Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Bila Malam Bertambah Malam

; Teater Lingkar dan tentang Memanusiakan Manusia

Banyak cara untuk bicara. Dan teater adalah salah satunya. Seperti yang dilakukan Teater Lingkar pada Sabtu-Senin (23-25/8), di Teater Terbuka Taman Budaya Raden Saleh, Jl. Sriwijaya 29 Semarang.

Untuk kesekian kali, kelompok yang baru saja berulang tahun ke-28 ini menggelar sebuah pertunjukan. Sementara naskah yang diangkat kali ini adalah sebuah karya Putu Wijaya, Bila Malam Bertambah Malam (BMBM). Secara garis besar drama realis satu babak ini berhasil dibawakan dengan apik oleh para aktor Lingkar. Tak begitu mengherankan, jika kita melihat siapa saja mereka yang terlibat di balik penggarapannya.

Adalah Agus Maladi Irianto; dosen Sastra Undip yang mempunyai sejarah berkesenian cukup panjang; yang bertindak sebagai Sutradara sekaligus pemeran tokoh Ngurah. Sekedar diketahui, dalam perjalanan keseniannya laki-laki ini pernah mendirikan Teater Waktu dan Laboratorium Seni dan Kebudayaan Lengkong Cilik. Selain itu, Agus juga pernah meraih predikat Sutradara Terbaik pada Porseni Mahasiswa Nasional tahun 80-an, bersama Kelas Teater Undip.

Ditambah lagi dengan keberadaan Maston yang memerankan tokoh Wayan. Mengenai eksistensi dan dedikasi di dunia seni (teater), Ketua Teater Lingkar ini tak perlu diragukan lagi. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya pementasan Teater Lingkar, yang pernah disutradarai maupun dimainkannya. Sementara tokoh Gusti Biang dan Nyoman, masing-masing diperankan oleh Ning dan Niken. Keduanya adalah aktris muda Semarang yang juga sudah makan asam garam proses pementasan.

BMBM bercerita mengenai kehidupan di sebuah puri milik Gusti Biang, seorang keturunan bangsawan Bali. Dalam kesehariannya Gusti Biang selalu ditemani oleh dua abdi setia, Wayan dan Nyoman. Meski tabiat Gusti Biang sama sekali tak mencerminkan kebangsawanan, kedua sudra ini tetap dengan rela hati melayani sang majikan.

Masalah bermula ketika ketika ketidakcocokan di antara mereka memuncak, hingga Nyoman diusir oleh Gusti Biang. Karena tanpa diketahui Gusti Biang, Ngurah; anak semata wayangnya yang sedang belajar di kota; ternyata saling merajut cinta bersama Nyoman. Ketidaksetujuan Gusti Biang terhadap hubungan keduanya (yang didasarkan pada sistem kasta), akhirnya membuka rahasia besar yang selama ini ditutupi-tutupi.

Secara garis besar, tema sentral BMBM adalah tentang sebuah cara memanusiakan manusia. Dimana Gusti Biang yang notabene terlahir dari kasta ksatria, mau tidak mau harus menuruti nurani dan logika dengan meninggalkan kehormatannya, atas nama cinta. Naskah yang mengambil setting waktu periode 60-an ini, ternyata masih tetap relevan dipentaskan hari ini. Dimana kebenaran yang dilegitimasi atas nama kebudayaan (dalam berbagai varian-nya), masih tetap dipertahankan oleh para pengikut setia yang kadangkala bertindak di luar logika.

Naskah ini bukan semata ingin menentang apa yang disebut sebagai budaya. Melainkan lebih kepada usaha seorang Putu Wijaya, untuk menyuarakan bahwa siapapun orangnya, dan dari rahim siapa dia tercipta, tetaplah seorang Manusia. Naskah ini bisa dikatakan adalah cara Putu untuk mengkritik (baca: meruntuhkan) sistem kasta yang berlaku di Bali. Dimana sistem semacam ini, telah menempatkan manusia pada hirarki yang semata didasarkan pada faktor keberuntungan. Dalam artian, ketika seseorang terlahir dari rahim brahmana atau ksatria, otomatis dia akan lebih terhormat dibanding mereka yang lahir dari seorang waisya atau sudra.

Pemberontakan budaya (yang dalam konteks Bali sebenarnya sangat radikal) ini, disampaikan Putu dengan cara yang cukup sederhana. Melalui bidang yang digelutinya (yaitu teater dan kata-kata), Putu berbicara dengan cara yang sungguh amat cerdas. Alih-alih melalui aksi demostrasi yang penuh makian, hujatan, dan aksi kekerasan, Putu justru memilih cara santun untuk menunjukkan perlawanannya.

Hal ini sekaligus meruntuhkan teori yang mengatakan bahwa untuk menyuarakan aspirasi dan mengubah suatu kondisi, haruslah melalui partai politik. Dimana tiap-tiap individu mempunyai dunianya masing-masing, serta mempunyai cara berjuang sendiri-sendiri. Begitu juga halnya dengan cara bicara dan perlawanan seorang seniman. Dan kali ini, pemberontakan Putu Wijaya terhadap kebenaran kolektif yang berlindung di balik jubah ‘budaya’, berhasil dibawakan dengan apik oleh awak Teater Lingkar. Meski pesan Tan Tjeng Bok agar para aktor (ketika di atas panggung) sanggup menyihir para penonton dan (bahkan) tidak memberinya kesempatan makan kwaci * belum 100 % terwujud, namun secara garis besar pementasan Lingkar kali ini jauh dari kata mengecewakan.

Diharapkan selanjutnya, masing-masing individu akan semakin memahami bahwa siapapun orangnya, manusia tetaplah harus dimanusiakan. Karena seperti halnya hidup yang terus berjalan, kebudayaan bukanlah sesuatu yang stagnan. Kebenaran kolektif hasil kesepakatan, akan selalu layak dipertanyakan seiring laju zaman.



* Pesan Tan Tjeng Bok kepada Slamet Rahardjo Djarot (dikutip dari Kata Pengantar buku Membangun Tokoh karya Constantin Stanislavski

** Foto oleh Sigit Lingkar

9 komentar:

  1. Komboran mengatakan...
     

    mesti kelingan pas main biyen to? kapan main teater maneh?

  2. Anonim mengatakan...
     

    @ komboran:
    iyo, kelingan mbiyen. tapi sih apik pentasku.. ha3... ni lagi baca2 naskah seno gumira, tapi eksekusine ga tau kapan.

    suwun..

  3. asapkelabu mengatakan...
     

    moso to apik kow maine???? nak iyo yo moso kalah ro sing enom?
    berati kudu di ganti era DINASTINE agaaaagaaagagag

  4. Anonim mengatakan...
     

    jadi penasaran nih :)

  5. Anonim mengatakan...
     

    @ asap kelabu: ga perlu diganti.. dijadikan pelajaran ae.. :)

    @ panda: penasaran ya? denger2 habis lebaran mo dibawa keliling purworejo, purwokerto, & magelang. itu jika tertarik. :)

  6. lanang Q mengatakan...
     

    masih di gemari juga reportase2 sisa media massa ha...3x entok guyonan seng serius to bozzz....

  7. Anonim mengatakan...
     

    @ lanang q: lha gimana, pengen dikritisi??? kan ga enak sama sampeyan. wong sampeyan salah satu tim produksi-nya... ha3...

  8. Anonim mengatakan...
     

    Blog yang menarik.

  9. Anonim mengatakan...
     

    @ ki harsono siswocarito:
    terima kasih ki.. salam hangat selalu...

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent