Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

senja ini datang terlalu dini

Kerlip gemintang bagaikan parade pasukan kunang-kunang yang berserak di belantara malam. Dan seperti halnya kebisuan, kali ini malam tak bicara jua. Hanya sesekali kerik jengkerik menggelitik telinga warga kampung Danurejo yang sedang bermain-main dengan bidak catur dan kartu remi di pos ronda di ujung desa. Senyap yang merayap itu kadangkala ditimpali dengan gelak para lelaki yang bertahan dari dingin malam dengan berteman sebatang kretek dan cangkir-cangkir genangan kopi.

Sayang, keheningan malam yang indah itu tak bisa dinikmati Danang. Lelaki mungil berusia empat tahun itu kini sedang terlentang di ranjang reyot sambil menatap langit-langit kamarnya di samping ibunya untuk mendengarkan cerita sebelum menjemput mimpinya. Ya. Seperti malam-malam yang telah berlalu sebelumnya, prosesi menjemput mimpi tak pernah hanya dilewati dengan kesunyian. Karena Lastri mempunyai kewajiban untuk menceritakan berbagai macam dongeng sebelum anak semata wayangnya itu mau mengatupkan mata mungilnya terbuai lelap yang senyap.
‘Jadi mbah buyut kakungi dulu seorang tentara ya bu….?’, tanya Danang.
‘Iya leii… simbahmuiii itu dulu seorang tentara yang gagah berani. Bahkan simbahmu sendiri yang menembak Jenderal Belanda yang dulu berkuasa di Surabaya…’.
‘Jadi mbah kakung pernah ke Surabaya?’.
‘Ya pernah le… Simbahmu itu dulu waktu perang pindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain… itu namanya perang gerilya…Bahkan waktu mbah buyut putriiv melahirkan mbah Giman dulu le, mbah buyut kakungmu itu sedang berperang melawan Belanda di Jogja sana. Makanya simbah kakungmu diberi nama Giman, yang artinya Giri Sleman. Soalnya waktu itu mbah buyut kakung sedang berjuang melawan Belanda di sebuah pegunungan di Sleman…’.
Mata bening itu semakin mengerjap-ngerjap, meskipun ada beberapa hal yang disampaikan ibunya tak dipahaminya. Suasana hening sesaat, lalu Danang memiringkan tubuhnya sambil membenahi kain kumal yang dijadikan selimut untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin yang menusuk tulang-tulang kecilnya.
‘Apa semua tentara itu punya bedil bu?’, suara Danang memecah keheningan yang tadi sempat tercipta.
Lastri tersenyum sambil mengusap kepala anaknya, ‘Tidak le… tidak semua tentara Indonesia waktu itu punya bedil. Tentara kita modalnya dulu cuma bambu runcing… waktu itu mereka bisa punya bedil karena merebut bedil-bedil belanda…’.
Sesaat raut muka Danang mencipta ekspresi yang agak berbeda. Matanya menerawang dalam diam.
‘Kenapa diam le..?’, tanya Lastri heran melihat anaknya beberapa saat kehilangan celotehnya.
‘Kasihan mbah buyut ya bu…’, bisik Danang.
‘Lho… kenapa?’.
‘Mbah buyut pasti kesakitan di neraka sana?’.
Lastri terkejut mendengar bisikan anaknya. ‘Lho, kok Danang bicara begitu? Mbah buyut sekarang sudah tenang di surga sana….’.
‘Tapi pak ustadz kemarin bilang waktu aku belajar ngaji di langgarv, katanya membunuh semut itu saja termasuk dosa, apalagi membunuh manusia. Mbah buyut dulu pasti sudah banyak membunuh orang-orang belanda dengan bedilnya…’, kalimat Danang meluncur dengan polosnya.
Sekali lagi Lastri tersenyum mendengar penuturan dari bibir anaknya, ‘Itu beda le… simbah dulu kan tidak sembarangan membunuh orang. Yang dia bunuh itu orang belanda, musuh negeri ini.’.
‘Jadi kalau membunuh musuh itu malah dapat pahala ya bu..’, suara polos Danang menukas cepat.

Kali ini Lastri terkesiap mendengar pertanyaan yang tak disangkanya akan meluncur dari lelaki kecil yang terlahir dari kesucian rahimnya itu. Beberapa saat dia termangu sambil memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab argumen anaknya, hingga akhirnya, ’Aduh leee…, lihat sudah malam. Kamu mesti tidur. Katanya besok mau main perang-perangan lagi sama Agus di lapangan… nanti kalo tidak tidur besok kamu ndak bisa bangun lhoo… Nanti ndak bisa maen perang-perangan… katanya mau jadi tentara… Hayooo, mau jadi tentara ngga…’.
Danang tersenyum bangga mendengar kata-kata ibunya sambil mengangguk cepat. Lastri memberi senyumnya yang terakhir malam itu dengan diiringi sebutir kecup di dahi anaknya ketika anaknya itu mulai memejamkan kerlingnya. Dan setelah menaruh kunci pintu depan di depan keset untuk suaminya yang sedang ronda, Lastri-pun menyusul anaknya dalam lelap.
Dan malam semakin menghitam



