Kepada Pak Bondan
pSensitivitas lidah ternyata tak berbanding lurus dengan sensivitas hati. Pasti anda semua sudah tak asing lagi dengan nama Bondan Winarno, sosok yang hampir setiap hari wara-wiri di layar televisi kita. Sementara banyak diantara saudara kita mati-matian mencari sesuap nasi demi menjaga kelangsungan hidup, beliau bersama dengan program acara yang dibawakannya justru mengajarkan dan mempertontonkan kepada masyarakat kita sebuah ritual makan yang dimaknai sekedar sebagai sebuah gaya hidup. Benar-benar sebuah dekadensi ketika ‘makan’ sekedar dianggap sebagai sebuah gaya hidup yang dilakukan bukan demi menjaga kelangsungan hidup, ketika kelaparan masih saja menjadi sesuatu yang lumrah terjadi di sebuah negeri. Bukan karena butuh, hanya sekedar ingin.
Apakah tak pernah terpikir oleh para pembuat program acara itu, apa yang akan dirasa andaikan saja tayangan yang mereka produksi itu akan terlihat oleh para gelandangan yang secara tak sengaja melihatnya ketika mencoba untuk pura-pura tidur demi melupakan perut yang terus saja mendengkur di sebuah sudut stasiun kota?
Yah, sensitivitas lidah ternyata memang tak berbanding lurus dengan sensitivitas hati.
Apakah tak pernah terpikir oleh para pembuat program acara itu, apa yang akan dirasa andaikan saja tayangan yang mereka produksi itu akan terlihat oleh para gelandangan yang secara tak sengaja melihatnya ketika mencoba untuk pura-pura tidur demi melupakan perut yang terus saja mendengkur di sebuah sudut stasiun kota?
Yah, sensitivitas lidah ternyata memang tak berbanding lurus dengan sensitivitas hati.
0 komentar:
Posting Komentar