Pendaratan dan Do’a Do’a
(Sayup Suara Papua; 2)
Tulisan sebelumnya ada di sini
45 menit penuh do’a Jayapura-Wamena. Awan menggumpal. Pesawat bergoyang. Semua terpejam. Termasuk kardus-kardus di belakang. Do’a do’a do’a... saya bayangkan untaiannya mendesis pelan dari bibir-bibir yang komat kamit untuk selanjutnya mencari-cari celah dan ketika menemukannya lalu menghambur keluar seperti anak-anak sekolah yang berloncatan ketika bel berdentang (seolah mereka baru pertama kali menemu pulang). Do’a do’a itu melesat tak beraturan; saling salib satu sama lain, tak peduli karena memang tak ada rambu-rambu atau bahkan polisi; menuju kahyangan, alamat Tuhan. (Ngomong-ngomong, tidakkah anda merasa barisan do’a itu terlalu bodoh? Para pecundang yang tak pernah belajar dari pengalaman? Bukankah selama ini telah terbukti bahwa kecepatan (dan segala sesuatu tentang waktu) bukanlah faktor yang mendasari keputusan Tuhan untuk mengabulkan atau tak menghiraukan sebuah do’a?) Tapi ah sudahlah… Pesawat selamat. Mendarat. Bandara Wamena. Surga? Atau sebaliknya? Kami menduga-duga.
...bersambung ke sini...
Tulisan sebelumnya ada di sini
Akhirnya. Setelah 8 jam penerbangan Jakarta-Jayapura. Kaki jejakkan Papua. ‘Bandar Udara Sentani Jayapura Papua. Dilarang merokok dan makan pinang di ruang tunggu’, tulisan merah berkelip-kelip di atas pintu. Selanjutnya kami; saya dan Esti, si tukang riset kawan seperjalanan; berburu tiket Trigana. Dapat!! Penerbangan jam 14.00. Ada waktu menghirup Papua. Jalan jalan jalan.. Pasar baru Sentani. Mengirim takzim di makam Theis E Luay. Lalu terbang lagi.
45 menit penuh do’a Jayapura-Wamena. Awan menggumpal. Pesawat bergoyang. Semua terpejam. Termasuk kardus-kardus di belakang. Do’a do’a do’a... saya bayangkan untaiannya mendesis pelan dari bibir-bibir yang komat kamit untuk selanjutnya mencari-cari celah dan ketika menemukannya lalu menghambur keluar seperti anak-anak sekolah yang berloncatan ketika bel berdentang (seolah mereka baru pertama kali menemu pulang). Do’a do’a itu melesat tak beraturan; saling salib satu sama lain, tak peduli karena memang tak ada rambu-rambu atau bahkan polisi; menuju kahyangan, alamat Tuhan. (Ngomong-ngomong, tidakkah anda merasa barisan do’a itu terlalu bodoh? Para pecundang yang tak pernah belajar dari pengalaman? Bukankah selama ini telah terbukti bahwa kecepatan (dan segala sesuatu tentang waktu) bukanlah faktor yang mendasari keputusan Tuhan untuk mengabulkan atau tak menghiraukan sebuah do’a?) Tapi ah sudahlah… Pesawat selamat. Mendarat. Bandara Wamena. Surga? Atau sebaliknya? Kami menduga-duga.
...bersambung ke sini...
Saya jarang berdoa minta ini dan itu kepada Tuhan saya, karena saya tidak ingin terlalu merepotkan beliau..tapi saya gak pernah absen untuk bersyukur memuja-muji Tuhan andaikata saya mendapat berkah..benarkah tindakan saya? saya kira tidak bisa dipersalahkan, yang salah hanyalah saya menanyakan ini kepada sampeyan Mas Tyo..wkwkwk...
@ joell: lebih salah lagi kalo sampeyan bertanya kepada rumput yg bergoyang.. apalagi yang tidak bergoyang..