Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

62

62 kali sudah negeri ini mengelilingi matahari. Meski sebenarnya jauh sebelum Indonesia kita ini bernama Indonesia, matahari bukanlah sesuatu yang asing keberadaannya bagi nusantara kita. Seribu petaka, bencana, juga tawa sudah menjadi denyut nadi bagi sebuah perjalanan suatu bangsa. Mungkin masih hangat di dalam sebagian ingatan kita, cerita tentang robohnya beberapa mahasiswa trisakti akibat terjangan peluru yang menghentikan kerja paruparu, sehangat kenangan sebagian dari kita yang lain tentang jalanan di sampit yang berhiaskan penggalan kepala yang ditancapkan di atas sebilah bambu yang membeku. Tak ketinggalan juga dengan tragedy (kudeta?) G30S yang sampai detik ini masih saja menjadi perdebatan di meja-meja diskusi, meski seribu diskusi yang diadakan tak akan pernah merubah keadaan, apalagi mengembalikan nyawa ratusan ribu korban yang mati percuma hanya gara-gara tak tahu apa-apa.

Juga kita pasti belum lupa dengan berton-ton lumpur yang menyembur, tsunami yang meluluhlantakkan sebagian dari negeri ini, gempa bumi, pesawat hilang, kapal kandas, kereta api anjlok, dan segala sesuatu bencana yang sempat mewarnai headline harian yang terbit di negeri ini. Saya yakin kita belum lupa dengan itu semua. Seperti juga masih ingatnya kita dengan desah maria eva yang telanjang di layar televisi nasional kita. Dan saya harapkan, keberadaan itu semua tak akan pernah melunturkan merah putih kita, tak akan pernah merubah pendirian kita dan keyakinan kita, bahwa bangsa ini adalah; atau setidaknya akan menjadi; bangsa yang besar.

Menjadi sebuah bangsa yang besar bukanlah sesuatu yang gampang. Tapi saya rasa bukan juga sesuatu yang sulit, asalkan saja kita semua menyatukan cita-cita. Tapi justru disitulah masalahnya, karena kita hidup di alam demokrasi (?), maka tak heran jika ada banyak cita-cita dan keinginan yang berbeda satu sama lain. Dan sayangnya, sesuatu yang harusnya saling melengkapi satu sama lain untuk mencapai sebuah kesempurnaan justru menjelma menjadi dua hal yang dipertentangkan. Presiden vs DPR, pedagang vs satpol PP, seniman vs aparat, mahasiswa vs polisi, tentara vs rakyat, dan lain-lainnya; seakan kita akan menjadi ketinggalan jaman ketika kita tak memiliki musuh yang harus kita kalahkan.

Saya bukannya mau menyalahkan keadaan, tapi memang sepertinya kita semua memang sudah terlalu lama terkontaminasi virus yang mengharuskan kita saling berkompetisi untuk mengalahkan satu sama lain. Lihat saja adik-adik atau anak-anak kita yang baru duduk di kelas dua sekolah dasar (atau bahkan termasuk diri kita sendiri ketika kecil) yang akan tersenyum-senyum bangga ketika mendapatkan nilai sembilan, jauh lebih tinggi dari semua teman di kelasnya yang rata-rata hanya mendapat nilai lima. Lihat juga bagaimana senyum dan tawa mereka ketika mereka ditahbiskan menjadi rangking pertama diantara teman-temannya. Bayangkan, bahkan sejak usia demikian muda kita sudah diajari untuk berkompetisi meski untuk hal-hal yang sebenarnya tidak semuanya berguna bagi hidup kita. (untuk apa kita belajar tentang kerumitan hukum relativitas jika akhirnya kita lebih memilih untuk menjadi seorang musisi yang lebih penting untuk tahu perbedaan nada minor dan mayor? Untuk apa kita diajari menghitung pendapatan dan pengeluaran di neraca dengan rumus-rumus yang memecahkan batok kepala jika akhirnya dompet kita tak pernah menyimpan lebih dari sepuluh lembar ribuan?).

