Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Membincang Kematian a la Teater Lungid

…Kowe kabeh, mengkone ki kudu bisa bali, mulih menyang jaman kelanggengan, jaman asal muasal…

(..Kalian semua, nantinya harus kembali, pulang menuju alam keabadian, tempat dimana segala sesuatunya berawal…)

Kalimat diatas diucapkan Pelog Trisno Santoso yang memerankan tokoh Lik Bisma, dalam pementasan TUK oleh Teater Lungid Surakarta. Pementasan yang digelar 26-28 Juni di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta ini, disutradarai sendiri oleh Pelog Trisno Santoso.

TUK adalah sebuah naskah karya Alm. Bambang Widoyo Sp (akrab disapa Kenthut). Meski naskah berbahasa jawa ini dilahirkan hampir 20 tahun lalu, namun segala sesuatu yang dibicarakan disini masih tetap relevan untuk jaman sekarang. Seperti halnya judul naskah ini, setting dari keseluruhan cerita adalah di sekeliling sebuah TUK (mata air). Entah siang atau malam, kawasan itu selalu ramai dengan segala aktifitas warga. Memperbaiki ember rusak, menawarkan barang gadaian, mengobrol, hingga membicarakan ketidakadilan pemerintah, semuanya dilakukan di tempat sama. Sementara tema sentral yang digaris bawahi dari naskah ini, adalah prosesi pulang, kembali ke sangkan paraning dumadi, mulih ke haribaan-Nya. Perbincangan khas masyarakat kelas bawah-pun mengalir mendekati realitas sebenarnya.

Diceritakan kawasan kumuh Magersaren, yang dihuni beberapa warga dengan berbagai latar belakang. Mulai dari Lik Bisma (penjual mainan keliling dan pecinta berat cerita wayang, tidak menikah karena meniru tokoh Bisma di jagad pewayangan), Mbah Kawit (nenek sebatang kara yang begitu betah tinggal di Magersaren), Bibit (salah satu pemuda kampung), Soleman (makelar kelas teri), Romli (tukang jahit), Mbokdhe Jemprit (pedagang pasar), Marto Krusuk (tukang tambal ban), dll.

Dikisahkan, mereka adalah warga yang mengontrak gubuk kepada sang pemilik lahan, Mbokne Menik. Mbokne Menik sendiri sebenarnya bukanlah pemilik lahan sebenarnya. Dia mendapatkan tanah tersebut dari bekas juragan yang kemudian dekat dengannya, Alm. Den Mas Darso. Dalam perjalanan waktu, Menik dan ibunya menjadi orang kaya sombong yang menindas para pengontrak Magersaren. Bahkan tersebar kabar, Magersaren akan dijual kepada pemilik modal dari kota. Berita ini tentu saja membuat warga Magersaren kebingungan, terutama Mbah Kawit yang terlanjur diberi wasiat Den Mas Darso, untuk selalu menjaga tanah tersebut.


Selama kurang lebih 2,5 jam, penonton disuguhi penampilan optimal para aktor yang didukung musik (Max Baihaxi dkk) dan tata cahaya yang mumpuni. Namun permainan ‘keras’ beberapa aktor, sedikit banyak membuat pementasan ini menjadi sedikit terlalu melelahkan. Namun bisa dikatakan, hal ini bukanlah semata ‘kesalahan’ sang aktor. Karena naskah TUK ini sendiri, ‘sepertinya’ memang naskah yang melelahkan. Dialog-dialog yang ditulis Alm. Kenthut teramat sangat kompleks. Menurut seorang kawan, sepertinya Alm. Kenthut adalah seseorang yang gemar ‘mendongeng’. Kenthut membiarkan pembicaraan mengalir kemanapun pembicaraan itu ingin mengalir. Ketika berbicara tentang pasar, Kenthut akan membahas mulai dari apa arti kata pasar hingga prosesi rebut merebut lahan di pasar. Begitu juga ketika berbicara mengenai ember, Kenthut juga akan membahas segala sesuatu tentang ember, mulai dari fungsi ember hingga bagaimana harusnya ‘sikap’ sebuah ember. ‘Pembicaraan’ semacam inilah yang membuat naskah ini terlihat melelahkan. Namun meski begitu, hal ini tidak bisa disimpulkan bahwa naskah ini tidak menarik. Karena justru tepat disinilah, daya tarik dari naskah TUK ini.

Harus diakui, penataan set panggung Teater Lungid berhasil menciptakan atmosfer kumuh khas masyarakat miskin kota. Sumur ditengah-tengah gubuk-gubuk reyot yang saling berhimpitan dan kamar mandi seng yang menjadi latar belakang, berhasil ‘membawa’ penonton ke dunia sehari-hari masyarakat kelas bawah perkotaan, bahkan sejak lampu panggung menyala untuk pertama kalinya. Ditambah lagi dengan dialog bahasa Jawa yang semakin menjadikan pementasan ini semakin terlihat ‘realis’. Namun (seperti disinggung di atas), tak dapat dipungkiri masih ada beberapa aktor yang terlihat ‘terlalu teater’ dengan menampilkan akting ‘keras’ yang terlalu teaterikal. Namun meski begitu, secara keseluruhan bisa dikatakan pementasan malam itu adalah sebuah karya ‘berkualitas’. Bahkan bisa dibilang, harga tiket 10 ribu terlalu murah dibanding apa yang bisa didapat penonton ketika pulang.

Teater Lungid sendiri adalah metamorfosis dari Teater Gapit. Kelompok teater ini, lahir di Sasana Mulya, Baluwarti, Kraton Surakarta, 22 Januari 1981 silam. Selama perjalanannya, Gapit terkenal sebagai kelompok yang terbiasa pentas dengan menggunakan media bahasa Jawa. Bambang Widoyo Sp, adalah sang pendiri yang namanya tak bisa dilepaskan dari keberadaan teater ini. Selama 39 tahun usia hidupnya, Alm. Kenthut telah menghasilkan beberapa naskah pementasan, diantaranya BRUG (ditulis atas pesanan UNICEF untuk masyarakat pedesaan), STUP (1983), ROL (1983), LENG (1985), REH (1986/1987), TUK (1989), dan DOM (1990). Satu naskah lagi, LUH, belum terselesaikan ketika Kenthut meninggal dunia 8 Juli 1996 silam. Konon, TUK adalah sebuah lakon sandiwara favoritnya.

4 komentar:

  1. Anonim mengatakan...
     

    good poting coy. ente benar2 seorang sastrawan. salut saya sama permainan kata2nya. seorang pemain kata yang patut di perhitungkan.

  2. Anonim mengatakan...
     

    sastrawan tak kenal kata lelah...opo meneh sastrawn saking SOLO BERSERI TANPA KORUPSI....hehehe

  3. Anonim mengatakan...
     

    @ ROE :
    wah.. 'sastrawan????' sepertinya berlebihan sodara.. saya itu cuma tukang onani.. kata2 saya juga tidak usah diperhitungkan, cukup dibaca saja (kalau bersedia).. matur sembah nuwun..

    @rudyahud :
    semoga yang berseri tanpa korupsi ga cuma solo saja, tapi juga Indonesia.. dan dunia.. (dan semoga juga bukan slogan saja) he3.. terima kasih..

  4. Lephen mengatakan...
     

    Benarkah almarhum Kenthut Bambang Widoyo SP wafat th 1996? Ada yang tahu tepatnya

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent