Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Anti Sistem

; Antara Ideologi dan Gaya Hidup

Palu arit memang sudah lama dilarang. Tapi kenapa kita dengan mudah menemukan logo bintang merah tercetak di kaos-kaos ketat cewek-cewek ABG yang sering menghabiskan waktunya dengan berkeliaran di mall-mall kota besar? Lihat juga sketsa wajah Che yang berewokan menatap tajam melekat di jaket para peserta ajang boysband yang hanya sekedar jual tampang tanpa benar-benar bisa menyanyi. Apakah perjuangan kaum kiri sudah berhasil mencapai pada puncak yang diinginkannya, hingga lambang-lambang kebesarannya semakin sering kita temukan di jalanan? Saya pikir tidak. Dan justru malah kebalikannya. Sosialisme dan semangat kiri justru memasuki masa-masa kritis mendekati masa ajalnya. Kenapa? Karena saya pribadi sebenarnya agak-agak curiga, bahwa segala macam simbol perjuangan kaum proletar itu sekarang justru semakin kehilangan makna yang sebenarnya dan digunakan hanya untuk sekedar gaya. Tapi tentu saja saya tidak berani memukul rata, bahwa semua yang memakai kaos bergambar Che hanyalah mengikuti trend semata.

Saya memang bukan seorang penganut totaliterisme komunis, meskipun ada juga beberapa bagian dari perjuangan kaum kiri ini yang saya setujui dan saya dukung sepenuhnya. Dan saya juga tahu pasti bahwa semangat totaliterisme kiri ini adalah sebuah semangat yang berangkat dari pemberontakan para proletar yang merasa diinjak-injak kapital yang mendominasi keseluruhan ruang dalam sistem yang diberlakukan. Dengan kata lain, kiri sebenarnya adalah tercipta sebagai bentuk perlawanan terhadap ketertindasan, yang sering diidentikkan dengan kaum lemah, kaum yang akhirnya memilih sebuah jalan tersendiri untuk memperjuangkan dirinya demi tegaknya keadilan. Tapi jika kita lihat sekarang ini, apakah kita semua bisa menjamin bahwa mereka, cewek-cewek ABG yang di dadanya tercetak gambar bintang merah itu benar-benar peduli dengan makna yang yang terkandung di dalamnya? Apakah para rockstar yang hidup dalam kegermelapan dan keglamouran kehidupan itu benar-benar mengerti apa yang sebenarnya diperjuangkan Guevara dan pasukan buruhnya?

Ketertindasan, kemiskinan dan perjuangan rupanya telah menjelma menjadi sebuah komposisi yang memiliki satu nilai eksotisme tersendiri, hingga segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal tersebut dianggap layak untuk dijadikan sebuah trend, bahkan oleh mereka yang sama sekali buta tentang arti kata lapar dan proletar. Mereka mempunyai anggapan, bahwa dengan memakai simbol-simbol yang sering diidentikkan dengan perjuangan kaum miskin itu, mereka akan bisa terlihat peduli dengan kemiskinan dan sukur-sukur bisa dianggap benar-benar miskin beneran. Ha ha.. that’s f**k !!!

Kemiskinan dan ketertindasan dijadikan komoditi, yang ujung-ujungnya justru semakin menambah tebal kantong para kapital. Dengan mulut-mulut kotornya mereka mengkampanyekan semangat kepedulian terhadap sosial lalu mencetak beribu-ribu kaos bergambar Guevara lalu menjualnya kepada generasi muda berotak kosong dengan harga yang mungkin bagi para buruh atau petani cukup untuk makan istri dan tiga anaknya selama satu minggu. Ironis!!!

Kita memang terlahir di sebuah negara yang begitu kaya dengan budaya. Tapi sayangnya sistem yang berlaku selama ini ; yang mungkin, sekali lagi mungkin, saja merupakan turunan dari sistem yang terdahulu ; justru menjadikan kita ini menjadi manusia-manusia yang tak pernah bisa bangga dengan budaya sendiri, hingga merasa harus mengadopsi berbagai budaya yang datang dari negeri asing yang kadangkala tanpa kita sadari justru menghilangkan substansi yang sebenarnya.

Lihat para nyonya bergaun anggun yang turun dari mercy keluaran terbaru di lobi hotel berbintang banyak, yang datang kesitu untuk menikmati alunan musik jazz yang dinyanyikan Syaharani atau Tompi. Demikian besar perhatiannya terhadap jazz hingga dia dengan kerelaan hati merogoh beratus-ratus ribu rupiah demi bisa menikmati sebuah pertunjukan yang dianggap sebagian besar orang bisa menaikkan kelas sosial itu. Tapi apakah pernah terbersit di pikirannya ; meskipun mungkin sekelebat saja ; bau keringat dan ceceran darah para kulit hitam yang berjuang mati-matian melawan dominasi kaum putih demi kesetaraan, yang secara tidak langsung membidani kelahiran musik jazz itu sendiri?

Apakah remaja-remaja berambut mohawk warna-warni, yang di lengan dan pinggangnya bergelayutan berbagai aksesori perak berkilauan dan kemana-mana menenteng hape yang tak hanya bisa digunakan untuk nelpon, tapi juga motret, ndengerin radio, nyetel MP3, internetan, nge-game, bahkan nonton TV itu benar-benar mengerti sejarah tentang kelahiran budaya Punk di negeri barat sana? Apa mereka bisa memahami alasan kenapa para punker; yang mereka anggap para leluhur; mereka dulu melakukan free sex di halaman-halaman gereja?

Dan apakah para direktur berbagai perusahaan yang mengendarai Harley di jalanan berombongan seakan penguasa jalan dan seringkali dengan angkuh dan arogan memaksa pengguna jalan lain untuk dengan rela dan ikhlas ; meski tak jarang pula yang mengucap seribu macam cacian, termasuk saya ; itu tahu, bahwa di negeri asalnya sana Harley identik dengan para preman jalanan yang suka mabuk-mabukan, pembuat kericuhan, suka main wanita, musuh besar polisi, yang yang lebih penting lagi, sangat anti kemapanan?

Bagaimana mungkin seseorang yang kehidupannya bergelimang kegemilangan justru mengadopsi budaya manusia-manusia pemberontak yang terkalahkan oleh sistem? Apakah hanya karena ingin terlihat sangar? Atau karena terlihat miskin itu dianggap mempunyai nilai seni tersendiri? Entahlah. Tapi yang pasti hal ini adalah salah satu bukti, bahwa sebagian besar masyarakat kita sekarang ini, lebih peduli pada style daripada substansi yang terkandung pada sesuatu hal. Melihat buku hanya dari keindahan sampulnya, tapi tak peduli dan tak pernah bisa mengerti dengan isi yang tertulis di dalamnya.

Salam..

0 komentar:

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent