Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Kepada Manusia ;sekedar renungan ringan

Esok hari kita akan menemui lagi apa yang disebut banyak orang sebagai ‘tahun baru’. Dan seperti yang sudah terjadi di masa-masa yang telah lalu, saya yakin pasti nanti akan banyak digelar segala macam pesta perayaan dari yang kecil-kecilan hingga yang gila-gilaan. Entah, saya sendiri sampai sekarang masih sering berpikir, sebenarnya apa yang dirayakan oleh kita, sementara pada hakekatnya ‘baru, lama, detik, hari, tahun, dan segala sesuatu tentang waktu’ adalah absurditas hasil cipta karya manusia yang berhasrat bisa menguasai segala macam hal yang ada di dunia ini, yang karena kecerdasan otaknya akhirnya menciptakan sebuah patokan untuk bisa mengkotak-kotakkan perjalanan kenyataan dalam ruang-ruang sempit yang disebut sebagai ‘waktu’, yang sampai sekarang seringkali menuntut kita untuk selalu bergegas mengejar kehidupan yang terus menderu dan melaju. Dan itulah yang seringkali kita rayakan dari tahun ke tahun, dengan terompet, dengan tawa, dengan kembang api, dengan hura-hura, meski sebenarnya tidak ada sesuatupun yang baru, karena segala sesuatunya hanyalah hal sama yang terus saja berulang.

Sudah menjadi sebuah kelaziman, bahwa setiap bertemu dengan apa yang disebut sebagai ‘tahun baru’, orang-orang akan ramai-ramai mengucapkan berbagai macam resolusi, mulai dari keinginan absurd (karena sebenarnya hal ini harus selalu ada di dada setiap manusia, entah itu di tahun baru, tahun lama, atau tahun apapun juga) untuk menjadi sesuatu atau seseorang yang lebih baik, keinginan untuk mendapatkan jodoh, mendapatkan momongan dan sebagainya dan sebagainya segala macam keinginan manusia yang pastinya penuh dengan bunga-bunga optimisme bahwa apa yang akan terjadi di masa depan adalah sebuah keindahan dan keberhasilan. Saya bukan bermaksud apatis, tapi rupanya tanpa disadari segala macam mantra suci yang dilafalkan ini sekarang sudah mengalami dekadensi arti, dimana sebelumnya kata-kata ini diucapkan dengan maksud sebagai motivator agar kita selalu bergerak maju, menjadi sekedar kata-kata hampa tanpa makna.

Tentu saja saya tidak bisa memukul rata bahwa semua orang pasti berbuat seperti apa yang saya gambarkan. Tapi lihat saja apa yang terjadi di sekitar kita selama ini, kasus-kasus kekerasan, semangat untuk menguasai dan mendominasi, keinginan untuk menjadi yang terhebat, tertinggi, terkuat, lunturnya jiwa sosial dari dalam hati kita, hilangnya kecerdasan dari otak kita, hingga banyak manusia-manusia yang mengaku beradab tapi justru melakukan hal-hal biadab dengan mempraktekkan ketidakdewasaan dalam memahami kepercayaan dengan cara menjustifikasi pihak lain yang berseberangan pikiran dengan label sesat, dan oleh karena itu darahnya-pun halal untuk tertumpah di atas tanah, dan seribu satu kasus gila-gilaan yang dilakukan oleh kita yang menyebut diri sebagai manusia, yang selalu saja berulang dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun. Lalu dimana mantra suci resolusi; bahwa kita akan berusaha menjadi orang yang lebih baik; yang tepat setahun lalu kita lafalkan dengan mata terpejam di depan nyala sebatang lilin yang berkedip-kedip genit? Standar ‘baik’ yang seperti apa yang kita pergunakan?

Betapa saat ini kita semua harus menyadari bahwa saat ini keberuntungan masih memihak kepada kita, karena bagaimanapun juga, dengan kondisi seperti apapun juga, setidaknya kita masih bisa bertemu dengan apa yang disebut sebagai ‘tahun baru’, masih bisa menikmati ledakan kembang api yang menghiasi langit yang akhir-akhir ini lebih sering tersapu mendung, masih bisa mendengar lengking-lengking terompet yang menjerit, dan masih bisa mengikuti arak-arakan motor yang menderu-deru berkeliling kota merayakan absurditas dengan cara yang tak kalah absurd. Saya berkata seperti ini tentu saja bukan tanpa alasan, bayangkan bagaimana saudara-saudara kita yang beberapa waktu yang lalu tewas tertimpa tanah longsor di Tawangmangu, juga saudara kita di Solo yang harus mengungsi karena rumahnya terendam banjir, juga di Kudus, Purwodadi, bahkan di Pakistan dimana Benazir Bhutto dan para pengikutnya yang saat ini sudah tak bisa lagi menikmati dan menghirup udara dunia karena serpihan peluru dan bom bunuh diri. Bayangkan betapa beruntungnya kita semua, ketika kita menyadari bahwa ternyata batas antara kehidupan dan kematian ternyata jauh lebih tipis dari selaput dara sang perawan. Sekali lagi, betapa beruntungnya kita semua.

