Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Terlalu suci untuk kau singgahi

(apalagi kau tinggali)

Demi tuhan…
Bagaimana bisa gemintang yang kemarin sore masih tergantung di pelupuk langit itu kini berserak di pinggir jalan, terbujur dalam lumpur tanah kuburan yang terbawa arus matahari senja tanpa nama..
Ya. Mungkin memang benar apa yang pernah dikatakan sekawanan sufi berjubah pinky yang berhasil kita temukan sedang mengepakkan sayapnya ketika kita berjalan-jalan ke arah timur bertahun-tahun yang lalu
Bahwa tiada satupun hal yang bisa diambil dari sebuah penyesalan selain ketiadaan
Tapi bagaimanapun juga, harus kuakui rasa sesalku atas kekagumanku padamu beberapa hari yang lalu
Memang sudah lama tak kupedulikan warna-warni dunia bahkan termasuk kerlip mentari juga pelangi
Bahkan kuncup redup kunang-kunang yang membiusku dalam lelap setiap remang menjelang, dan kepak sayap kupu-kupu yang merintih pelan di balik rerimbun embun yang menempel di pelataran matahari pagi-pun aku tak begitu ingat persis apa warnanya..
Aku juga tidak terlalu memperhatikan apakah langit yang biru itu nantinya akan memerah ketika tentara senja mulai menyerang datang, lalu hitam menyelimuti ketika hari sudah mulai layu dan menua, atau justru akan membiru kecoklatan bagai mayat karatan…
Lama aku tak begitu peduli dengan semua itu
Bahkan aku juga sudah mulai lupa apakah ungu, biru, atau justru sewarna salju-kah kupu-kupu yang menghiasi popok pertama yang dipakaikan ibuku ketika aku baru terlahir duapuluhempat tahun yang lalu?
Aku benar-benar lupa dengan hal itu.
Tapi jangan pernah kau sekalipun berharap aku juga akan melupakan tawamu kemarin lalu, ketika kau sesaat gagap karena lupa beberapa kata di syair lagu kebangsaan kita, ketika kita harus sama-sama menyanyi karena didaulat sebagai paduan suara upacara bendera….
Ya, tawa itu…
(Tawa yang terlalu lancang dan bangsat)
Bagaimana mungkin kau bisa tertawa dengan apa yang terjadi pada dirimu ketika itu?
Dimana kau simpan Indonesia yang harusnya tersemat di balik beha di dasar jiwa?
Dimana kau taruh sesobek merah putih yang pada senja-senja berpuluh tahun lampau harus berkibar di bawah desing peluru yang menagih darah dan juga nanah?
Dimanakah Indonesiaku itu kau tempatkan, jika di dasar hatimu hanya kutemukan onggokan sampah yang tergolek di tumpukan kerlip warna-warni lampu disco tempat hiburan malam yang berkedip-kedip genit di bawah alis matamu?
Menyesal aku benar-benar……

3 komentar:

  1. arzetha mengatakan...
     

    Tapi bagaimanapun juga, harus kuakui rasa sesalku atas kekagumanku padamu beberapa hari yang lalu
    Memang sudah lama tak kupedulikan warna-warni dunia bahkan termasuk kerlip mentari juga pelangi
    ***
    terlalu sucikah untuk kau singgahi? bukankan dunia ini dengan kehidupan dan cintanya begitu indah untuk sekedr dilewatkan begitu saja.
    bahkan sangat sayang untuk dilewatkan.
    setuju???

  2. arzetha mengatakan...
     

    ia lupa, aku tau puisi ini dibacakan ketika yang punya jadi tamu dalam acara PO.Box. 1024 di salah satu radio di mana yang punya blog ini kerja. tepatnya tangga 6 juli kemaren. satu lagi aku pengen banget baca kumpulan puisinya yang punya blog, kira-2 harganya berapa ya...

  3. Anonim mengatakan...
     

    @ Arzetha published:
    terima kasih kunjungannya di blog saya.. antologi 'aku ingin mengirim hujan' dijual dengan harga 15 ribu. bisa menghubungi Dekase di kompleks TBRS atau sdr. Lanang di lanangq@yahoo.co.id

    terima kasih

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent