Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Kado Budaya Teater Lingkar ;Prie G.S, Nashar, dan Tentang (menertawakan) Kemiskinan

Lembaga peradilan adalah lembaga kata-kata yang memperjualbelikan kasus-kasus semata. Kalimat ini saya kutip (secara bebas) dari salah satu dialog pementasan Teater Lingkar, yang diadakan dalam rangka memberikan kado budaya bagi masyarakat atas peringatan ulang tahunnya ke-28. Dan karena kebobrokan lembaga peradilan tersebut, maka diambil sebuah ‘terobosan’ yang sungguh di luar dugaan siapa saja. Alih-alih mencari figur yang ‘bersih’, sang penguasa justru mempercayakan kelangsungan lembaga peradilan kepada seekor anjing bernama ‘Feri’.

Saya disini tidak akan membahas kualitas dari pementasan berjudul ‘Nyah Badar’ tersebut. Karena bagaimanapun, 28 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dan saya rasa, perjalanan waktu yang sedemikian panjang sudah bisa dijadikan semacam tolok ukur untuk tidak meragukan ‘kematangan’ pentas-pentas kelompok teater pimpinan Maston tersebut.

Sebelum pementasan di Taman Budaya Raden Saleh Semarang tersebut dimulai, digelar beberapa repertoar lain sebagai ‘semacam’ pembukaan dan pemanasan. Diantaranya adalah pertunjukan kelompok musik Balasik dari Pondok Pesantren Az-Zuhri Ketileng, Semarang (yang membawakan lagu-lagu bernuansa melayu), obrolan bersama budayawan Prie G.S, dan juga repertoar oleh Abah Syaiful, pimpinan Pondok Pesantren Az Zuhri (yang membawakan ‘puisi’nya dengan nuansa ‘sedikit’ mistis religius).

Terobosan menghadirkan pertunjukan musik berbasis pesantren ini bagi saya terasa istimewa. Dimana sepengetahuan saya, Lingkar bukanlah termasuk salah satu dari kelompok teater yang ‘biasa’ mengangkat dan berhubungan secara langsung dengan hal-hal yang berbau religi. Lain halnya dengan Teater ESKA Jogja atau Teater Kail Jakarta.

Namun demikian, sebetulnya saya sudah tidak begitu kaget dengan ‘gebrakan’ ini. Karena saya sudah belajar dari pengalaman menikmati kado budaya-nya tahun lalu, dimana Lingkar dengan ‘sungguh tak terduga-nya’ mementaskan sebuah fashion show; dengan model para gadis-gadis yang berdandan bak generasi MTV; sebelum memulai pementasannya. Memang begitulah tipikal Lingkar. Yang dengan fleksibel bisa leluasa menerobos sekat-sekat yang kadangkala bagi sebagian orang terlalu rapat untuk ditembus.

Jujur saja, saya cukup merasa terhibur menikmati keseluruhan pementasan tersebut. Dimana saya akui, di Semarang sungguh amat sulit untuk menemukan ‘hiburan’ yang ‘berkualitas’. Bahkan sebelum pementasan Nyah Badar dimulai-pun, saya cukup terkesima dengan ‘orasi’ Prie G.S yang menceritakan sedikit tentang kisah hidupnya sebagai seorang ‘pengamat’. Dalam ‘orasinya’ tersebut, Prie G.S menceritakan bahwa pekerjaannya ‘yang tidak jelas’ itu-lah yang menyeretnya sebagai penceramah lintas tema. Mulai dari seni, budaya, politik, hukum, hingga ekonomi. Dan dari pengalaman ‘ceramah ke ceramah’ itulah, yang akhirnya menjadikan publik menasbihkannya sebagai seorang budayawan. Bahkan dalam satu kesempatan Prie G.S berkelakar, bagi siapa saja yang mempunyai ‘pekerjaan yang tidak jelas juntrungnya’, silahkan dengan bangga menyebut pekerjaan anda sebagai ‘budayawan’.

Dalam obrolan yang dipenuhi gelak tawa tersebut, Prie G.S banyak menceritakan tentang kehidupannya di masa lalu. Dimana dia bersama salah satu rekan (yang juga seorang pembicara) menikmati masa-masa ketika masih berada dalam ruang bernama ‘kemiskinan’. Dalam ceritanya, Prie G.S menyinggung tentang motor butut temannya yang konon selalu ngadat jika tersentuh air hujan. Karena begitu tua dan bututnya motor tersebut, maka tak jarang di jalanan selalu mendapat makian klakson kendaraan lain, karena kecepatannya yang tak lebih dari kecepatan sepeda angin.

Satu cerita yang menarik, adalah cerita ketika Prie G.S bersama temannya melewati sebuah tanjakan yang cukup tajam di daerah Gombel, Semarang dengan motor butut tersebut. Ketika itu, sang teman (yang tidak disebut namanya oleh Prie G.S) melakukan sesuatu yang cukup ‘gila’. Alih-alih mengeluh atas keterbatasan kemampuan sang motor dalam menuntaskan tanjakan. Sang teman itu justru dengan liarnya meneriakkan puisi tentang pemandangan bebukitan di pinggir jalan, dengan ditingkahi gerakan tangan bak Rendra yang beraksi di atas panggung.