Tapi adakah alasan, bahwa keberuntungan yang saat ini kita rasakan telah menasbihkan kita sebagai seorang pemenang? Ini bukan peperangan, dimana salah satu harus menjadi pecundang sementara pihak lain berdiri sebagai pemenang. Ini adalah kehidupan. Dan oleh karena itu, masih bisakah kita disebut sebagai manusia; yang katanya adalah satu-satunya makhluk yang berhasil mengembangkan secara optimal kemampuan rasa dan logikanya; jika (seperti yang diberitakan KOMPAS edisi Minggu, 30 Desember 2007) untuk mengadakan pesta kembang api saja, Taman Impian Jaya Ancol menghabiskna dana 200 juta rupiah, dan Taman Mini Indonesia Indah menganggarkan biaya antara 50-100 juta rupiah, sementara Wulan Ramadhani, seorang bayi berusia 2 bulan korban banjir di Solo terpaksa harus minum teh selama beberapa hari, karena Nunung (20), ibunya, tidak mempunyai persediaan susu di lokasi pengungsian di GOR Manahan Solo? Masih manusiakah kita, ketika kita dengan tawa berhura-hura sementara banyak saudara kita yang sudah tak sanggup lagi bersuara karena tekanan derita?

Saya sama sekali tak bermaksud menyinggung siapapun juga disini. Saya hanya ingin mengingatkan kepada kita semua; ‘anda’ dan juga sekaligus ‘diri saya sendiri’; bahwa kita adalah ‘manusia’. Dan karena itu, jangan lupa untuk bersikap 'selayaknya' manusia. Percayalah, bahwa dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik, ketika kita semua menyadari keberadaan kita sebagai ‘manusia’ yang bersikap sebagaimana halnya manusia, yang bernurani, berlogika, saling menghormati, saling memahami, sama rasa, sama rata, tanpa menganggap diri sendiri berada di posisi yang lebih tinggi dari yang lain, tanpa keinginan untuk mendominasi dan menguasai. Marilah kita semua bersama-sama berusaha menjadikan rumah kita, bumi kita ini menjadi tempat yang tetap nyaman; atau setidaknya tidak lebih parah dari sekarang; untuk ditinggali, sementara ancaman pemanasan global semakin nyata terlihat di depan mata.

Bersama tulisan ini, saya secara pribadi juga turut mengutuk tragedi pembunuhan terhadap Mantan Perdana Menteri Pakistan, Benazir Bhutto, yang juga berarti adalah pembunuhan terhadap demokrasi dan kebebasan untuk bersuara. Percayalah, bahwa kekerasan tak akan pernah menyelesaikan permasalahan. Satu hal lagi, ijinkanlah saya untuk turut berduka cita atas segala bencana alam dan juga bencana kemanusiaan yang terjadi di seluruh penjuru negeri dan bumi ini.

Selamat bergerak dan melangkah menuju sesuatu yang lebih baik lagi di 2008 yang datang menjelang. Ingat, jangan pernah bertanya lonceng itu berdentang untuk siapa, karena lonceng itu berdentang hanya untuk kita.
Salam...

4 komentar:

  1. Anonim mengatakan...
     

    selamat tahun baru untuk anda!

  2. Dony Alfan mengatakan...
     

    Waktu memang sebuah rahasia besar bagi manusia. Kita hanya bisa menilai keberadaan waktu, kadang berjalan cepat, kadang berjalan lambat. Saya membayangkan setiap manusia di dunia itu memiliki jam yang menunjukkan waktu berbeda satu dengan yang lainnya, jam itu berputar sesuai dengan jiwa dari masing-masing pemiliknya.

    Mas Lintang, tulisan ini saya angkut ke blog Kickoff ya!

  3. Anonim mengatakan...
     

    Mas, tapi saya sualut bianget sama anak anak ISI yang ngadain acara tahun baru kemaren. mereka memang bikin parade band atraksi capoeira yg kebetulan saya juga ikut (pamer sithik), tapi tujuan mereka adalah untuk penggalangan dana dan mereka luar biasa yang telah mencetuskan acara tersebut.

  4. Rey mengatakan...
     

    Saya manusia tanpa resolusi yang melewatkan tiap malam taun baru dengan tidur, dan biasanya baru bbrp hari kemudian 'ngeh' kalo taunnya udah ganti, hehehe. Merenung pun kapan saja dimana saja, ndak mesti malem taun baru :)

    Lonceng?? kayaknya aku ndak punya lonceng, punyanya senter (lho??) hehehe :D

    Sukses selalu yaa... btw gue link yaa... :D

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent