
Like a Rollercoaster

Titik balik adalah kutukan abadi. Menyerang semua pribadi. Tak hanya berlaku bagi Amerika (dengan 11/9-nya). Seperti halnya rollercoaster, yang kadang di atas kadang di bawah. Begitulah hidup. ‘Roda itu berputar.. Kalau berdering itu namanya HP..’, seorang kakek tua berkhotbah di sunyi mushola. Begitulah. Atas - Bawah. Hitam - Putih. Hidup – Mati. Dualisme yang tak henti-henti. Yin Yang. Keseimbangan. Yang kadang dijembatani The Great Disruption tadi. Bencana besar yang sanggup mengubah sesuatu yang awalnya berwarna menjadi sesuatu yang cuma sephia. Yang mulanya tawa-tawa tiba-tiba menjadi hampa. Yang membuat hari ini dan kemarin tak lagi sama.
‘Yang kuatlah yang akhirnya bertahan’, kata Darwin. Karena itu kita musti selalu siap dengan evolusi. Bahkan sekali-kali; revolusi. ‘Bagaimana biar tak kalah? Biar tak mati dengan berdarah-darah?’. Mimikri, iritabilita, oportunisme, berdoa, banyak jawabannya. Tinggal cari mana yang kita bisa.
‘Menjadi mati itu gampang..’, kata seorang komandan perang. Beretta 92FS terselip di pinggang. Begitulah. Tinggal beli racun tikus, tenggak, tak sampai 3 detik nyawa pasti bergolak. Atau kalau mau sedikit lebih irit, cari mall terdekat. Naik ke lantai tertinggi, bungee jumping tanpa tali. Dijamin; pasti mati. Tapi selesaikah? Tidak!! Kenapa? ’Masalahnya bukan bagaimana cara untuk mati.. tapi bagaimana cara untuk hidup...’, sepenggal kalimat dari rahim akal sehat.
***
Utan Kayu, 18 April 2010
('Life is a rollercoaster just gotta ride it...', speaker tua bersuara lagu entah siapa. Ronan Keating kayaknya..)
0 komentar:
Posting Komentar