Begitulah, bagi Prie G.S (dan juga temannya) kemiskinan dan kekayaan bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan. Miskin tidaklah harus ditangisi dan disesali. Tapi justru (harus) ditertawakan. Menertawakan kemiskinan tidaklah berarti kita sudah mengaku kalah dan tidak serius menghadapi kehidupan ini. Tapi lebih kepada usaha untuk belajar mensyukuri apa yang saat ini sudah tergenggam di tangan.

Sikap Prie G.S ini mengingatkan saya akan sebuah buku yang saya beli di sebuah pameran beberapa waktu yang lalu. Buku berjudul ‘Nashar oleh Nashar’ tersebut berisi memoar dan catatan harian Alm. Nashar, salah seorang pelukis senior yang dimiliki negeri ini. Dalam buku yang berhasil saya tebus dengan harga (hanya) Rp. 10.000,- tersebut, diceritakan bagaimana seorang Nashar yang dengan konsisten mempertahankan pilihan yang dengan susah payah dia putuskan.

Dalam buku tersebut dituliskan, bagaimana pada suatu masa Nashar mengambil sebuah keputusan yang bertentangan dengan kemauan ayahnya. Sementara remaja lain disibukkan dengan perang kemerdekaan, Nashar justru dibingungkan dengan konflik batinnya dalam menentukan jalan kehidupan. Hingga akhirnya suatu waktu, pilihan diputuskan. Nashar meninggalkan rumah orang tuanya untuk menjadi seorang pelukis. Sebuah ‘profesi’ yang sangat tidak ‘menjanjikan’ dan terlalu lekat dengan aroma kemiskinan. Dan bermula dari itulah, akhirnya Nashar berkeliling mulai dari Madiun, Jakarta, Solo, Ubud, dan tempat-tempat lainnya untuk ‘mencari’ apa yang dia ingin dapatkan, yaitu dunianya. Dunia lukisan.

Namun kisah kehidupan ini bukanlah salah satu kisah sinetron yang selalu berakhir bahagia. Keputusan Nashar untuk ‘mencari dunianya’ tersebut, ternyata benar-benar menempatkannya di ruang kemiskinan. Namun Nashar adalah seorang manusia yang konsisten. Dia sudah cukup memahami, hal-hal apa saja yang mungkin akan dia jelang ketika mengambil sebuah keputusan. Karena itu, dia sama sekali tidak pernah meratapi ‘kekurangan’ yang dia miliki. Dia hanya terus berusaha, untuk menjalani apa yang dia rasa harus dilakukan dalam kehidupan.

Begitulah. Malam ini Prie G.S telah mengingatkan saya akan seorang Nashar. Tentang berbelitnya proses pengambilan keputusan. Tentang konsistensi menjalani sebuah pilihan. Tentang cara ‘menertawakan’ kemiskinan dan kehidupan. Dan tentang ‘kekayaan’, yang ternyata tidak selalu harus berhubungan dengan harta. Tapi jiwa.

Satu hal lagi yang menarik dalam pementasan malam ini. Adalah keberadaan ibu-ibu berjilbab yang duduk di kursi depan pementasan. Selain beberapa diantaranya adalah para pengasuh Pondok Pesantren Az-Zuhri, ‘sepertinya’ mereka adalah istri para pemain pementasan Teater Lingkar. Coba bayangkan, betapa indahnya pemandangan ini. Sang suami berakting di atas panggung, sementara sang istri (bersama anak-anak mereka) dengan sukacita menonton di barisan kursi terdepan. Saya mungkin tidak akan begitu ‘tersentuh’ jika mereka adalah pasangan muda. Yang membuat saya kagum, rata-rata para pemain Lingkar ini adalah aktor senior yang sudah berumur.

Sekali lagi, 28 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dan bagi sebuah kelompok kesenian (apalagi seni budaya), mempertahankan eksistensi selama itu adalah sebuah prestasi tersendiri. Butuh sebuah kekuatan lebih, untuk menjaga ketetapan hati, dalam rangka mempertahankan apa yang sudah direncanakan dan dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya.

Akhir kata, selamat hari jadi untuk Teater Lingkar, dan (mengutip ucapan Prie G.S) Hidup Kemiskinan !!

2 komentar:

  1. Haris Firdaus mengatakan...
     

    keberanian mengambil pilihan hidup, barangkali, adalah penemuan makna dari kehidupan itu sendiri.

  2. Rey mengatakan...
     

    hidup itu sendiri sebenarnya pilihan. Saya duduk disini dan membuka blogmu adalah sebuah pilihan, saya komen juga sebuah pilihan. Dan memilih utk mendengarkan kata hati tanpa mengindahkan yang lain adalah sebuah pilihan yang patut dihargai tinggi, tdk semua org bisa seperti itu.

    Nice posting.

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent