
‘Kenapa hujan begitu telanjang?’, tanyamu.
‘Hujan…’, kau bilang. ‘Memang…’, jawabku. ‘Tapi telanjang..’, lanjutku. Dan remang semakin menegang. Ya, mungkin kau sudah tak bisa mengingat benar dengan apa yang terjadi pada suatu malam empatpuluhdua tahun yang lalu, ketika langit berderit mengirim sebuah jerit atas leher yang teriris bilah-bilah celurit. Tentu saja aku tak akan pernah menyalahkan siapapun, jika tiada satupun manusia yang bisa menyisakan sedikit peduli pada mereka. Bukankah memang semuanya terlihat berjalan seperti biasa? Seperti apa adanya? Bahkan burung-burung gereja yang berkerumun di seberang stasiun itu-pun dengan sukarela mengepakkan sayapnya untuk singgah di dasar kios-kios pasar. Tapi setidaknya ijinkan aku untuk mencoba mendirikan sebuah pusara, tempat dimana aku bisa mengirim sekuncup bunga untuk menemani mereka terpejam di jauh sana.
Di bawah kibaran bendera merah.
Di bawah kibaran bendera merah.
0 komentar:
Posting Komentar