Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Surat cinta seorang serdadu kepada tuhan

Berawal dari cerita seorang nenek tua pencari kayu berkebaya jingga muda, yang kemarin lalu kutemukan sedang berlutut di sesela hujan sambil mengunyah sirih yang telah lama lumat dan kehilangan merah tuanya;
lapar ini pasti akan lumat bersama sirih yang tanpa suara terus merintih, barangkali pikirnya;
Tapi senja di negeri ini takkan mungkin membiarkan hal sekonyol itu terjadi,
Karena segala sesuatu terus bergerak maju dan tak punya waktu untuk sekedar peduli dengan jerit lapar, sekumpulan proletar, bising kepak burung gereja, atau bahkan rerintik seribu hujan sekalipun;

Bahkan bulan sabit ungu pengganggu remang malam-pun kini kehilangan aroma yang sekian waktu terus menghantuinya di antara bebisik kelam;
Dari sudut bibir yang kehitaman dia ceritakan tentang sebuah negeri yang bergolak dalam gelegak peperangan, dimana anyir darah dan desing peluru bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu dan harus disembunyikan dari mata anak-anak yang baru belajar merangkak,
Bahkan pada suatu dini hari yang sepi dan tak berkawan, di suatu lorong di sudut kota dia temukan di samping televisi yang masih menyala, seorang perawan berusia sekitar dua tahun tiga bulan; yang mungkin baru belajar mengeja nama ibunya; tergolek tanpa dosa memamerkan sesobek luka menganga di lehernya,

Dan bagaimana mungkin nyawa akan betah tinggal di jasadnya, jika sabetan sebatang golok merobek sebatang leher yang mungkin pada suatu saat nanti; mungkin sekitar lima belas tahun lagi andai saja waktu bersedia sedikit memberi; akan bisa mengundang berahi para lelaki untuk menelusurinya dengan lidah yang melelerkan ludah hingga desak nafas yeng melenguhkan mantra-mantra pemanggil suargaloka tak menyisakan suara?

Tapi genderang perang memang tak pernah mengenal rasa kemanusiaan,
Lihat saja anak-anak yang berlari telanjang dengan jejerit tertahan ketika sepasukan tentara menghalau mereka dengan ledakan granat menjadi latar belakangnya;
Sungguh tak bisa lagi lambungku menerima segala jenis makanan ketika wajah mereka terus saja membayang di pelupuk mataku yang bukan sekedar pura-pura terlihat sendu;
Terlalu jahanam jika atas nama kebenaran perut seorang calon ibu dari sebutir bayi yang suci harus dirobek dengan paksa untuk sekedar mengetahui jenis kelamin putra pertamanya yang dibuat atas nama cinta,

Gemintang sepertinya tak lagi punya bendera yang mampu menggetarkan suara, meski hari telah berangkat dari senja laknat menuju kelam malam yang bangsat,
Ketidakadilan terus saja bertahta meski banyak peperangan yang telah lama memilih penyelesaian,

Mulai dari Vietnam, nazi, khmer merah, sampit, ambon, irak, Lebanon, GAM, sampai dengan sidoarjo, munir, FPI, tommy suharto, satpol PP, al qaedah, azahari, semuanya berdesak mengisi kapasitas otak yang tak mungkin beranak pinak,

Siapapun yang merasa masih manusia tak akan pernah tega ketika melihat sepenggal kepala tertancap; meski dengan posisi seanggun mungkin; di pucuk sebatang tongkat pramuka,
Tapi bilakah tuhan memberikan secelah jalan untuk melumat habis ketidakadilan tanpa peperangan, jika ternyata nenek pencari kayu berkebaya jingga muda yang kutemukan di sesela senja yang lalu, kini telah lupa bagaimana cara mengisi paru-paru dengan udara, hingga setelah kucoba mencari berkali-kali tak lagi kutemukan lagi sisa-sisa denyut nadi?

0 komentar:

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent