Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Belajar Pesimis dari Muhammad

Selesai?? Anjing!! Melengking. Serapah menyumpah. Dan jaripun kembali mencari. Mata menyusur. Siapa tahu ada yang terlewati. Halaman depan, tengah, belakang. Nol besar. Memang tak ada. Cerita tentang Kashva memang cuma segitu adanya. Gila!!

Begitulah akhir cerita. Novel Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan yang hari-hari belakangan menemani saya, akhirnya selesai terbaca. Cuma satu kata yang ada: Kecewa. Ceritanya jelek? Sseorang kawan bertanya. Bukan. Lalu kenapa? Tak selesai. Tak usai.

Jadi begini. Secara garis besar, novel ini bercerita tentang (sepenggal) perjalanan hidup Sang Nabi ketika awal kelahiran Islam. Namun selain itu, Tasaro GK, sang pengarang, juga meramunya dengan kisah perjalanan Kashva, seorang cendekiawan muda Persia yang tertarik dengan ramalan kitab-kitab kuno tentang kedatangan nabi baru. Kashva adalah seorang intelektual yang berpikiran terbuka. Meski dia seorang pengikut Zardusht, dia sangat-sangat terbuka dengan agama-agama lain. ‘Mengetahui bagaimana agama-agama lain menerjemahkan bahasa Tuhan adalah sebuah proses yang mengasah otakmu, tidak selalu harus berakhir dengan pertukaran keimananmu’, kalimat-kalimat indah semacam inilah yang berserak di lembar-lembar novel ini.

Menurut saya pribadi, kisah Kashva-lah yang membuat novel ini jauh dari membosankan. Cerita nabi kalah menarik? Bukan begitu. Cuma kan kalo kisah nabi kita secara garis besar sudah tau sedikit kronologinya. Termasuk gimana ending dari Perang Badar, Perang Uhud, takluknya Madinah, dsb. Tapi kalo Kashva? Dia murni fiksi. Petualangannya meninggalkan Kuil Sistan di Persia, lalu tinggal di Gathas, lari ke perbatasan lalu mendaki menuju Tibet, menjadi tamasya imajinasi yang sungguh menyenangkan. Ditambah lagi dengan kalimat-kalimat puitis yang syahdu, cerita tentang pencarian dan ‘Sang Tercari’ ini menjadi sesuatu yang (pada awalnya saya kira) sempurna.

Bagaimana tidak, di tiap-tiap halaman kita akan dituntun untuk menyusuri ramalan kitab-kitab kuno tentang kedatangan nabi baru. Seorang Maitreya , begitu yang ada di ajaran Budha. Astvat-ereta, kitab Zardusht menyebut-nyebutnya. Juga yang di Kuntab Sukt disebut Mamah Rishi. Dia, yang juga sering diagung-agungkan Yohanes Pembabtis. Dia. Sang Himada. (Lalu apakah benar yang disebut-sebut dalam kitab-kitab ini adalah Muhammad? Wallahu’alam. Ini hubungannya dengan iman. Dan seperti halnya cinta, iman jarang-jarang butuh penjelasan)

Romantisme kisah cinta Kashva & Astu juga bumbu penyedap yang tak boleh diabaikan. Dimana mereka adalah korban-korban kondisi yang tak memungkinkan prosesi penyatuan adalah kisah tragis abadi yang tak habis-habis untuk selalu dieksplorasi.
‘Karena kupikir jika engkau bahagia, aku bisa rela’
Astu menoleh, rambutnya berkibaran. Wajahnya seperti puisi, 'Jadi, kau tidak pernah rela?'
'Aku sanggup hidup tanpa dirimu, bukan tanpa kenangan tentangmu.', jawab Kashva. Demikian Tasaro menceritakan cinta mereka. Romantis yang puitis. Namun tidak terjebak dalam kecengengan yang mendayu-dayu.

Tapi rupanya ekspektasi saya terlalu berlebihan. Saya terlalu berharap banyak terhadap novel ini. Dan endingnya ya itu tadi, serapah saya melengking ketika membaca kata ‘selesai’ di bagian belakang buku. Bukan apa-apa, saya cuma tak percaya saja. Bagaimana mungkin cerita yang belum selesai dipotong begitu saja?

Kisah Muhammad memang sudah usai. Madinah berhasil dikuasai. Tapi Kashva? Dia baru sampai di kaki Gunung Kailash, Tibet. Tak ada jawaban tentang siapa sebenarnya Biksu Tashidelek. Tak ada penjelasan tentang hubungan antara Mashya, pengawal Kashva, dengan Salman Al Farisi, pengikut sang nabi, yang sempat disinggung di halaman 182. Tak ada jawaban pasti tentang nasib Astu, Parkhida, dan penduduk Gathas. Juga kepastian nasib para penduduk perbatasan yang mereka tinggalkan dalam pertempuran. Dan semua itu cuma dijawab dengan adegan 'kebetulan', dimana tiba-tiba saja mereka bertemu Biksu Gyatso yang suka mengembara, dan ‘kebetulan’ baru saja kembali dari Persia. Karena itu dia bisa tahu bahwa kekuasaan Khosrou sudah tumbang, begitu juga nasib penduduk perbatasan, ‘hampir tak bersisa’, begitu katanya. Tak ada kelanjutan perjalanan Kashva. Cuma ada penutup seperti ini:

‘Menjelang petang, hari itu, rombongan Kashva berjalan lagi membelakangi arah terbitnya matahari. Ada perbedaan yang mencolok dibanding sebelum-sebelumnya. Kashva berjalan tegap dengan sorot mata yang misterius, dingin, dan berkuasa. Di depannya Vakhshur menjadi penunjuk arah yang teliti. Melihat tanda-tanda alam dan tak banyak bicara. Mashya kembali menjadi siapa dia yang dikenal orang-orang sebelumnya. Diam seribu bahasa. Menggendong Xerxes dalam kepatuhan seorang budak. Bedanya, kepala raksasanya menunduk. Seperti tengah menghitung pasir.
Matahari mencari jalan untuk pulang.’

Cuma itu. Cuma sampai di situ. Tak ada cerita tentang perjalanan mereka setelahnya. Tiba-tiba saja Kashva sudah berbincang dengan Elyas, sahabatnya, di pinggiran kota Madinah 8 tahun setelah Muhammad wafat. Tak ada cerita ketika rombongan Kashva di Cina (yang harusnya mereka lalui jika merujuk pada ‘Peta Perjalanan Jalur Kashva’ yang ada di halaman terakhir novel). Tak ada kelanjutan kisah Xerxes, bocah berpipi tembam, putra Astu yang dititipkan kepada Kashva. Juga Vakhshur, bocah kecil jago perang putra salah seorang penduduk perbatasan yang juga ikut dalam rombongannya. Begitu juga Mashya. Semuanya berhenti tak sempurna.

Tapi bagaimanapun, tak mungkin kita tak mendapatkan apa-apa dari apa yang kita lakukan. Selesai membaca novel ini, setidaknya saya mendapat satu pelajaran yang lumayan berharga. ‘Jangan terlalu berharap banyak terhadap akhir dari segala sesuatu’. Buku ini mengajari saya bagaimana caranya menjadi pesimis dengan cara yang sungguh-sungguh tidak manis.


***



Casablanca, 6 Agustus 2010

0 komentar:

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent