Antara Serdadu Tuhan dan Tuhan Serdadu
;Membincang Yang Maha Kejam
Adakah mungkin tuhan mengamini suatu kejahatan? Pertanyaan semacam itulah yang belakangan ini menuntut satu jawaban. Dimana kalimat-kalimat takbir semakin sering diteriakkan sebagai sebuah bentuk dukungan terhadap tindak pembunuhan dan penghancuran. Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra kini memang telah mati dengan masing-masing sebuah timah panas menembus dada mereka. Namun hal ini tidak selalu bisa diartikan bahwa ideologi yang mereka anut juga turut menemu ajal.
Dalam Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang (Mimbar Indonesia, Th. XIV, No. 25, 18 Juni 1960), W.S Rendra menceritakan bagaimana derita batin seorang serdadu ketika suatu keadaan memaksa mereka untuk melakukan tindak pembunuhan.
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti, sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh, perkenankan aku menusukkan sangkurku
Dari barisan kalimat tersebut tertangkap sebuah suara, bahwa tindak sang serdadu melakukan suatu pembunuhan adalah sebuah keterpaksaan. Sang serdadu menyadari benar bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan. Namun perannya sebagai seorang serdadu tak memungkinkan baginya untuk mengelak dari kewajiban tersebut. Karena itulah, dia (sang serdadu tersebut) memohon kepada tuhan untuk memperkenankannya melakukan tindakan tersebut. Hal ini diperkuat dengan kalimat-kalimat yang tertulis di bawahnya:
Malam dan wajahku adalah satu warna
Dosa dan nafasku adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari -biarpun bersama penyesalan
Apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Frase bibir yang terjajah adalah sebuah metafora dari suatu kondisi dimana seseorang (/ sesuatu) tak lagi mempunyai hak bicara; termasuk menolak; sebuah kewajiban atau perintah. Ditambah lagi dengan satu kesadaran bahwa dosa dan nafasku adalah satu udara. Keberadaan kata dosa semakin membuktikan bahwa sang serdadu sebenarnya memahami benar bahwa tindak pembunuhan yang akan dia lakukan adalah sebuah kesalahan. Tepat di titik inilah perbedaan antara serdadu W.S Rendra dan Amrozi Cs.
Meski sama-sama melakukan tindak pembunuhan, serdadu dalam puisi Rendra tetap menempatkan tuhan sebagai sosok protagonis. Yaitu sebuah kebesaran tak terhingga yang dengan alasan apapun tetap menganggap bahwa pencabutan nyawa orang lain adalah sebuah bentuk kejahatan. Sementara dalam konsepsi Amrozi Cs, tuhan lebih ditempatkan sebagai sosok antagonis yang mengamini sebuah tindak pembunuhan dan penghancuran dengan alasan tertentu.
Hal tersebut semakin diperparah lagi dengan keberadaan sebuah fakta, bahwa ternyata begitu banyak masyarakat kita yang mengimani konsepsi semacam ini. Menganggap bahwa peledakan bom di Bali pada 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang tak berdosa adalah sebuah langkah yang tepat. Sebagai bukti, lihat saja tayangan televisi belakangan ini yang memperlihatkan barisan keluarga syuhada pendukung ketiga pembunuh tersebut. Gema takbir yang sebenarnya adalah kalimat suci bentuk puji-pujian terhadap suatu kebesaran, diteriakkan sebagai bukti dukungan terhadap ketiga anak manusia yang secara sadar telah melakukan tindak penghancuran.
Adalah sebuah kepicikan ketika kita berniat memerangi sistem yang dianut suatu negara dengan cara membunuh warga negaranya. Dimana seorang warga negara sebenarnya tak selalu sepakat dan mempunyai kewenangan merubah kebijaksanaan pemerintahan negara mereka. Seperti halnya banyak di antara kita yang tak selalu setuju dengan langkah-langkah pemerintahan SBY, namun tak mempunyai cukup kekuatan untuk merubah kebijaksanaan yang ditetapkannya.
Dan jika ternyata sedemikian banyak orang yang mengimani konsepsi kekejaman semacam ini, sebenarnya siapa yang perlu dikritisi dan diperbaiki? Pemahaman masyarakat kita atau sistem yang mereka anut?
*Gambar diambil dari sini
Adakah mungkin tuhan mengamini suatu kejahatan? Pertanyaan semacam itulah yang belakangan ini menuntut satu jawaban. Dimana kalimat-kalimat takbir semakin sering diteriakkan sebagai sebuah bentuk dukungan terhadap tindak pembunuhan dan penghancuran. Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra kini memang telah mati dengan masing-masing sebuah timah panas menembus dada mereka. Namun hal ini tidak selalu bisa diartikan bahwa ideologi yang mereka anut juga turut menemu ajal.
Dalam Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang (Mimbar Indonesia, Th. XIV, No. 25, 18 Juni 1960), W.S Rendra menceritakan bagaimana derita batin seorang serdadu ketika suatu keadaan memaksa mereka untuk melakukan tindak pembunuhan.