Sudah sejak tadi ketika bias-bias mentari mulai menelisik di antara rerimbun embun dedaunan cemara dan cericit burung-burung pipit, para lelaki itu berkumpul di pinggir persawahan kampung mereka sambil memancarkan wajah-wajah tak ramah. Dan Warso, ayah Danang adalah salah satu orang yang ada di sana yang memancarkan wajah paling merah karena marah.
‘Kita harus memperjuangkan hak kita…!!’, teriak Warso mengalahkan dengung suara-suara yang lain.
‘Betul !! Kita tidak boleh menyerah begitu saja !!’, Pak RT menimpali.
‘Tapi bagaimana caranya ?’, seseorang berkulit hitam yang sejak tadi diam ikut juga bicara.
‘Kita harus menemui pimpinan mereka !!’, kata Warso lagi, ‘Tanah ini sudah turun temurun milik kita masa mau diminta begitu saja ?! Kita harus bersatu untuk memperjuangkannya !!’.
‘Tapi kan kita sudah di beri tanah pengganti ?’, kata orang berkulit hitam tadi.
‘Apa ?!! Apa gunanya tanah seluas limaratus meter persegi yang ada di kaki bukit kapur itu ?!! Bisa nanam apa kita disana ?! Makan apa kita nanti ?!’, teriak yang lain.
Dan semakin lama riuh rendah itu semakin tak tertahan dan menyesakkan. Dan tanpa komando, kerumunan yang sekarang sudah bertambah tiga kali lipat itu melangkahkan kakinya bersama menuju arah tenggara. Rombongan itu terus berteriak-teriak sepanjang jalan. Ratusan tangan terkepal meninju-ninju langit sambil diiringi teriakan-teriakan bising tak beraturan,
‘Kami butuh makan !!’, jerit seorang wanita tua berjaritvi.
‘Kami tidak butuh latihan perang !! Buat apa perang ?!! Perang sudah selesai !!’, teriak lelaki berjanggut berpeci putih.
‘Kami hanya ingin tanah kami kembali !!’, kata yang lain lagi.
Dan semakin lama suara-suara itu semakin menggemuruh memenuhi biru langit yang sedikit ternoda oleh gemawan yang berarak menuju utara. Langkah-langkah mereka semakin berderak dalam ritme gerak yang tak seragam; toh keseragaman juga tak begitu dibutuhkan dalam sebuah perjuangan, barangkali pikir mereka;. Kaki-kaki mereka menapak semakin lama semakin tegas menghempaskan debu yang kini berterbangan hingga memedihkan mata. Tapi semangat dan amarah mereka sudah terlanjur menyala dan kini sulit untuk dipadamkan lagi.
Hingga tanpa di duga sebelumnya, rombongan lain yang berseragam laksana macan dengan baret ungu muda menghalau dari depan sambil melepaskan tembakan. Hujan peluru tak terhindari. Sayang mereka terlambat menyadari, hingga beberapa tubuh mulai roboh setelah butir demi butir berdesing menagih darah yang tadinya memendam amarah.
Dan jeritan, tangisan, dan teriakan-pun semakin bersahutan. Latihan dimulai, barangkali begitu perintah komandan pagi itu.



‘Duh Gustiii… Apa dosa suamikuuu…?!!’, Lastri melengking pilu sambil mendekap tubuh Warso yang tergolek lemah di pengkuannya. Kerumunan orang yang berdesakan tak mampu membuat Lastri meredam tangis yang kini mulai menggigilkan tubuhnya. Sambil terus meraung, Lastri mengusap-usap setitik warna merah yang kini berdiam di kening suaminya, titik merah yang menjadi penanda akhir hidupnya.
Kerumunan masih saja meraung-raung mencipta genangan-genangan air mata dipelupuk mata. Wajah-wajah pasi semakin memucat. Teriakan-teriakan tak berkesudahan, ‘Negeri apa ini Gustii…?! Negeri macam apa yang melahirkan tentara-tentara yang menembaki rakyatnya ?!! Negeri macam apa ini Gustiii…?!!!’.
Dan di salah satu sudut yang agak jauh, dua anak kecil terbungkam dalam diam dengan menggenggam senapan dari pelepah pisang.
‘Nang.. kamu saja yang jadi tentara.. aku mau jadi dokter saja…’, kata yang satu pelan sambil membuang senapannya ke tumpukan ranting dan dedaunan kering di depannya.
‘Kenapa ?’, kata yang satu tenang, ‘Apa kamu tidak mau masuk surga ?’, lanjutnya sambil terus menerawang menatap kerumunan.

Dan senja kali ini datang terlalu dini.

31 Mei 2007

0 komentar:

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent