Suluk Lintang Lanang

Pikiran itu sampah. Ini penampungannya.

Selamat datang

Jika anda mencari sesuatu di sini, percayalah, anda takkan menemukan apa-apa.

Tentang Penulis

Setyo A. Saputro. Lahir dan besar di Karanganyar. Saat ini menjadi pekerja media di sebuah portal berita nasional.

Waktu dan Perubahan

'Berubah!!' , Kotaro Minami ayunkan tangan kanan. Lalu yang kiri. Ada pendar cahaya. Metal warna hitam selubungi diri. Lengan, badan, kepala, semua. Kotaro Minami tak lagi ada. Ksatria Baja Hitam penggantinya. Demikian ‘perubahan’ yang terekam dalam memori masa kecil saya. Segampang itu. Sesimple itu. Tak perlu apa-apa, hanya tinggal teriak, ‘Berubah!!’ , maka semuanya taklagi sama. Segalanya menjadi sama sekali berbeda.

Namun waktu melaju. Proses berjalan. Umur menua. Hingga di satu titik saya sadar, manusia bukan Tuhan . Mantra ‘Berubah’ milik Kotaro Minami tak mungkin bisa disandingkan dengan ‘Kun Fayakun’-Nya Gusti. Itu tak sama. Itu beda. Waktu juga-lah yang akhirnya memupuskan mimpi masa kecil saya untuk menjadi Nobita. ‘Doraemon itu tak ada!!’ , sang logika berdiri gagah di depan saya. ‘Tapi boleh dong manusia meminta?’ , saya merajuk. ‘Boleh.. Kepada-Nya.. Dan kantong ajaib-Nya hanya untuk yang berusaha! Bukan untuk manusia serendah Nobita!’ . Glodhaakkk!! Untuk kesekian kali saya dibangunkan.

‘Biasa’ , jawab kawan saya. ‘Wajar’ , sahut satunya. ‘Pasti’ , yang lain menjawab lagi. ‘Manusiawi’ , seorang lagi. Demikian jawab kawan-kawan saya ketika saya tanya, ‘Apa pendapatmu tentang perubahan?’ . Di Kedai Tempo Utan Kayu. Beberapa waktu lalu. Begitulah. Tak ada yang salah dengan sesuatu yang berubah. ‘Ndlad*k!! Tenanan ra kui??!! (Serius ga itu??!!) ’, seorang kawan memaki di chatroom FB. Sebelumnya saya bicara padanya tentang satu perubahan kecil yang telah terjadi. Begitulah. Hidup itu dinamis. Bukan statis. Sarat dengan perubahan. Tidak stagnan.

‘Waktu akan menyelesaikan semua’ , pepatah pra-sejarah. Waktu jugalah yang menentukan apa dan siapa yang harus berubah. ’Sang waktu berlalu, katamu? Ah, tak! Sebaliknya, sang waktu tetap, kita yang pergi’ , Henry Austin Dobson berkoar. ‘ Tapi bukankah waktu bukan batu?? ’, saya menyanggah. ‘Dia memburu!’ , saya menambah. Diam. Tak ada jawaban. Entahlah, sampai sekarang saya juga tak paham. Waktu berdiri di pihak siapa. Bisa jadi dia sebenarnya sekutu. Tapi mungkin juga seteru. Ya. Waktu memang selalu abu-abu. Campuran putih tua dan hitam muda.



*Selamat tinggal 2009. Mari. Menuju depan.



Utan Kayu 30 Des. 09

0 komentar:

Posting Komentar



 

different paths

college campus lawn

wires in front of sky

aerial perspective

clouds

clouds over the highway

The Poultney Inn

apartment for rent