Memang harus kita akui, bahwa kita semuanya sejak kecil memang diajari untuk menjadi robot yang harus terus-menerus berkompetisi sekaligus dibatasi dalam meluapkan ekspresi. (meski tak semua sekolah mengajarkan hal demikian. SD Mangunan yang didirikan Romo Mangun di Yogyakarta adalah salah satu yang mengajarkan anak menjadi manusia.)

Jadi bukan sesuatu yang tidak wajar jika ketika menginjak usia dewasa kita masing-masing mempunyai gumpalan ego yang mengeras dan tak mudah untuk dipecahkan. Tentara punya kacamata. Dan rakyat juga punya kacamata sendiri, yang pastinya berbeda dengan kacamata yang dipakai tentara; dimana tentara sejak di pendidikan sana sudah di doktrin menjadi mesin pembunuh musuh demi satu tujuan (Yang kadangkala diselewengkan. Entah oleh siapa).

‘Hormat senjataaaa………Grakk !!’.

Kita pasti tak asing dengan kalimat ini. Kalimat yang sering kita dengar; setidaknya setahun sekali; keluar dari komandan upacara bendera yang biasanya adalah personel tentara. Memang begitulah seharusnya kita menghormati bendera kita. Dengan segenap jiwa, bahkan kalau perlu dengan senjata. Tapi rupanya sebagian dari tentara kita tak pernah mengerti arti kata bendera dan jelata, hingga peluru yang dibeli dari uang rakyat yang harusnya digunakan untuk membela bendera (yang merupakan representasi rakyat) justru digunakan untuk menembus dada rakyat. Padahal jika kita runut jauh ke belakang, tentara kita adalah anak kandung dari rakyat, yang terlahir dari pertemuah benih-benih perjuangan yang akhirnya menjelma menjadi bayi mungil yang diberi nama BKR / TKR (Badan Keamanan Rakyat / Tentara Keamana Rakyat), dan arti harfiahnya adalah : sebuah badan / tentara keamanan yang lahir dari rakyat, atau badan / tentara yang menjaga keamana rakyat. Tapi rupanya kedurhakaan bukanlah hanya milik malin kundang seorang.

Siang tadi saya sempat tertarik ketika melihat sebuah berita yang dimuat salah sebuah harian, yang menceritakan tentang aksi demo kelompok masyarakat yang menamakan dirinya Masyarakat Pengguna Komputer Surakarta (MAPKOS) yang menolak aksi sweeping yang dilakukan aparat terhadap software-software bajakan. Mereka beranggapan bahwa sweeping itu menghambat perputaran ekonomi mereka, karena sebagian besar dari mereka hanyalah pengusaha kecil yang hidup dari usaha rental komputer dan warnet. Memang bukan sesuatu yang gampang ketika kita bicara tentang perut dan hidup.

Tapi harusnya masing-masing dari diri kita melihat dulu ke jauh ke dalam hati kita, sambil merenungi arti sebuah kebenaran hakiki. Apakah hanya dengan cara mencuri kita harus menghidupi diri jika masih ada jalan lain yang lebih aman dan nyaman untuk kita jalani? Bukankah masih ada Linux dan software-software open source yang lain yang sebenarnya bisa kita gunakan untuk bisa makan? Juga teruntuk para aparat kepolisian, jawablah dengan jujur, apakah komputer di markas anda sudah memenuhi kriteria sebagai yang legal, sehingga tidak harus di sweeping? (sayang, keyakinan saya lebih dari 90 %, tak ada satupun aparat kepolisian yang menyempatkan membaca tulisan ini)

Oleh karena itu, marilah kita semua bergandeng tangan berjalan menuju Indonesia yang lebih baik. Tidak harus dengan penyeragaman cara dan sarana, hanya sesekali kita harus berpikiran terbuka dan melapangkan dada menerima perbedaan sesama manusia.

Jayalah terus Indonesia !!

0 komentar:

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent