Yang hidup yang penting.. Bukan yang mati..
:Membaca The Photograph
Kalimat tokoh yang diperankan Lim Kay Tong itu saya pikir sudah cukup menjelaskan, ini bukan film horor murahan semacam Diperkosa Setan, Hantu Jeruk Nipis, dan semacamnya. Ini juga bukan cerita komedi seronok semacam Extra Large, Double Extra Large, maupun Triple Extra Large. Ini film serius. Beneran.. (hallah lebay...). Tapi memang begitulah. Terus terang saya agak sedikit menyesal memutuskan menikmati film ini. Bukan karena filmnya jelek. Tapi karena saat ini saya sedang benci berpikir, dan film ini memaksa saya mau tak mau menelan kebencian itu dengan rasa suka dan riang gembira [Apalagi ditambah demam yang tak kunjung turun dan vonis Pak Dokter yang masih terngiang di telinga, 'Kalo tiga hari panasnya ngga turun, langsung check darah aja mas.. Saya khawatir anda kena DB... Semalem aja warga Utan Kayu yang positif ada dua...'. (What?! DB?! Tiba-tiba saya ingat Etha, gadis gendut kecil kawan bermain keponakan saya di Semarang dulu. Dia meninggal beberapa waktu lalu. Gara-gara DB. Dan tiba-tiba saya merinding, membayangkan betapa dekat jarak antara saya dan kematian. Ya... saya sih tidak takut mati.. Sama sekali tidak... Saya cuma malas aja kalo harus mati sekarang... :) ]
Ok. Back to topic. Setting The Photograph adalah kota Semarang. Tepatnya di kawasan Kota Lama. Film ini bercerita tentang dua tokoh sentral, Johan Tanujaya dan Sita (Shanty). Johan adalah seorang fotografer keliling berusia 50 tahun yang masih setia dengan kamera oldschool-nya. Sementara Sita adalah seorang penyanyi karaoke. Karena nasib dan tuntutan skenario (hallah...), Sita mengontrak sebuah kamar kecil di loteng rumah Johan. Mulai dari sinilah cerita bergulir. Dan latar belakang kedua tokoh mulai tersingkap.
Johan, sosok misterius yang tak pernah berani menatap mata lawan bicaranya, adalah manusia yang hidup dalam penyesalan. Ketika muda Johan memutuskan meninggalkan rumah. Dia merasa muak dengan segala kemapanan yang dia dapatkan. Muak dengan posisi penerima harta warisan di keluarga. Hingga di suatu pagi, dia berkata kepada Selly, istrinya, bahwa dia akan pergi. Bahwa dia sebenarnya tidak mencintai Selly. Tangis Selly dan anak semata wayangnya tak menyurutkan langkah Johan. Hingga di tengah jalan, kereta yang ditumpangi Johan menabrak sesuatu. Dua mayat terpenggal. Jepret jepret jepret... Kamera Johan bekerja. Hingga tanpa sengaja, viewfinder kamera menemukan gelang. Di sepenggal lengan. Ya. Itu gelang Selly. Itu lengan Selly. Dan sejak itu. Johan 'mati'.
Sita. Ibu muda berusia 25 tahun. Tinggal sendiri di kota Lumpia. Punya anak bernama Yani, yang tinggal di kampung bersama neneknya (yang sakit-sakitan). Terbelit hutang dengan Suroso (Lukman Sardi), si tukang pukul tempat karaoke.
Sepi. Senyap. Gelap. Kota Lama pun tiba-tiba menjadi terlihat sangat eksotis. Padahal seingat saya, rob dan semrawut adalah dua kosakata yang lebih dekat dengan frase Kota Lama. Tapi apapun itu; seperti yang sudah saya katakan di awal tadi; film garapan Nan Achnas ini ternyata berhasil memaksa otak saya yang sebenarnya sedang malas berpikir ini untuk mau tak mau berpikir kembali.
Sekedar contoh, saya akan coba mengutip satu kalimat Sita kepada Johan. Satu alasan kenapa akhirnya Sita rela menjual tubuhnya:
Kalimat sederhana inilah yang menurut saya kalimat paling inti dari keseluruhan cerita. Dan sembari menahan demam yang kian meninggi, saya-pun mulai berpikir lagi.
Utan Kayu, 19 Maret 2010
'Saya akan mulai mati hari ini', kata Johan. Membuka film. Bukan film baru memang. The Photograph. Produksi 2007. Tapi tak apa. Toh tak ada kosakata basi dalam sebuah karya.
