Perempuan yang terlahir dari sebait monolog senja
Perempuan itu terlahir di emperan pelataran senja, setelah sembilanbulansepuluhhari sebelumnya sebait monolog membiarkan dirinya dicumbu gerimis riwis-riwis di tepi hutan kayu manis. Awan mendung sekalipun ketika itu hanya beranjak selapis demi selapis tanpa menunjukkan ketidaksetujuannya, ketika beberapa CC sperma kental mulai menggelontor menuju rahim yang melenguhkan ayat-ayat persetubuhan anak-anak jaman. Ya. Waktu memang sekutu asu. Bayangkan. Sembilanbulansepuluhhari merangkak tanpa mempedulikan yang tak sanggup mengikuti gerak. Dan dunia? Tetap saja semarak!
Perempuan itu diam-diam telah memulai kehidupan dengan cara yang teramat sempurna. Bagaimana tidak, ketika bersamaan dengan pecahnya ketuban dia justru membunuh ibundanya? Ya. Sebait monolog paruh baya yang masih jelita itu terpaksa melengkingkan jerit terakhirnya, tepat ketika tangis bayi suci itu memecah mengisi sesela langit di antara bukit-bukit, mengalir di parit-parit, membasah kerikil, akar, tanah, terus, dan terus mengalir, entah menuju laut, entah apa, tapi yang jelas-jelas datang adalah maut. Luar biasa... Benar-benar luar biasa. Bukankah itu semua terlalu sempurna?!! Bahkan untuk ukuran surga?!!
Perempuan itu diam-diam telah memulai kehidupan dengan cara yang teramat sempurna. Bagaimana tidak, ketika bersamaan dengan pecahnya ketuban dia justru membunuh ibundanya? Ya. Sebait monolog paruh baya yang masih jelita itu terpaksa melengkingkan jerit terakhirnya, tepat ketika tangis bayi suci itu memecah mengisi sesela langit di antara bukit-bukit, mengalir di parit-parit, membasah kerikil, akar, tanah, terus, dan terus mengalir, entah menuju laut, entah apa, tapi yang jelas-jelas datang adalah maut. Luar biasa... Benar-benar luar biasa. Bukankah itu semua terlalu sempurna?!! Bahkan untuk ukuran surga?!!
0 komentar:
Posting Komentar