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti, sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh, perkenankan aku menusukkan sangkurku
Dari barisan kalimat tersebut tertangkap sebuah suara, bahwa tindak sang serdadu melakukan suatu pembunuhan adalah sebuah keterpaksaan. Sang serdadu menyadari benar bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan. Namun perannya sebagai seorang serdadu tak memungkinkan baginya untuk mengelak dari kewajiban tersebut. Karena itulah, dia (sang serdadu tersebut) memohon kepada tuhan untuk memperkenankannya melakukan tindakan tersebut. Hal ini diperkuat dengan kalimat-kalimat yang tertulis di bawahnya:
Malam dan wajahku adalah satu warna
Dosa dan nafasku adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari -biarpun bersama penyesalan
Apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Frase bibir yang terjajah adalah sebuah metafora dari suatu kondisi dimana seseorang (/ sesuatu) tak lagi mempunyai hak bicara; termasuk menolak; sebuah kewajiban atau perintah. Ditambah lagi dengan satu kesadaran bahwa dosa dan nafasku adalah satu udara. Keberadaan kata dosa semakin membuktikan bahwa sang serdadu sebenarnya memahami benar bahwa tindak pembunuhan yang akan dia lakukan adalah sebuah kesalahan. Tepat di titik inilah perbedaan antara serdadu W.S Rendra dan Amrozi Cs.
Meski sama-sama melakukan tindak pembunuhan, serdadu dalam puisi Rendra tetap menempatkan tuhan sebagai sosok protagonis. Yaitu sebuah kebesaran tak terhingga yang dengan alasan apapun tetap menganggap bahwa pencabutan nyawa orang lain adalah sebuah bentuk kejahatan. Sementara dalam konsepsi Amrozi Cs, tuhan lebih ditempatkan sebagai sosok antagonis yang mengamini sebuah tindak pembunuhan dan penghancuran dengan alasan tertentu.
Hal tersebut semakin diperparah lagi dengan keberadaan sebuah fakta, bahwa ternyata begitu banyak masyarakat kita yang mengimani konsepsi semacam ini. Menganggap bahwa peledakan bom di Bali pada 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang tak berdosa adalah sebuah langkah yang tepat. Sebagai bukti, lihat saja tayangan televisi belakangan ini yang memperlihatkan barisan keluarga syuhada pendukung ketiga pembunuh tersebut. Gema takbir yang sebenarnya adalah kalimat suci bentuk puji-pujian terhadap suatu kebesaran, diteriakkan sebagai bukti dukungan terhadap ketiga anak manusia yang secara sadar telah melakukan tindak penghancuran.
Adalah sebuah kepicikan ketika kita berniat memerangi sistem yang dianut suatu negara dengan cara membunuh warga negaranya. Dimana seorang warga negara sebenarnya tak selalu sepakat dan mempunyai kewenangan merubah kebijaksanaan pemerintahan negara mereka. Seperti halnya banyak di antara kita yang tak selalu setuju dengan langkah-langkah pemerintahan SBY, namun tak mempunyai cukup kekuatan untuk merubah kebijaksanaan yang ditetapkannya.
Dan jika ternyata sedemikian banyak orang yang mengimani konsepsi kekejaman semacam ini, sebenarnya siapa yang perlu dikritisi dan diperbaiki? Pemahaman masyarakat kita atau sistem yang mereka anut?
*Gambar diambil dari sini
mungkin terlebih memang untuk pola pikir milik amrozy dkk itulah
: kata "sempit" itu ada
hmm..
ah, amrozy lagi. susah utk benar2 mengerti mereka, mas. sama susahnya membuat mereka mengerti kita.
sebenarnya siapa lagi mau kita salahkan, sekarang manusia lebih berkuasa dari pada tuhan, lihat aja kematian manusia bukan berada ditangan tuhan lagi, tapi berada ditangan hakim.
he..he..he...
@ el:
kata 'sempit'? ada sekali bahkan... :)
@ haris firdaus:
memang susah mas.. hanya manusia yang bisa memahami bahasa manusia... dan hanya binatang yang bisa memahami bahasa binatang.. :)
@ raja ghazali:
manusia-pun terkadang juga bisa membunuh 'tuhan'-nya sendiri... :)
terima kasih untuk semua...
baca ini!
http://jigongmerangkak.multiply.com/journal/item/75/Baru_Kali_Ini_Saya_Terang_Terangan_Jijik_Sama_Islam_dan_Berharap_Semua_Orang_Murtad
:D
di satu sisi mereka mengagumkan
di sisi lain mereka biadab
akhirnya orang-orang berseragam cahaya
menyeret Tuhan di alun-alun kota
@ koboi urban:
ha3.. dia terlalu banyak berharap dengan tuhannya...
@ doa di putik kamboja:
ya3...