Kalimat tokoh yang diperankan Lim Kay Tong itu saya pikir sudah cukup menjelaskan, ini bukan film horor murahan semacam Diperkosa Setan, Hantu Jeruk Nipis, dan semacamnya. Ini juga bukan cerita komedi seronok semacam Extra Large, Double Extra Large, maupun Triple Extra Large. Ini film serius. Beneran.. (hallah lebay...). Tapi memang begitulah. Terus terang saya agak sedikit menyesal memutuskan menikmati film ini. Bukan karena filmnya jelek. Tapi karena saat ini saya sedang benci berpikir, dan film ini memaksa saya mau tak mau menelan kebencian itu dengan rasa suka dan riang gembira [Apalagi ditambah demam yang tak kunjung turun dan vonis Pak Dokter yang masih terngiang di telinga, 'Kalo tiga hari panasnya ngga turun, langsung check darah aja mas.. Saya khawatir anda kena DB... Semalem aja warga Utan Kayu yang positif ada dua...'. (What?! DB?! Tiba-tiba saya ingat Etha, gadis gendut kecil kawan bermain keponakan saya di Semarang dulu. Dia meninggal beberapa waktu lalu. Gara-gara DB. Dan tiba-tiba saya merinding, membayangkan betapa dekat jarak antara saya dan kematian. Ya... saya sih tidak takut mati.. Sama sekali tidak... Saya cuma malas aja kalo harus mati sekarang... :) ]
Ok. Back to topic. Setting The Photograph adalah kota Semarang. Tepatnya di kawasan Kota Lama. Film ini bercerita tentang dua tokoh sentral, Johan Tanujaya dan Sita (Shanty). Johan adalah seorang fotografer keliling berusia 50 tahun yang masih setia dengan kamera oldschool-nya. Sementara Sita adalah seorang penyanyi karaoke. Karena nasib dan tuntutan skenario (hallah...), Sita mengontrak sebuah kamar kecil di loteng rumah Johan. Mulai dari sinilah cerita bergulir. Dan latar belakang kedua tokoh mulai tersingkap.
Johan, sosok misterius yang tak pernah berani menatap mata lawan bicaranya, adalah manusia yang hidup dalam penyesalan. Ketika muda Johan memutuskan meninggalkan rumah. Dia merasa muak dengan segala kemapanan yang dia dapatkan. Muak dengan posisi penerima harta warisan di keluarga. Hingga di suatu pagi, dia berkata kepada Selly, istrinya, bahwa dia akan pergi. Bahwa dia sebenarnya tidak mencintai Selly. Tangis Selly dan anak semata wayangnya tak menyurutkan langkah Johan. Hingga di tengah jalan, kereta yang ditumpangi Johan menabrak sesuatu. Dua mayat terpenggal. Jepret jepret jepret... Kamera Johan bekerja. Hingga tanpa sengaja, viewfinder kamera menemukan gelang. Di sepenggal lengan. Ya. Itu gelang Selly. Itu lengan Selly. Dan sejak itu. Johan 'mati'.
Sita. Ibu muda berusia 25 tahun. Tinggal sendiri di kota Lumpia. Punya anak bernama Yani, yang tinggal di kampung bersama neneknya (yang sakit-sakitan). Terbelit hutang dengan Suroso (Lukman Sardi), si tukang pukul tempat karaoke.
Sepi. Senyap. Gelap. Kota Lama pun tiba-tiba menjadi terlihat sangat eksotis. Padahal seingat saya, rob dan semrawut adalah dua kosakata yang lebih dekat dengan frase Kota Lama. Tapi apapun itu; seperti yang sudah saya katakan di awal tadi; film garapan Nan Achnas ini ternyata berhasil memaksa otak saya yang sebenarnya sedang malas berpikir ini untuk mau tak mau berpikir kembali.
Sekedar contoh, saya akan coba mengutip satu kalimat Sita kepada Johan. Satu alasan kenapa akhirnya Sita rela menjual tubuhnya:
'...Aku melihat ke depan pak.. Bukan ke masa lalu kayak bapak.. Aku mesti jaga nenekku.. Aku mesti jaga anakku.. Yang hidup yang penting pak.. Bukan yang mati...'.
Kalimat sederhana inilah yang menurut saya kalimat paling inti dari keseluruhan cerita. Dan sembari menahan demam yang kian meninggi, saya-pun mulai berpikir lagi.
***
Utan Kayu, 19 Maret 2010
keseringan terlena dnegan fesbuk, tersesat mencari "like" button. ah ternyata ngga ada.
bandel pisan og, mriang ki turu malah mikir barang. po piye, ke TIM saja yuk. halah...