Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

kepada telaga

Peluh tak juga luruh. Dan mendadak segala macam warna seakan tiada pernah ada. Semuanya sephia. Hanya ada putih tua dan warna-warna senja.

‘Apa yang terjadi?’, jeritku dalam hati berkali-kali. ‘Bangsat! Ada apa dengan udara ini? Kenapa sekedar bernafas saja bisa begini sulit? Udara yang biasanya melayang-layang dengan sedemikian ringan, kenapa harus tiba-tiba memberat tanpa sebab?’

Seketika segala sesuatunya bergerak slow motion tanpa sebelumnya pernah terencanakan. Langkah-langkah pramuniaga berseragam jingga, lembar-lembar buku yang disibak helai demi helai, bahkan sebatang pulpen yang terjatuh tanpa disengaja dari jemari seorang pria paruh baya tak bernama itupun seperti adegan sebuah film yang putaran cakramnya dikurangi kecepatannya ribuan kali dari semestinya. Begitu juga setetes peluh yang menempel di ujung alisku sejak beberapa waktu yang lalu, kurasakan tak juga segera bergerak mengalir di kulit pipiku, dan entah kenapa sebutir peluh itu justru kurasakan semakin mendidih dan mengental.

Mata itu. ya. Mata itulah awal dari semuanya. Awal segala adegan slow motion berwarna sephia yang kini membisukan dunia tempat aku berada. (Atau jangan-jangan rotasi dan revolusi bumi yang mengelilingi matahari-pun juga berubah jadwal karenanya?) Benar-benar edan. Semuanya bungkam. Ya, kuakui toko buku memang bukan tempat yang nikmat bagi para pecinta tawa. Meski justru tempat seperti inilah yang menjadi surga bagi kita. Kita? Huah! Rupanya aku sudah mulai gila. Bagaimana mungkin aku menggunakan kata ‘kita’ sementara aku dan engkau sama-sama tak mengenal nama?

Sumpah mati tak bisa aku berkata, apakah ini adalah petaka atau justru sebuah surga. Tapi segala kekacauan ini memang berawal tadi ketika tanpa sengaja sudut mataku menemukan butir matanya yang bergerak perlahan menyusur lintasan rak, memilah antara satu buku diantara buku-buku lainnya. Dan pada detik itulah, mendadak segala warna menjadi tiada, lampu-lampu meredup, musikpun memilih sayup.

Sudah dua puluh empat kali jasadku mengitari matahari, tapi; sumpah mati; baru kali ini aku melihat ada telaga yang tersembunyi dalam sebutir biji mata. Dan telaga itu tepat seperti gambaran sebuah telaga yang ada di surga; yang bertahun-tahun yang lalu seringkali dilukiskan almarhum ayahku dalam cerita-cerita pengantar tidurku. Telaga yang sekian lama tak pernah ada habis-habisnya menemuiku dalam mimpi-mimpi gelapku. Bahkan pohon angsana yang kata almarhum ayahku tumbuh di sisi kiri telaga itupun juga kutemukan di matanya. Juga kupu-kupu bersayap abu-abu itu, padang alang-alang sewarna gemintang itu, gerumbul belukar yang berpencar-pencar itu, gemawan yang berarak-arak ditingkahi ribuan kenari yang terbang semakin tinggi itu, semuanya ada di sana! Duh Gustiii, pertanda apa ini?

Aku yakin, saat ini; di detik ini; ayahku yang sedang di surga-pun pasti terbangun dari tidur siangnya, ketika menyadari bahwa selembar cerita yang dikarangnya waktu berdesak-desakan di tengah peluh dan keringat bis kota saat pulang kerja itu menjelma menjadi nyata, meski hanya tercetak di sebutir mata. Sebutir mata seorang betina yang tak pernah kutahu siapa namanya. Sebutir mata yang sanggup menghentikan dunia tanpa memaksa. Sebutir mata yang secara tiba-tiba membangkitkan keinginanku untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi di kemudian hari. Dan sebutir mata yang tiba-tiba membuatku merasa betapa pentingnya menjaga detak paru-paruku terus bekerja.

Gila! Apakah ini yang disebut sebagai cinta pada pandangan pertama, yang seringkali muncul di sinetron-sinetron remaja yang dibintangi Cinta Laura?! Laknat betul jika memang benar! Bagaimana mungkin seseorang; apalagi aku; bisa jatuh cinta pada sesuatu yang bahkan; sekedar; namanya saja tidak tahu?! Atau jangan-jangan memang benar yang dikatakan Shakespeare, bahwa nama memang tidak pernah ada gunanya? Lalu dimana posisi kalimat yang mengatakan bahwa cinta adalah sebuah waktu? Asu?!

‘Ini mas, buku yang mas cari…’, (Flash !!!) Seakan seribu malaikat masing-masing menjepretkan kamera super raksasa secara bersama-sama. Seketika dunia terasa terang benderang, tak ada satupun hal yang tak kena cahaya. Seorang pramuniaga berwajah ceria tiba-tiba kutemukan mengulurkan sebuah buku di hadapanku. Dan segalanya ternyata sudah kembali seperti biasa, langkah-langkah pengunjung toko buku yang bercetik-cetok tak beraturan, kelutik pulpen yang jatuh mengusap lantai, juga Cruisin-nya Sioen yang merayap melalui serat-serat optic dan disebarkan lewat beberapa speaker yang dipasang di sudut-sudut toko. Segala sesuatunya benar-benar sudah seperti semula. Tak ada lagi sephia, semuanya berwarna. Ada hijau di t-shirt ketat seorang wanita, ada biru di pita seorang gadis berseragam SMA, ada ungu di kemeja seorang bapak tua berkacamata, ada merah di sampul buku ‘Semiotika Tuhan’, ada kuning di sandal jepit seorang laki-laki berambut gimbal seperti seniman, juga ada sedikit jingga di sudut jauh sana entah apa. Sama sekali tak ada sephia. (Tapi aku yakin telaga itu masih ada disana. Tak pernah kemana-mana.)

‘Terima kasih mbak….’, jawabku dalam senyum.
Senyuman yang kuyakini adalah yang termanis sejak bertahun-tahun belakangan ini. Kutatap buku yang kini tergenggam di tanganku. ‘Menalar Tuhan’. Sebuah buku yang akan kuberikan untuk istriku, sebagai hadiah ulang tahun kedua pernikahan kami. Dan bersamaan dengan Robbie Williams yang melantunkan The Road To Mandalay, kulangkahkan kaki menuju meja kasir tanpa sekalipun keinginan menengok lagi ke belakang; juga kemanapun; termasuk ke telaga itu.

‘Semoga segala sesuatunya menjadi lebih baik lagi mulai saat ini.’, Hanya itu yang memenuhi kepalaku.

2 komentar:

  1. Rey mengatakan...
     

    Hahaha... baru kali ini gue gak nyangka endingnya begitu, gut gut... :D

  2. Yodie Hardiyan mengatakan...
     

    lama tak mampir...

    salam hangat,

    Yodie

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent