Soliloqui Kedai Kopi
25 April 2010. Dekati pergantian hari. Planet Esprezzo Manahan Solo. Tiga manusia. Lelaki semua. Saya dan kawan-kawan lama. The Spirit Carries On isi udara. Sementara rel berderak, ketika kereta memperpendek jarak. Lampu kota buat segala tampak sephia.
‘Kukira kau tak lagi berani menginjak ini kota.. Juga Jogja..’, seorang kawan secara kurang ajar berkata. ‘Anjing..’, serapah saya melengking, ‘Kukira juga begitu..’. Lalu selanjutnya, pagar yang selama ini saya pelihara tiba-tiba tak dianggap ada. Secara (lumayan) liar dan brutal, sesuatu yang membuat saya nyaris mati menjadi bahan lawakan. Dan anehnya, saya tertawa juga mendengarnya. Meski getir. Anyir.
‘Kedatanganku untuk menghadapi ketakutan itu’, saya membuka kartu. Memang begitu. Ketakutan memiliki eksistensi adalah untuk dihadapi, bukan diikuti. Terlebih ditinggal lari. ‘Jangan ditolak.. Sadari…’, seorang kawan seringkali berkata. Ya. Saya sadar. Sesadar misi saya untuk menghadapi ketakutan ini.
‘Cuma masalah waktu’, kalimat semacam itu sering saya dengar. Dulu. Mungkin memang begitu. Sesuatu yang di suatu waktu dirasa terlalu asu, di kemudian hari tiba-tiba menjadi basi untuk ditangisi. Bukan karena yang sakit telah terobati, tapi justru karena mata air air mata telah mati. Berhenti ber-reproduksi. ‘Air mata itu perlu, tapi tak pernah terbukti bisa menyelesaikan sesuatu’, sepenggal pesan singkat menyengat. Sepertinya dari akhirat.
‘…If I die tomorrow... I’d be allright because I believe.. That after we’re gone.. The spirit carries on…’
***
Mojogedang, 28 April 2010
Kedai kopi di Karanganyar sebelah mana ya mas?