salah, tetapi mungkin mengandung kebenaran.'

'Jadi gimana nih? Disebut melarang ga mau.. disebut menyalahkan, juga gitu.. Maunya gimana?'. Ya ga gimana-gimana. Lha wong saya itu cuma iseng-iseng berpikir. 'Berpikirlah terus sampai kau mual anak muda...', kawan saya tertawa melihat saya nyaris muntah. 'He he he.. Saya itu cuma berusaha untuk tetap sadar di tengah arus yang berkelebat di sekeliling kita. Itu saja. Meski seringkali gagal juga, tapi apa salahnya berjuang untuk tidak menjadi satu di antara individu-individu pingsan yang hanyut dalam arus yang menggempur dunia sekitar kita? Terseret arus tanpa mengerti akan dibawa kemana?', Kawan saya diam. Angin sore membawa aroma kuburan. 'Terberkatilah mereka yang hanyut... Semoga Tuhan bersama mereka'.



***



Utan Kayu, 9 Juni 2010

0 komentar:

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent