Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Islam Cerdas vs Islam Tolol

; yang tercatat dari In the Name of God



‘(Umat) Islam itu ada dua. (Umat) Islam cerdas dan (umat) Islam tolol’, kata saya suatu waktu.
‘Matamu’, seorang kawan mencak-mencak, ‘Islam itu rahmatan lil 'alamin. Itu artinya orang yang sudah masuk Islam berarti sudah dapet pencerahan. Mereka manusia-manusia pilihan’.
Duenggg!!! Baru saya sadar kalo saya bicara dengan manusia batu. Asu.

Saya bicara begitu bukan berarti melecehkan. Tapi (menurut saya) memang begitu. Ada umat muslim cerdas yang beriman dengan mengedepankan kedamaian, tapi ada juga yang beriman sambil terus memelihara permusuhan. Teks-teks Qur’an diimani secara gebyah uyah. Ditelan mentah-mentah. Teks dipisahkan dengan konteks. Ayat perang jaman jahiliyah diimplementasikan ketika Blackberry sudah jadi mainan bocah.

‘Jadi kamu menganggap Qur’an cuma berlaku di jaman nabi dulu?!’
Wassyaahh.. Malah saya difitnah. Saya tidak bermaksud mengatakan itu. Saya cuma pengen bilang, beragama itu tidak harus dengan cara ‘berkacamata kuda’. Menganggap yang kita imani itu benar tentu wajar. Tapi kalo terus mengatakan ‘iman yang lain’ salah kaprah? Wallaahh…

Tema besar itulah yang diangkat dalam In the Name of God. Ide menarik kalo saya kata. Terlebih di negeri ini, Indonesia Jenaka Raya. Sebuah negeri dimana seringkali dijumpai preman-preman bersorban berkeliaran di jalanan. Dimana teriakan ‘Allahuakbar’ bukan lagi diartikan sebagai puja-puji terhadap Tuhan, melainkan dianggap sama dengan tabuhan genderang perang. Negeri di mana banyak generasi muda yang bersedia dengan lapang dada meledakkan dirinya di hotel bintang lima untuk dapat akses instan menuju surga.

Cerita bermula dari sepasang kakak beradik yang berprofesi sebagai musisi di Lahore, Pakistan. Mansoor (Shan) dan Sarmad (Fawad Khan). Masalah bermula ketika pesta penyambutan tahun baru 2000. Panggung musik keduanya diserang kawanan bersorban yang meneriakkan takbir. Melihat hal itu, sang adik, Sarmad, merasa penasaran. ‘Kenapa?’, batinnya bertanya. Tapi sayang, Sarmad mencari jawaban di tempat yang ‘salah’. Akibat dari rasa ingin tahu berlebihan dan jiwa yang masih labil, Sarman dicuci otak oleh seorang ulama garis keras Taliban bernama Maulana Tahiri (Rasheed Naz). ‘Nabi Muhammad membenci lagu dan musik’, katanya. Sejak itulah Sarmad meninggalkan alat musik dan mulai menumbuhkan janggut dan cambang.

Sepeninggal Sarmad, mansoor terbang ke Chocago, AS, untuk belajar musik. Di tengah-tengah masa belajar (dan percintaannya dengan Janie -Austin Marie Sayre-), dua pesawat menabrak gedung kembar WTC. ‘Buuummmm!!!’, 11 September 2001. Islam lalu dimusuhi. Akibat ulah tetangga yang berprasangka buruk, Mansoor dalam situasi yang tidak menguntungkan. Agen CIA menciduknya dan melemparkan tuduhan dia terlibat dengan Osama dan Al Qaeda.

Sementara itu ada lagi tokoh Mariam (Iman Ali). Gadis London keturunan Pakistan ini dikawinkan paksa oleh ayahnya. Semua bermula karena sang ayah tidak setuju Mariam menikah dengan lelaki kulit putih non muslim. Sang ayah merasa, jika tidak menikahkan anaknya dengan pria muslim maka ia telah menodai agamanya sendiri. Karena itulah, sang ayah lalu mengawinkan Mariam dengan Sarmad yang sudah menjadi pejuang Taliban di perbatasan Pakistan dan Afghanistan.

Kisah-kisah itu berkelindan dalam film yang berdurasi hampir tiga jam. Tema menarik, sekali lagi saya kata. Tapi jujur saja, alurnya membosankan. Selama pertunjukan nyaris tak ada pergolakan yang memancing keingintahuan. Butuh tenaga ekstra untuk bisa menikmati film ini hingga tuntas. Alur yang sedemikian lambat, ditambah lagi dengan acting para pemain yang tidak spesial (kata lain untuk mengatakan: kaku), membuat beberapa penonton sesekali terlihat asik dengan Blackberry-nya ketimbang mengikuti alur cerita.

Film ini mengingatkan saya dengan produk dalam negeri yang dibintangi Dian Sastro dan Nicholas Saputra. 3 Doa 3 Cinta. Film inipun mengangkat tema yang sama. Islam cerdas vs Islam tolol. Setting cerita di sebuah pesantren di Yogyakarta. Tiga sahabat. Terorisme. Islam. Amerika. Tema itulah yang menjadi acuannya. Tapi hasilnya? Sama. Tidak (begitu) istimewa.

Tapi bagaimanapun, saya sama sekali tak merasa rugi menyisihkan sedikit waktu, tenaga, dan biaya untuk bisa menikmati film ini. Karena bagaimanapun banyak yang bisa kita ambil dari sini. Kalimat-kalimat pedas berseliweran. Mungkin bisa saja memerahkan kuping sebagian orang.
‘Percayalah, aku akan mengutukmu di alam baka. Orang yang punya banyak waktu untuk sholat tapi tak punya waktu untuk membela mereka yang benar’, kata Mariam kepada seorang ulama liberal yang (awalnya) tidak bersedia membantunya di pengadilan.
‘Saya bisa membaca tulisan Arab. Tapi tidak tahu artinya. Di Pakistan itu biasa’, kata Mansoor kepada agen CIA yang menyiksanya. Sentilan-sentilan halus bagi mereka yang seringkali terjebak pada iman yang cuma permukaan.

Akhir kata, buat anda yang punya waktu luang dan uang cobalah untuk menikmati film ini. Kecuali kalo anda adalah salah satu dari pengikut Taliban yang menganggap bahwa XXI, 21, Cineplex, bioskop, atau bahkan film adalah produk kafir Amerika yang hukumnya haram. Kalo memang begitu, saya sarankan anda sebaiknya memutuskan mati sekarang saja. ‘Surga’ sudah menunggu anda di sana. Begitu saja.


***


Casablanca, 13 November 2010

1 komentar:

  1. #nasaindonesia mengatakan...
     

    ulasan yg cerdas Bro, salud heheh
    Salam kenal dari bloger ajaran (alias newbe)yang harus banyak belajar. matur suwun
    http://aspirasi-asty.blogspot.com/

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent